Sering kali, dalam perjalanan sang musafir tertidur
dia bermimpi seakan sudah tiba di tujuannya
lalu dia berhenti
tujuan yang hendak diraih masih jauh
jangan sampai nilainya berkurang
dibandingkan bunga dan ilalang
di pinggir jalan
Kamu hidup karena tujuan
bukan karena hiasan
Jadi, mari melangkah kembali
walau lelah, jangan berhenti
Rabu, November 20, 2013
Jumat, Oktober 11, 2013
Fitnah Ulama
"berprasangka baik kepada ulama, ulama su' lahir dari prasangka buruk yang mewujud pada caci maki, penghinaan dan adu-domba"
Ketika Allah mengatakan bahwa yang paling takut kepada-Nya adalah para Ulama, maka ulama ini bukanlah yang sekedar luas ilmunya saja, tapi juga ulama yang mengedepankan kemaslahatan hamba-hamba Allah dan menyelematkan mereka dari kehancuran dan kebinasaan.
Para ulama menjadikan diri mereka sendiri sebagai tumbal bagi kebenaran guna menghindari pertumpahan darah sebagaimana pernah diisyarakat oleh malaikat di awal penciptaan Nabi Adam Alaihissalam.
Selaku pewaris para Nabi, para ulama memilih jihad dengan menyatakan kebenaran di depan penguasa yang dhalim dengan taruhan nyawa dan darahnya sendiri, ketimbang memprovokasi untuk memberontak, membunuh dan menumpahkan darah banyak orang.
Jadi, ketika ulama mendekat kepada kekuasaan, tujuannya adalah melindungi masyarakat dari kedhaliman penguasa, bukan untuk ikut merenggut hak masyarakat.
Ketika ulama mendekat kepada masyarakat, tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohannya, bukan mengkhianati penguasa.
Ketika ulama menjauh ke hutan rimba dan gua, tujuannya adalah menyelamatkan kehidupan dari fitnah ilmu pengetahuan, bukan melarikan diri dari kenyataan.
Ulama bukan nabi, apalgi para rasul. Ulama adalah manusia-manusia yang Allah pilih sebagai lentera di tengah-tengah umat akhir zaman. Sebagai manusia dan pribadi, mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan, baik wawasan atau kemampuan mengungkapkan.
Maka ulama adalah jamak, adalah mereka semua yang mengambil peran masing-masing sesuai kapasitas dan janjinya di hadadapan Allah.
Jika mereka terputus, dan merasa dirinya sempurna, maka dia bukanlah bagian dari ulama. Dan kita sebagai pengikut ulama, seharusnya menghormati para ulama sesuai kapasitasya masing.
Sebagaimana ungkapan hamba yang shalih dalam al-Quran : Kami tidak membeda-bedakan keimanan kepada para rasul utusan Allah.
maka kita tidak pantas pula mencela sebahgian dan memuji sisanya, para ulama.
Wallahu a'lam
Ketika Allah mengatakan bahwa yang paling takut kepada-Nya adalah para Ulama, maka ulama ini bukanlah yang sekedar luas ilmunya saja, tapi juga ulama yang mengedepankan kemaslahatan hamba-hamba Allah dan menyelematkan mereka dari kehancuran dan kebinasaan.
Para ulama menjadikan diri mereka sendiri sebagai tumbal bagi kebenaran guna menghindari pertumpahan darah sebagaimana pernah diisyarakat oleh malaikat di awal penciptaan Nabi Adam Alaihissalam.
Selaku pewaris para Nabi, para ulama memilih jihad dengan menyatakan kebenaran di depan penguasa yang dhalim dengan taruhan nyawa dan darahnya sendiri, ketimbang memprovokasi untuk memberontak, membunuh dan menumpahkan darah banyak orang.
Jadi, ketika ulama mendekat kepada kekuasaan, tujuannya adalah melindungi masyarakat dari kedhaliman penguasa, bukan untuk ikut merenggut hak masyarakat.
Ketika ulama mendekat kepada masyarakat, tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohannya, bukan mengkhianati penguasa.
Ketika ulama menjauh ke hutan rimba dan gua, tujuannya adalah menyelamatkan kehidupan dari fitnah ilmu pengetahuan, bukan melarikan diri dari kenyataan.
Ulama bukan nabi, apalgi para rasul. Ulama adalah manusia-manusia yang Allah pilih sebagai lentera di tengah-tengah umat akhir zaman. Sebagai manusia dan pribadi, mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan, baik wawasan atau kemampuan mengungkapkan.
Maka ulama adalah jamak, adalah mereka semua yang mengambil peran masing-masing sesuai kapasitas dan janjinya di hadadapan Allah.
Jika mereka terputus, dan merasa dirinya sempurna, maka dia bukanlah bagian dari ulama. Dan kita sebagai pengikut ulama, seharusnya menghormati para ulama sesuai kapasitasya masing.
Sebagaimana ungkapan hamba yang shalih dalam al-Quran : Kami tidak membeda-bedakan keimanan kepada para rasul utusan Allah.
maka kita tidak pantas pula mencela sebahgian dan memuji sisanya, para ulama.
Wallahu a'lam
Kamis, Agustus 01, 2013
Kebanggan Sebagai Seorang Muslim
Dalam setiap mukaddimah ceramah, atau bahkan khutbah jum'at, ulama tua-tua sering mengatakan bahwa nikmat paling besar yang perlu kita syukuri adalah nikmat iman dan nikmat islam, kenapa?
Karena iman dan islam ini tidak diperoleh oleh semua manusia, beda dengan nikmat hidup, nikmat sehat, kekayaan, dan lain-lain. Hanya orang beruntunglah yang memperoleh anugrah keimanan dan keislaman, kemudian adalah orang-orang yang mencari keselamatan.
Bayangkan kalo kita lahir dalam lingkungan yang kafir, apakah kita akan mengenal iman, mengnal Allah dan para rasul-Nya, serta beramal shalih sebagaimana tuntunan al-Quran? untuk ukuran rata-rata manusia, belum tentu, kecuali bagi beberpa orang luar biasa yang mampu menemukan sinar islam dan iman, lalu menjadi orang-orang yang beruntung.
Justru, dari tangan dan lisan merekalah, orang-orang luar biasa tersebut, kita disadarkan bahwa apa yang sudah kita peroleh ini, berupa keimanan dan keislaman merupakan anugrah yang luar biasa, yang harus terus dirawat, dipelihara, dan dibanggakan, meskipun resikonya sangat besar.
Kenapa resikonya besar, karena keimanan dan keislaman kita mendapatkan tantangan yang terus menerus dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan Iblis di dunia, yaitu untu menjatuhkan anak cucu adam dari fitrah mereka yang suci, bersih dan mulia.
Islam adalah agama manusia, di mana manusia awam dapat berkembang menjadi manusia yang paripurna, insan kamil, sebagaimana yang dictrakan Allah dihadapan seluruh makhluk-Nya ketika pertama kali diciptakan, khususnya di hadapan Malaikat dan Iblis.
Seruan-seruan yang mengatasnamakan Allah, nabi, al-Quran, dan kebaikan manusia akan mendapatkan cibiran, bahkan permusuhan. Kenapa? Karena mereka merasa nyaman hanya menjadi manusia yang awam saja, yang mudah menyerah pada situasi dan kondisi lingkungan, yang tidak memiliki visi tentang syurga dan neraka di akhirat.
Tapi langkah kita tidak hanya dihalangi oleh orang-orang yang tida percaya saja, tapi juga oleh orang-orang yang terlalu percaya bahwa dirinyalah yang paling selamat, paling dekat dengan tujuan akhir, dan paling benar dalam menafsirkan firman Allah.
Mereka menjadikan syarat penyesatan dan pengkafiran orang-orang di luar pandangan mereka sebagai syarat keimanan dan keislaman yang baru, yang pada kahirnya membawa mereka pada posisi anti manusia, setidaknya manusia yang bukan mereka. Sekali lagi, ini bukanlah jalan keselematan.
Kebanggan kita sebagai muslim, seharusnya tidak menutup mata dan pikiran kita, tapi justru lebih penting membuka diri kita pada kenyataan-kenyataan yang tidak lain adalah ayat-ayat Allah yang 'ditulis' lebih awal dan lebih luas dari al-Quran.
Selalu ada sunnatullah yang mengiringi ayat-ayat Allah yang tertulis, dengan mengerti dan menemukan korelasi antara ayat yang tertulis dan yang tidak tertulis, maka kebanggaan kita sebagai seorang muslim tidak akan sia-sia, dan tidak akan mudah dimentahkan oleh orang-orang yang tidak suka, meskipun mereka melakukan berbagai daya dan upaya.
Semoga Allah memelihara kebanggaan kita sebagai muslim, seperti yang ditunjukkan oleh para pejuang, yang hari ini misalnya tampak pada pemimpin turki dan pemimpin mesir.
Wallahu a'lam....
Karena iman dan islam ini tidak diperoleh oleh semua manusia, beda dengan nikmat hidup, nikmat sehat, kekayaan, dan lain-lain. Hanya orang beruntunglah yang memperoleh anugrah keimanan dan keislaman, kemudian adalah orang-orang yang mencari keselamatan.
Bayangkan kalo kita lahir dalam lingkungan yang kafir, apakah kita akan mengenal iman, mengnal Allah dan para rasul-Nya, serta beramal shalih sebagaimana tuntunan al-Quran? untuk ukuran rata-rata manusia, belum tentu, kecuali bagi beberpa orang luar biasa yang mampu menemukan sinar islam dan iman, lalu menjadi orang-orang yang beruntung.
Justru, dari tangan dan lisan merekalah, orang-orang luar biasa tersebut, kita disadarkan bahwa apa yang sudah kita peroleh ini, berupa keimanan dan keislaman merupakan anugrah yang luar biasa, yang harus terus dirawat, dipelihara, dan dibanggakan, meskipun resikonya sangat besar.
Kenapa resikonya besar, karena keimanan dan keislaman kita mendapatkan tantangan yang terus menerus dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan Iblis di dunia, yaitu untu menjatuhkan anak cucu adam dari fitrah mereka yang suci, bersih dan mulia.
Islam adalah agama manusia, di mana manusia awam dapat berkembang menjadi manusia yang paripurna, insan kamil, sebagaimana yang dictrakan Allah dihadapan seluruh makhluk-Nya ketika pertama kali diciptakan, khususnya di hadapan Malaikat dan Iblis.
Seruan-seruan yang mengatasnamakan Allah, nabi, al-Quran, dan kebaikan manusia akan mendapatkan cibiran, bahkan permusuhan. Kenapa? Karena mereka merasa nyaman hanya menjadi manusia yang awam saja, yang mudah menyerah pada situasi dan kondisi lingkungan, yang tidak memiliki visi tentang syurga dan neraka di akhirat.
Tapi langkah kita tidak hanya dihalangi oleh orang-orang yang tida percaya saja, tapi juga oleh orang-orang yang terlalu percaya bahwa dirinyalah yang paling selamat, paling dekat dengan tujuan akhir, dan paling benar dalam menafsirkan firman Allah.
Mereka menjadikan syarat penyesatan dan pengkafiran orang-orang di luar pandangan mereka sebagai syarat keimanan dan keislaman yang baru, yang pada kahirnya membawa mereka pada posisi anti manusia, setidaknya manusia yang bukan mereka. Sekali lagi, ini bukanlah jalan keselematan.
Kebanggan kita sebagai muslim, seharusnya tidak menutup mata dan pikiran kita, tapi justru lebih penting membuka diri kita pada kenyataan-kenyataan yang tidak lain adalah ayat-ayat Allah yang 'ditulis' lebih awal dan lebih luas dari al-Quran.
Selalu ada sunnatullah yang mengiringi ayat-ayat Allah yang tertulis, dengan mengerti dan menemukan korelasi antara ayat yang tertulis dan yang tidak tertulis, maka kebanggaan kita sebagai seorang muslim tidak akan sia-sia, dan tidak akan mudah dimentahkan oleh orang-orang yang tidak suka, meskipun mereka melakukan berbagai daya dan upaya.
Semoga Allah memelihara kebanggaan kita sebagai muslim, seperti yang ditunjukkan oleh para pejuang, yang hari ini misalnya tampak pada pemimpin turki dan pemimpin mesir.
Wallahu a'lam....
Kamis, Juni 20, 2013
Relasi Puasa dengan Prilaku Ekonomi
Malaikat
selaku makhluk samawi yang tidak dibatasi oleh keterbatasan ruang dan waktu
seperti manusia, mengetahui bahwa manusia akan terjebak pada situasi sulit,
yang pada skala resiko terbesarnya akan melakukan kerusakan di muka bumi dengan
menguras semua sumberdaya alam secara semena-mena, dan untuk itu, manusia juga
tidak ragu untuk menumpahkan darah sesamanya (QS. Al-Baqarah: 30).
Wallahu a’lam. Semoga dengan bimbingan Allah SWT, dan
dengan saling ingat mengingatkan, kita bisa melewati hari-hari yang diwarnai
kenaikan BBM ini dengan lebih baik, bukannya malah mewujudkan ramalan malaikat,
karena menurut Allah, masih ada rahasia yang belum diketahui malaikat tentang
manusia, yaitu keutamaan yang disimbolisasikan dengan sujudnya para malaikat
kepada Adam, moyang manusia, dan tentu saja selalu ada yang tidak senang dengan
kondisi ini. Siapa dia?
Asumsi
malaikat ini tampaknya mulai menjadi kesedaran kolektif kita semua, bahwa
setiap harinya sumberdaya alam dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan
multinasional tanpa menghiraukan dampak jangka panjang bagi kelangsungan hidup
manusia dan kestabilan struktur lingkungan hidup. Bahkan, demi memelihara
keuntungan dan domiasi sekelompok kecil manusia terhadap sebahagian besar
manusia lainnya, konflik direncanakan secara sistematis sebagai sebuah
sekenario makro ekonomi.
Di beberapa
tempat, teori ekonmi yang awalnya mendiskusikan tentang ketersediaan, kebutuhan
dan distribusi, dalam praktiknya kemudian berubah menjadi perang saudara dan
invansi, di beberapa tempat melahirkan perbudakan, dan di tempat lainnya,
mungkin juga di tempat kita, mewujud dalam bentuk ketergantungan atau kecanduan
terhadap BBM misalnya dengan segala dampak dan konsekuensi.
Prilaku
ekonomi masyarakat menjadi tidak sehat, mulai dari konsumen rokok, pengecer
minyak, distributor pakaian, hingga produsen elektronik sebagai representasi
pelaku ekonomi, senantiasa berorientasi pada keuntungan dan dominasi. Terjadilah
proses ‘makan-memakan’ secara bertingkat, yang mulanya hanya sekedar mencari
laba dan kepuasan, mulai terasa menggerus kemerdekaan dan kemanusiaan.
Pada level
tertentu, karena berbagai keterbatasan, transaksi ekonomi berubah menjadi
tindak kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman. Bagi kelompok yang lebih lemah,
subjek ekonomi berubah menjadi objek, dengan menjual diri: menjual kejujuran,
menjual keadilan, menjual kehormatan, menjuala persaudaraan, menjual
kemerdekaan dan kemanusiaan. Bahkan Alquran mensinyalir bahwa agama juga
dijadikan komoditi ekonomi yang menguntungkan (lihat misalnya QS. Al-Baqarah:
174).
Lalu,
apakah pengetahuan malaikat hanya terbatas pada skenario kehancuran umat
manusia saja, atau mereka juga mengetahui solusinya. Dengan rendah hati,
makhluk samawi yang dalam beberapa kesempatan direkomenasikan oleh al-Ghazali
utuk kita contoh akhlaknya, mengakui bahwa pengetahuan mereka juga terbatas,
sebatas yang Allah izinkan bagi mereka (QS. Al-Baqarah: 32).
Pertanyaan
lebih lanjut, adakah solusi untuk meringankan masalah ekonomi dan kemanusiaan
hari ini, minimal kita bisa meyakinkan diri sendiri bahwa anak dan cucu kita
masih akan mewarisi bumi dalam keadaan yang sehat lahir dan batin.
Saya
katakan minimal dan meringankan, karena selaku manusia ilmu saya sangat
terbatas. Meskipun Allah membekali manusia dengan petunjuk wahyu, lagi-lagi
pada tataran kemanusiaan wahyu bisa dipahami beragam, baik sebagai solusi,
mimpi, atau justru sebagai motivasi untuk membiarkan kemanusiaan sekarat dengan
sendirinya.
Dalam
kondisi ekonomi saat ini yang saling terkait satu sama lain, dan dipengaruhi
oleh kebijakan-kebijakan yang tidak kasat mata dari berbagai elemen yang
berkepentingan secara makro, saya melihat ada satu ‘gerakan” yang bisa
dilakukan untuk mengerem laju kebuasan pelaku ekonomi, yaitu puasa.
Sebelum
mewajibkan puasa formal kepada orang-orang beriman, Allah menegaskan terlebih
dahulu bahwa puasa adalah praktik yang sudah dijalani oleh umat-umat sebelumnya
(lihat QS. Al-Baqarah: 183). Secara lahiriah, ibadah puasa dilakukan dengan
mengurangi konsumsi, khususnya tidak makan dan minum sejak terbit matahari
hingga tenggelamnya. Jika rata-rata manusia mengkonsumsi makanan dan minuman
tiga kali sehari, plus snack dua kali misalnya setiap hari, maka dalam bulan
Ramadhan, seorang muslim sudah melakukan penghematan 30 kali makan siang dan 30
kali snack yang berpengaruh langsung pada efisiensi pengeluaran bulanannya.
Dan bila dilakukan
dengan konsisten, praktik puasa ini bisa mempengaruhi prilaku pasar dan
kegiatan ekonomi, yang sebelumnya menggebu-gebu mengejar keuntungan dan dominasi
menjadi lebih terkendali, karena sebagian pelaku ekonomi bersikap menahan diri.
Karena
puasa masih dipahami secara formal sebagai suatu ibadah tunggal, maka yang
terjadi selama ini, justru selama Ramadhan dan sekitarnya terjadi lonjakan
inflasi, harga barang naik, konsumsi meningkat, dan praktik-praktik kotor dalam
ekonomi justru menemukan momentumnya.
Bila
menilik kembali perintah puasa, gol ketakwaan sepertinya tidak bisa dicapai
hanya dengan menjalankan puasa formal semata. Dibutuhkan lebih dari sekedar
menahan lapar dan haus selama lebih kurang 12 jam setiap harinya untuk mencapai
level takwa secara kolektif yang memberi pengaruh positif pada prilaku ekonomi
masyarakat, yang pada gilirannya akan menyelamatkan umat manusia dari ‘ramalan
sementara’ para malaikat.
Pelaku
ekonomi, baik yang besar maupun yang kecil, harus mampu juga menahan egonya
untuk meraih keutungan dan dominasi pribadi maupun kelompok, baik di bulan
ramadhan maupun di luar bulan ramadhan. Mereka perlu membagi sedikit profit
dengan lingkungannya (seperti zakat dan sedekah), mereka juga perlu membangun
hubungan sosial dengan kelas ekonomi yang berbeda di luar hubungan transaksi
sehingga terbangun sentimen sosial yang positif (seperti silaturrahim, shalat
jamaah).
Dan yang
paling menentukan adalah bersikap adil, baik pada diri sendiri, orang lain,
maupun keluarga. Jika ada jalan pintas menuju ketakwaan sosial dan kolektif, menurut
saya adalah dengan bertindak adil itu, bahkan mungkin lebih dekat dibandingkan
ibadah shalat, zakat dan puasa secara formal (lihat QS. Al-Maidah :8).
Karena sikap
adil adalah representasi yang paling diharapkan dari seseorang yang mampu
melatih jiwanya melalui puasa (menahan diri), shalat (taat aturan, disiplin)
dan zakat (bersedia berbagi dengan sesama manusia).
Ketakwaan kolektif itu akan
lebih sempurna saya rasa, bila karakter utama yang dicapai melalui ibadah haji
itu dapat direalisasikan dengan benar, yaitu kerelaan mengorbankan ego kita
untuk kepentingan orang lain. Menurut saya, salah satu alasan kenapa ibadah
haji dibatasi hanya kepada yang mampu menempuh perjalanan, dikarenakan tujuan
haji yang paling penting bukanlah melakukan perjalanannya itu sendiri, tapi
mencapai sasaran tertinggi melalui kesediaan memberi kesempatan kepada orang
lain untuk sama-sama berhasil, sama-sama sukses, sama-sama bertakwa, sehingga
ada istilah pahala haji bagi mereka yang tidak ke tanah suci.
Minggu, Mei 26, 2013
Menyambut Ramadhan dengan Khilafiyah
Tidak lama lagi, kita akan menyambut Bulan Ramadhan 1434 H yang bertepatan dengan tahun 2013 M. Sudah sepantasnya, Ramadhan yang datang saban tahun tidak hanya menjadi momen puasa semata, tapi juga harus menjadi momen mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, dan yang lebih penting lagi adalah momen untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih takwa.
Kenyataannya, setiap kali ramadhan dan syawal menjelang, orang-orang malah menjadi kerdil, dunia menjadi sempit, bahkan pahalapun mungkin habis oleh kemarahan, kata-kata kasar, hingga putusnya silaturrahmi hanya karena beberapa perbedaan yang tidak esensial dalam ajaran Islam.
Katakanlah, misalnya yang tiap tahun jadi persoalan adalah penetapan hari pertama ramadhan dan 1 syawal. Memang dalil-dalil agama menberi peluang terjadinya perbedaan penafsiran dan penanggaan, akan tetapi bukan berarti umat Islam tidak bisa sepakat dan satu suara jika mereka, terutama para pemimpinnya mau berpikiran terbuka dan berjiwa besar, kenapa? Karena masyarakat kita besar, wilayah kita luas, harus menggunakan paradigma yang besar dan luas pula tentunya.
Tapi, bila kuga masih ada yang berbeda, bukan berarti mereka sudah keluar dari agama, sekali lagi memang besar sekali peluangnya untuk berbeda, khususnya bagi yang enggan menerima kenyataan bahwa alam bisa dikendalikan manusia melalui bantuan teknologi sebagaimana Janji Allah. Tap, sekali lagi, tidak perlu menjadi kerdil, justru di situ peluang kita meraih pahala dan takwa, bukan malah berpecah belah menjadi domba yang siap diterkam serigala.
Apa lagi? tentu masalah tarawih, ibadah sunnat yang apresiasinya melebihi ibadah-ibadah lain yang wajib menurut saya. Padahal, sebagai bonus di bulan ramadhan, sah-sah saja dilaksanakan secara variatif oleh umat islam, baik rakaat, baik salam, baik salawat, maupun pemilihan waktunya.
Bukankan ibadah selalu memiliki dimensi kuantitatif dan kualitatif? maka sesuai kecendrungan dan kemudahan yang kita miliki, tidak perlu pula mencela pilihan orang lain yang sesuai dengan kecendrungannya. Orang yang beribadah harus diapresiasi positif, bukan malah didera dengan cap bid'ah misalnya.
Tadarus juga masih sering jadi masalah di lingkungan kita. Benar bulan ramadhan momen turunnya al-Quran, benar juga kalo semua ibadah pahalanya berlipat di malam-malam spesialnya, tapi jangan sampai pula, kerakusan kita akan pahala mengusik kenyamanan ibadah saudara kita sesama muslim yang lainnya, baik di masjid, di mushalla, maupun di rumah-rumah, khususnya mereka yang renta atau mengalami masalah dengan kesehatan.
Yang terakhir, sepertinya memang berada di wilayah kewajiban, yaitu zakat fitrah di akhir ramadhan. Tapi bagaimana melaksanakannya, bagaimana ukurannya, apa saja yang dizakatkan, hingga berapa dan siapa yang menerima adalah wilayah ijtihad yang sangat luas, seluas surga dan rahmat Allah. Maka, menurut saya, bagi yang menyempitkannya, maka makin sempit pula dunia dan surganya, dan bagi yang memperluasnya, akan cenderung luas pula dunia dan surganya.
Mari, semakin hari semakin dekat dengan Allah, semakin luas jatah pahala dan surga kita, karena semakin hari pula, waktu kita semakin sedikit, dan maut menjadi semakin dekat. Akhirul kalam, selamat menyambut ramadhan, meskipun belum tentu kita akan masih hidup di dalamnya.
Kenyataannya, setiap kali ramadhan dan syawal menjelang, orang-orang malah menjadi kerdil, dunia menjadi sempit, bahkan pahalapun mungkin habis oleh kemarahan, kata-kata kasar, hingga putusnya silaturrahmi hanya karena beberapa perbedaan yang tidak esensial dalam ajaran Islam.
Katakanlah, misalnya yang tiap tahun jadi persoalan adalah penetapan hari pertama ramadhan dan 1 syawal. Memang dalil-dalil agama menberi peluang terjadinya perbedaan penafsiran dan penanggaan, akan tetapi bukan berarti umat Islam tidak bisa sepakat dan satu suara jika mereka, terutama para pemimpinnya mau berpikiran terbuka dan berjiwa besar, kenapa? Karena masyarakat kita besar, wilayah kita luas, harus menggunakan paradigma yang besar dan luas pula tentunya.
Tapi, bila kuga masih ada yang berbeda, bukan berarti mereka sudah keluar dari agama, sekali lagi memang besar sekali peluangnya untuk berbeda, khususnya bagi yang enggan menerima kenyataan bahwa alam bisa dikendalikan manusia melalui bantuan teknologi sebagaimana Janji Allah. Tap, sekali lagi, tidak perlu menjadi kerdil, justru di situ peluang kita meraih pahala dan takwa, bukan malah berpecah belah menjadi domba yang siap diterkam serigala.
Apa lagi? tentu masalah tarawih, ibadah sunnat yang apresiasinya melebihi ibadah-ibadah lain yang wajib menurut saya. Padahal, sebagai bonus di bulan ramadhan, sah-sah saja dilaksanakan secara variatif oleh umat islam, baik rakaat, baik salam, baik salawat, maupun pemilihan waktunya.
Bukankan ibadah selalu memiliki dimensi kuantitatif dan kualitatif? maka sesuai kecendrungan dan kemudahan yang kita miliki, tidak perlu pula mencela pilihan orang lain yang sesuai dengan kecendrungannya. Orang yang beribadah harus diapresiasi positif, bukan malah didera dengan cap bid'ah misalnya.
Tadarus juga masih sering jadi masalah di lingkungan kita. Benar bulan ramadhan momen turunnya al-Quran, benar juga kalo semua ibadah pahalanya berlipat di malam-malam spesialnya, tapi jangan sampai pula, kerakusan kita akan pahala mengusik kenyamanan ibadah saudara kita sesama muslim yang lainnya, baik di masjid, di mushalla, maupun di rumah-rumah, khususnya mereka yang renta atau mengalami masalah dengan kesehatan.
Yang terakhir, sepertinya memang berada di wilayah kewajiban, yaitu zakat fitrah di akhir ramadhan. Tapi bagaimana melaksanakannya, bagaimana ukurannya, apa saja yang dizakatkan, hingga berapa dan siapa yang menerima adalah wilayah ijtihad yang sangat luas, seluas surga dan rahmat Allah. Maka, menurut saya, bagi yang menyempitkannya, maka makin sempit pula dunia dan surganya, dan bagi yang memperluasnya, akan cenderung luas pula dunia dan surganya.
Mari, semakin hari semakin dekat dengan Allah, semakin luas jatah pahala dan surga kita, karena semakin hari pula, waktu kita semakin sedikit, dan maut menjadi semakin dekat. Akhirul kalam, selamat menyambut ramadhan, meskipun belum tentu kita akan masih hidup di dalamnya.
Selasa, April 02, 2013
Masih Ada Allah, Bunda...
(sebuah cerpen kegelisahan)
Semoga dunia ini menjadi lebih baik, dimulai
dari dari saya tentunya.
“Bunda, apakah anak-anak sudah tidur?” Sulaiman bertannya pada istrinya, Masyithah.
“Ya, ayah. Anak-anak sudah tidur pulas,” jawab Masyithah
lembut, khawatir anak-anaknya terganggu.
“Bunda sudah baca berita di Koran hari ini?” Lagi, tanya
Sulaiman pada Masyithah.
“Ya, ayah. Miris sekali nasib anak itu, padahal dia satu-satunya
pelita keluarganya.” Masyithah menimpali.
“Masih ada Allah, bunda,” kata Sulaiman sabar. “Di balik
semua peristiwa tentu ada hikmahnya,” tambah Sulaiman.
“Benar, ayah. Tapi apakah hukum sudah sedemikian kabur,
sehingga tidak ada yang melindungi Nadia kecil, dan orang tuanya yang lemah?”
Kembali Masyitah bertanya.
“Tidak juga, bunda. Hukum masih tetap ada. Hanya saja,
hukum berlaku bagi orang yang menerimanya.” Jawab Sulaiman tetap sabar.
“Ayah, apakah kelak, ketika si Anisah dan Rahimah sudah
sekolah, kota ini akan menjadi lebih aman bagi mereka? Atau sebaliknya,
anak-anak tidak berani kita lepas pergi ke sokolah?” Tanya Masyithah.
Sejenak Sulaiman terdiam. Jemarinya saling menggenggam,
setelah menarik nafas panjang, katanya “Bunda, sudahlah. Tidur dahulu bersama
anak-anak. Kita harus tetap optimis dengan masa depan. Ayah kira, peristiwa ini
cukup untuk menyadarkan Pak Walikota, Gubenur, Polisi, juga Jaksa, untuk
menjamin rasa aman masyarakatnya kelak.”
“Baiklah ayah, bunda permisi dulu,” kata Masuyithah undur
diri menemani tidur anak-anaknya.
“Ya,” jawab Sulaiman singkat.
Selanjutnya Sulaiman kembali menarik nafas panjang.
Sulaiman sebenarnya tidak begitu yakin dengan apa yang diucapkannya. Kasus
Nadia bukan yang pertama dan terkahir, meskipun terkesan tragis dan
menggenaskan.
Jika Sulaiman tidak salah ingat, seminggu sebelumnya teror
yang sama juga menimpa gadis belia yang sedang pergi mengaji. Belum lagi,
bunuh-membunuh sepertinya juga sudah menjadi cara baru menunjukkan emosi.
Sulaiman sendiri tidak bisa membayangkan, bila
anak-anaknya, Anisah dan Rahmah besar kelak akan hidup dalam situasi dan
lingkungan yang berbahaya seperti ini.
“Sepertinya orang-orang besar tidak peduli dengan
masalah-masalah remeh seperti ini,” batin Sulaiman. Mereka sedang sibuk
mempermasalahkan, apakah bendera kuning lebih baik dari bendera hijau atau
sebaliknya.
Ya, bagi yang kuning, itu perlambang kemegahan,
kesuksesan, cita-cita besar, lapangan kerja, hotel mewah, makmur. Hijau hanya
perlambang romantisme picisan, sudah ketinggalan zaman.
Bukan, kata yang hijau, itu perlambang kesejahteraan,
kemandirian, sawah lading yang subur, hutan-hutan yang rindang, sayur dan buah
yang segar, masyarakat yang sehat dan kuat. Bahkan kuning merupakan perwakilan ketamakan,
keserakahan, ketidakadilan.
“Entah mana yang benar,” kembali Sulaiman membatin.
Baginya, masalah tersebut sangat pelik, terlebih bagi seorang tukang sapu
kontrak bulanan. Hari-harinya adalah menyapu dan terus menyapu, demi senyum dua
putrinya di sore hari, ketika dia pulang mereka berteriak “Itu ayah pulang….”
Sulaiman memang puas setelah gedung yang menjadi
bagiannya menjadi bersih, rapi, indah dan wangi. Tapi Sulaiman tidak berani
bermimpi bila keesokan harinya dia tidak menemukan abu rokok, bungkus permen, atau
sobekan kertas yang berserakan di bawah meja atau sudut ruangan. Dia takut
tidak akan melihat senyum istri dan anaknya lagi.
“Kasihan anak itu, seharusnya dia masih bisa tersenyum
untuk kedua orang tuanya setiap hari,” batin Sulaiman penuh iba. Air matanya
menetes, air mata orang tua.
Malam sudah lewat pukul 2 pagi, ketika Sulaiman beranjak
dari sajadahnya menuju kamar mandi, membersihkan dua botol susu sisa Anisah dan
Rahmah yang sudah terlelap, untu kemudian diisi kembali dengan air putih.
“Anakku, ayah tidak bisa menjanjikan dunia yang lebih
baik bagi kalian,” batin Sulaiman sambil memegang botol susu.
“Tapi ayah masih bisa berdoa, supaya kalian bisa menjadi
anak-anak yang sehat, sejahtera dan panjang umur. Ayah masih bisa berdoa supaya
kalian selalu dalam lindungan Allah, mendapat jodoh yang baik, memiliki keturunan
yang baik, cahaya bagi dunia yang lebih baik.”
Sulaiman melangkah perlahan menuju kamar anak-anaknya,
ketika suara ribut bebek terdengan dari belakangnya. “Kwek-kwek-kwek………kwek….kwek….kwek……..”
Sulaiman bergegas keluar
menuju belakang rumah kecilnya, dimana selusin bebek menjadi penghuninya. “Siapa
di situ?” Tanya Sulaiman tegas. Sesosok bayangan tiba-tiba menerjangnya dari
belakang. “Aduh…..” jerit Sulaiman tanpa perlawanan.
“Habisi saja!” kata sebuah
suara. “Kita mesti buru-buru sebelum tertangkap warga,” kata suara lainnya.
“Siapa kalian?” Tanya Sulaiman
terbata-bata, menahan sakit di pinggang bagian belakangnya.
“Ciaatttt….” “Aaah….”
“Cepat kabur sebelum warga
lainnya menyusul kemari,” kata sebuah suara yang diikuti gerakan cepat empat
orang yang melarikan diri dalam remang cahaya bulan empat belas, meninggalkan
Sulaiman penuh darah, terkapar di belakng rumahnya, ditemani selusin bebek.
“Kwek…..kwek…..kwek……..”
***
“Ayah kemana, bunda?” Tanya Anisah
dengan suaranya yang masih polos. “Ya, bunda. Ayah biasanya sering gendong
adek, bunda.” Si Rahmah menimpali.
“Sabar sayang, ya. Ayah lagi
pergi kerja,” jawab Masyithah penuh haru.
“Tapi kok lama, bunda?” Tanya
Anisah lagi.
“Ya, nak. Ayah kerja berat
supaya kalian bisa pakai baju untuk hari raya,” jawab Masyithah lembut.
“Hore…. Adek mau baju baru
yang merah ya bunda…!” Kata Rahmah menimpali.
“Ya, sayang. Sekarang mari
kita berdoa untuk ayah, ya!” kata Masyithah sambil memeluk kedua putrinya.
“Ikuti bunda ya…!” “Allahummaghfirlahu…….
Warhamhu….. wa’afirhi…. Wa’fuanhu…….!”
“Amin……!” jawab Anisah dan
Rahmah serentak.
“Kenapa nangis, bunda?” Tanya
Anisah polos.
“Tidak, nak. Bunda hanya
terlalu khusyuk berdoa,” jawab Masyitha sambil menghapus air matanya.
“Iya, kakak. Kata ayah doa
harus khusyuk biar diterima sama Allah,” kata Rahmah dengan manja.
“Benar, anakku. Sekarang kita
bobok ya!” Masyitah mematikan lampu dan memeluk anaknya dalam doa.
***
Empat Terangka Perampokan dan
Pembacokan Ditangkap Polisi, Satu Ditembak di Kaki
BeritaPro: Kepolisian telah
berhasil menangkap empat orang yang diduga kuat telah melakukan perampokan
sebulan yang lalu. Satu diantaranya terpaksa ditempak di kaki karena berusaha
melarikan diri.
Setelah merampok sebuah ruamah
mewah, mereka juga diduga membacok seorang warga masyarakat yang kebetulan
memergoki mereka sesaat sesudah berhasil membawa kabur barang-barang berharga
dari lokasi perampokan.
Dari hasil olah TKP, polisi
memang menemukan mayat Sulaiman (40) yang tergeletak di belakang rumahnya
bersimbah darah, tidak jauh dari rumah di mana perampokan terjadi. Kita tunggu
hasil penyelidikan polisi selanjutnya. (abs)
Banda Aceh, 2 April 2013.
Langganan:
Postingan (Atom)