Selasa, Mei 30, 2017

Hasdis Nomor 33 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang memiliki dan mematuhi adab, bisa juga disebut sebagai hukum atau konsensus. Umat islam dibangun di atas adab ilahiyah, maksudnya berdasarkan ketentuan hukum yang disyariatkan Allah kepada manusia, baik di dalam Alquran, hadis Nabi, maupun ijtihad para ulama dan pemimpinnya. Jika umat Islam bisa menjalankan syariat dengan baik, maka kualitasnya menjadi lebih baik dari umat-umat yang lain, insya Allah.

Salah satu hukum bermuamalah yang dipertegas oleh hadis Nabi Saw bisa kita simak dalam hadis nomor 33 dalam susunan Kitab Arbain Imam Nawawi sbb:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Nabi Saw bersabda :

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ، لَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي، وَالْيَمِينَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

Artinya lebih kurang :
Sekiranya setiap tuntutan manusia dipenuhi, tentu orang-orang akan mengklai harta dan darah orang lain dengan semena-mena. Yang semestinya adalah setiap penuntut wajib menghadirkan bukti, dan setiap yang menolak tuntutan wajib bersumpah atas kebenarannya.

Sepertinya, lembaga hukum telah diperalat oleh kepentingan orang-orang tertentu sejak dahulu kala, sehingga penting sekali bagi Nabi untuk mengingatkan umatnya dari bahaya tersebut. Diantaranya dengan menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip utama dalam penegakan hukum.

Dalam hadis di atas, prinsip yang ditegaskan adalah : penuntut wajib membawa bukti yang valid/sah, sementara yang mengingkari tuntutan juga wajib bersumpah. Adakalanya bukti digantikan oleh saksi yang kompeten.

Seseorang yang menuduh atau menuntut seseuatu dari orang lain, bila tidak bisa mengadirkan bukti dan saksi yang memadai, dapat dikenakan hukuman/denda atau sangsi karena mengganggu ketentraman publik. Contoh yang paling jelas di dalam Alquran adalah tuduhan zina, jika tidak menyertakan saksi, si penuduh akan didera 80 kali.

Bagaimana dengan si tertuduh, tertuntut atau terdakwa. Salah satu khazanah keistimewaan hukum Islam adalah adanya sumpah atau li`an bagi orang yang mengingkari dakwaan.

Jika semua bukti dipenuhi, saksi juga lengkap. Sebelum memutuskan hukuman atau putusan, hakim wajib memberikan kesempatan kepada tertuntut untuk menyatakan sikapnya, apakah menerima atau menolak. Jika menerima, maka yang bersangkutan dikenakan hukuman dan putusan sesuai tuntutan, jika menolak, yang bersangkutan bisa bebas dari tuntutan dengan sumpah atau lia`an.

Apakah kesempatan ini tidak akan disalahgunakan oleh seseorang? Dalam masyarakat Islam yang baik, sumpah dan li`an hanya digunakan dalam hal-hal yang diyakini oleh pelakunya akan berakibat baik di dunia dan di akhirat. Bagi orang beriman, sumpah dan li`an adalah pilihan terakhir, jika itu adalah satu-satunya jalan yang menunjukkan bahwa ia benar.

Dalam banyak riwayat, persidangan di kalangan umat islam tidak memakan waktu berlarut-larut karena setiap pihak yang bertikai memiliki kejujuran dan ketakwaan, kebenaran dan kesalahan diakui secara terbukan dan terhormat, putusan hukum diterima secara ikhlas dan penuh taqwa. Silakan search sendiri ya contoh-contohnya.

Berdasarkan prinsip hukum di atas, maka ide mengajukan pembuktian terbalik bagi seseorang yang dituduh korupsi , mencuri, atau membunuh menjadi tidak relevan dengan kaidah hukum Islam. Adalah tugas jaksa/penuntut untuk membuktikan kesalahan, jika tidak cukup bukti dan saksi, seharusnya tuntutan tidak diajukan.

Atau dalam penilaian hakim, jika syarat-syarat hukum untuk suatu kealahan besar tidak terpenuhi, dengan kebijaksanaannya hakim dapat memutuskannya dengan pertimbangan kemaslahatan, yang dapat memelihara kehormatan semua pihak, dan kebaikan dalam masyarakatnya.

Jadi, hukum islam itu tegas dengan prinsipnya, juga luwes sesuai kebutuhan maslahahnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar