Kamis, Juni 20, 2013

Relasi Puasa dengan Prilaku Ekonomi

Malaikat selaku makhluk samawi yang tidak dibatasi oleh keterbatasan ruang dan waktu seperti manusia, mengetahui bahwa manusia akan terjebak pada situasi sulit, yang pada skala resiko terbesarnya akan melakukan kerusakan di muka bumi dengan menguras semua sumberdaya alam secara semena-mena, dan untuk itu, manusia juga tidak ragu untuk menumpahkan darah sesamanya (QS. Al-Baqarah: 30).

Asumsi malaikat ini tampaknya mulai menjadi kesedaran kolektif kita semua, bahwa setiap harinya sumberdaya alam dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional tanpa menghiraukan dampak jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia dan kestabilan struktur lingkungan hidup. Bahkan, demi memelihara keuntungan dan domiasi sekelompok kecil manusia terhadap sebahagian besar manusia lainnya, konflik direncanakan secara sistematis sebagai sebuah sekenario makro ekonomi.

Di beberapa tempat, teori ekonmi yang awalnya mendiskusikan tentang ketersediaan, kebutuhan dan distribusi, dalam praktiknya kemudian berubah menjadi perang saudara dan invansi, di beberapa tempat melahirkan perbudakan, dan di tempat lainnya, mungkin juga di tempat kita, mewujud dalam bentuk ketergantungan atau kecanduan terhadap BBM misalnya dengan segala dampak dan konsekuensi.

Prilaku ekonomi masyarakat menjadi tidak sehat, mulai dari konsumen rokok, pengecer minyak, distributor pakaian, hingga produsen elektronik sebagai representasi pelaku ekonomi, senantiasa berorientasi pada keuntungan dan dominasi. Terjadilah proses ‘makan-memakan’ secara bertingkat, yang mulanya hanya sekedar mencari laba dan kepuasan, mulai terasa menggerus kemerdekaan dan kemanusiaan.

Pada level tertentu, karena berbagai keterbatasan, transaksi ekonomi berubah menjadi tindak kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman. Bagi kelompok yang lebih lemah, subjek ekonomi berubah menjadi objek, dengan menjual diri: menjual kejujuran, menjual keadilan, menjual kehormatan, menjuala persaudaraan, menjual kemerdekaan dan kemanusiaan. Bahkan Alquran mensinyalir bahwa agama juga dijadikan komoditi ekonomi yang menguntungkan (lihat misalnya QS. Al-Baqarah: 174).

Lalu, apakah pengetahuan malaikat hanya terbatas pada skenario kehancuran umat manusia saja, atau mereka juga mengetahui solusinya. Dengan rendah hati, makhluk samawi yang dalam beberapa kesempatan direkomenasikan oleh al-Ghazali utuk kita contoh akhlaknya, mengakui bahwa pengetahuan mereka juga terbatas, sebatas yang Allah izinkan bagi mereka (QS. Al-Baqarah: 32).

Pertanyaan lebih lanjut, adakah solusi untuk meringankan masalah ekonomi dan kemanusiaan hari ini, minimal kita bisa meyakinkan diri sendiri bahwa anak dan cucu kita masih akan mewarisi bumi dalam keadaan yang sehat lahir dan batin.

Saya katakan minimal dan meringankan, karena selaku manusia ilmu saya sangat terbatas. Meskipun Allah membekali manusia dengan petunjuk wahyu, lagi-lagi pada tataran kemanusiaan wahyu bisa dipahami beragam, baik sebagai solusi, mimpi, atau justru sebagai motivasi untuk membiarkan kemanusiaan sekarat dengan sendirinya.

Dalam kondisi ekonomi saat ini yang saling terkait satu sama lain, dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak kasat mata dari berbagai elemen yang berkepentingan secara makro, saya melihat ada satu ‘gerakan” yang bisa dilakukan untuk mengerem laju kebuasan pelaku ekonomi, yaitu puasa.

Sebelum mewajibkan puasa formal kepada orang-orang beriman, Allah menegaskan terlebih dahulu bahwa puasa adalah praktik yang sudah dijalani oleh umat-umat sebelumnya (lihat QS. Al-Baqarah: 183). Secara lahiriah, ibadah puasa dilakukan dengan mengurangi konsumsi, khususnya tidak makan dan minum sejak terbit matahari hingga tenggelamnya. Jika rata-rata manusia mengkonsumsi makanan dan minuman tiga kali sehari, plus snack dua kali misalnya setiap hari, maka dalam bulan Ramadhan, seorang muslim sudah melakukan penghematan 30 kali makan siang dan 30 kali snack yang berpengaruh langsung pada efisiensi pengeluaran bulanannya.

Dan bila dilakukan dengan konsisten, praktik puasa ini bisa mempengaruhi prilaku pasar dan kegiatan ekonomi, yang sebelumnya menggebu-gebu mengejar keuntungan dan dominasi menjadi lebih terkendali, karena sebagian pelaku ekonomi bersikap menahan diri.

Karena puasa masih dipahami secara formal sebagai suatu ibadah tunggal, maka yang terjadi selama ini, justru selama Ramadhan dan sekitarnya terjadi lonjakan inflasi, harga barang naik, konsumsi meningkat, dan praktik-praktik kotor dalam ekonomi justru menemukan momentumnya.

Bila menilik kembali perintah puasa, gol ketakwaan sepertinya tidak bisa dicapai hanya dengan menjalankan puasa formal semata. Dibutuhkan lebih dari sekedar menahan lapar dan haus selama lebih kurang 12 jam setiap harinya untuk mencapai level takwa secara kolektif yang memberi pengaruh positif pada prilaku ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya akan menyelamatkan umat manusia dari ‘ramalan sementara’ para malaikat.

Pelaku ekonomi, baik yang besar maupun yang kecil, harus mampu juga menahan egonya untuk meraih keutungan dan dominasi pribadi maupun kelompok, baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan. Mereka perlu membagi sedikit profit dengan lingkungannya (seperti zakat dan sedekah), mereka juga perlu membangun hubungan sosial dengan kelas ekonomi yang berbeda di luar hubungan transaksi sehingga terbangun sentimen sosial yang positif (seperti silaturrahim, shalat jamaah).

Dan yang paling menentukan adalah bersikap adil, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun keluarga. Jika ada jalan pintas menuju ketakwaan sosial dan kolektif, menurut saya adalah dengan bertindak adil itu, bahkan mungkin lebih dekat dibandingkan ibadah shalat, zakat dan puasa secara formal (lihat QS. Al-Maidah :8).

Karena sikap adil adalah representasi yang paling diharapkan dari seseorang yang mampu melatih jiwanya melalui puasa (menahan diri), shalat (taat aturan, disiplin) dan zakat (bersedia berbagi dengan sesama manusia).

Ketakwaan kolektif itu akan lebih sempurna saya rasa, bila karakter utama yang dicapai melalui ibadah haji itu dapat direalisasikan dengan benar, yaitu kerelaan mengorbankan ego kita untuk kepentingan orang lain. Menurut saya, salah satu alasan kenapa ibadah haji dibatasi hanya kepada yang mampu menempuh perjalanan, dikarenakan tujuan haji yang paling penting bukanlah melakukan perjalanannya itu sendiri, tapi mencapai sasaran tertinggi melalui kesediaan memberi kesempatan kepada orang lain untuk sama-sama berhasil, sama-sama sukses, sama-sama bertakwa, sehingga ada istilah pahala haji bagi mereka yang tidak ke tanah suci.

Wallahu a’lam. Semoga dengan bimbingan Allah SWT, dan dengan saling ingat mengingatkan, kita bisa melewati hari-hari yang diwarnai kenaikan BBM ini dengan lebih baik, bukannya malah mewujudkan ramalan malaikat, karena menurut Allah, masih ada rahasia yang belum diketahui malaikat tentang manusia, yaitu keutamaan yang disimbolisasikan dengan sujudnya para malaikat kepada Adam, moyang manusia, dan tentu saja selalu ada yang tidak senang dengan kondisi ini. Siapa dia?