Kamis, Desember 15, 2011

Integritas Moral Orang Beragama

Dalam rangka menyambut semangat Kementerian Agama untuk menjadi lebih bersih dari KKN di Hari Jadi-nya yang ke 66 pada 3 Januari 2011 mendatang, saya rasa tulisan sahabat saya ust. Jabbar Sabil berikut ini patut menjadi catatan bagi siapa saja yang ingin menjadi aparatur yang lebih baik di masa mendatang.
Judul Aslinya "Korupsi" Penafsiran Surat Ali Imran ayat 161, dalam hal ini saya ganti dengan "Gratifikasi?." Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.

GRATIFIKASI? Penafsiran QS.Ali Imran: 161


وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran [3]: 161)

Ayat di atas menjelaskan tentang ghulul, yaitu berkhianat dalam hal harta ganimah (rampasan perang) dengan cara mengambilnya sebelum dibagi. Menurut Ibn ’Abbas, ayat ini turun seusai perang Badar yang meletus pada 17 Ramadhan tahun 2 H. Diriwayatkan selembar beludru merah hilang dari perbendaharaan harta ganimah sehingga ada sahabat yang menduga Rasulullah saw. telah mengambilnya. Maka turunlah ayat ini untuk mengklarifikasi tuduhan itu.
Meski asbabunnuzul ayat di atas terlihat khusus, namun ghulul di sini tidak terbatas dalam hal harta ganimah saja sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. berikut ini:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Dari ‘Adi ibn ‘Amirah al-Kindi, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk suatu tugas, lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih, maka itu adalah tindakan ghulul (khianat/korupsi), ia akan memanggulnya di hari kiamat.” (HR. Muslim da-lam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Secara istiqra’ (induksi tematik), dalam berbagai hadis yang diketengahkan di sini, Rasulullah saw. mengkategorikan berbagai bentuk penyelewengan dalam penyelenggaraan tugas kepemerintahan sebagai pengkhianatan (ghulul). Ancamannya juga sama dengan bunyi ayat di atas, yaitu memanggul harta ghulul itu di hari kiamat kelak. Hasil istiqra’ ini menjadi hujah bahwa maksud kata ghulul dalam ayat di atas tidak terbatas dalam konteks ganimah saja.
Kata lain yang juga digunakan Rasul dalam makna yang sama dengan ghulul adalah kata ghasyw. Hal ini dapat dilihat dalam hadis Sahih Muslim pada Kitab Imarah berikut ini:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidak seorang hambapun yang dijadikan pemimpin oleh Allah, lalu ia mati dalam keadaan mengkhianati rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan syurga baginya. (HR. Muslim).

Kata ghasysya (ghasyw) dalam hadis di atas berarti akhlak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, atau tidak mengikuti Sunah Rasulullah saw. Menurut Ibn Manzur (Kamus Lisan al-‘Arab), kata ghasysya itu semakna dengan kata ghalla (ghulul), yaitu berarti pengkhianatan, atau mengkhianati amanah. Dengan demikian, kata ghulul dan ghasyw semakna dengan terminologi korupsi yang dipahami sekarang ini.

Untuk konteks Indonesia, terminologi korupsi dapat dipahami dengan merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang ini, terminologi korupsi khusus dipakai dalam penyelenggaraan kepemerintahan. Bentuknya pun tidak terbatas dalam penyelewengan uang negara saja, tapi mencakup penyalahgunaan jabatan meski tidak merugikan uang negara secara langsung, dan pemerasan oleh penyelenggara negara yang merugikan individu tertentu.

Adapun tentang bentuk konkret dari tindakan korupsi, Rasulullah saw. juga menjelaskan detil tindak korupsi (ghulul) dalam hadis-hadis berikut:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ»
Dari Abi Humayd al-Sa‘idi, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hadiah yang diberikan kepada pegawai adalah ghulul.” (HR. Ahmad)

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya pada bab hadis dari para sahabat, poin hadis dari Abu Humayd al-Sa‘idi. Terlihat dalam hadis ini bahwa Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan hadiah yang diterima pegawai pemerintah sebagai korupsi. Bahkan dalam tindakan nyata Rasulullah saw. langsung men-ta‘zir (seorang sahabat yang menerima hadiah saat bertugas, perhatikan hadis berikut:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَسْدِ، يُقَالُ لَهُ: ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ - قَالَ عَمْرٌو: وَابْنُ أَبِي عُمَرَ - عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِي، أُهْدِيَ لِي، قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: " مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ، فَيَقُولُ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ، أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ "، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «اللهُمَّ، هَلْ بَلَّغْتُ؟» مَرَّتَيْنِ
Diriwayatkan dari Abi Humaid al-Sa‘idi, bahwa Rasulullah memperkerjakan Ibn Lutbiyyah dari suku ‘Asdi untuk mengumpulkan zakat. Sekembali dari tugas ia menyerahkan hasilnya kepada Rasul sambil berkata: “Ini untuk Anda, dan ini milik saya, dihadiahkan untuk saya.” Maka Rasululllah saw. berdiri di atas mimbar, memuji Allah dan berkata: “Alangkah memprihatinkan seorang pegawai yang kutugaskan, ia mengatakan ‘ini untukmu, dan ini dihadiahkan kepadaku,’ mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak-ibunya sampai ia melihat apakah akan diberi hadiah atau tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil hadiah itu kecuali ia akan berjalan dengan memikulnya di hari kiamat, ia memanggul unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.” Kemudian Rasulullah menadahkan tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?” Beliau mengulang ucapan ini sampai dua kali. (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Perbuatan lain yang dikategorikan Rasulullah saw. sebagai korupsi (ghasyw/ghulul) adalah kecurangan yang dilakukan pedagang sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ: «مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟» قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
Dari Abu Hurairah, bahwa suatu hari Rasulullah melakukan inspeksi ke pasar. Sesampainya di sebuah toko penjual makanan beliau memasukkan tangan ke dalam makanan yang dijual. Didapatinya makanan itu basah di bagian bawah, maka beliau berkata: “Ada apa ini wahai pemilik makanan?” Penjual menjawab: “Kehujanan ya Rasulullah.” Lalu Rasul bersabda: “Kenapa tidak kamu letakkan di bagian atas agar pembeli dapat melihatnya, ketahuilah, barangsiapa yang berkhianat maka ia bukan golonganku.” (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Iman).

Kelihatan dalam hadis ini bahwa tindakan si pedagang tidak dikategorikan pencurian atau penipuan, tapi pengkhianatan (korupsi/ghasyw/ghu-lul). Jadi jelas secara rasional Rasulullah saw. tidak menganalogikakannya dengan pencurian atau penipuan. Dengan demikian, ketentuan sanksi untuk kasus ini tidak bisa disamakan dengan mencuri atau menipu.
Sebaliknya, penggunaan kata ghasysy menjadi indikator bahwa kasus ini dipandang sejenis dengan tindak penyelewengan secara politik (siyasah). Perlu digarisbawahi, bahwa politik (siyasah syar‘iyyah) dalam Islam adalah segala tindakan pemerintah yang mengatur urusan umum dalam daulah Islam dengan aturan yang mampu mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Jadi tindakan si pedagang di atas masuk dalam kategori siyasah karena terkait dengan administrasi kepemerintahan, bukan pidana biasa.

Tindakan lain yang cukup keras dikecam Rasulullah saw. adalah suap (al-risywah) karena berhubungan langsung dengan penyelenggaraan kepemerintahan, baik peradilan maupun lainnya. Risywah hampir serupa dengan hadiah, tapi lebih spesifik karena jelas ditujukan untuk suatu maksud tertentu. Menurut al-Sayyid Abu Bakr dalam kitabnya I’anat al-Thalibin, risywah adalah memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak adil, atau untuk mencegah putusan yang adil. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ»
Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, dan menerima suap dalam masalah hukum. (HR. al-Tirmidzi, dalam Sunan-nya pada Abwab al-Ahkam).

Dalam hadis yang dinyatakan sahih oleh al-Albani ini, Rasulullah saw. melaknat orang-orang yang terlibat suap, bukan hukuman konkret tertentu. Demikian pula dalam hadis yang dikutip sebelumnya, lantas apakah ini berarti korupsi hanya pelanggaran moralitas saja?

Perlu digarisbawahi bahwa ajaran Islam merupakan kesatuan dari syariah, ibadah dan akhlak, dan ketiga hal ini tidak bisa dipisahkah. Lebih jauh lagi, ternyata Alquran melihat akhlak sebagai bagian yang cukup penting sehingga menyita sebagian besar kandungan Alquran. Dengan demikian, penerapan syariat Islam tidak cukup dilakukan dengan positivisasi fikih saja, tetapi juga harus dengan pendekatan penyadaran moralitas-agamis. Dari itu integritas seorang muslim yang korup patut dipertanyakan, Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا»
Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami maka ia bukan bagian dari kami, dan barangsiapa yang mengkhianati kami (ghasysyana) maka ia bukan bagian dari kelompok kami. (HR. Muslim, dalam Sahih-nya pada Kitab Iman).

Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dalam menghadapi tindak pidana korupsi Rasulullah saw. lebih mengutamakan pendekatan akhlaqi. Hal ini dapat dipahami karena keterkaitannya yang sangat erat dengan kesadaran moral-spiritual para pelak-sana layanan publik, yaitu lewat pemahaman filosofis (al-hikmah).

Menurut Kwik Kian Gie, di Indonesia yang sangat dominan adalah para teknokrat dan bukan teknosoof. Itulah sebabnya mereka tidak dapat berpikir secara mendalam dan hakiki karena membutuhkan pikiran abstrak yang falsafati, walaupun sedikit saja. Dan karena itu, bersama-sama dengan para pengusaha mereka merasa bahwa menggelapkan uang milik publik tidak apa-apa.

Meski mengutamakan pendekatan moral-spiritual, namun jika diperhatikan, salah satu hadis di atas yang terkait dengan hadiah yang diterima Ibn Lutbiyyah, justru dikenakan hukuman ta‘zir, yaitu dipermalukan di depan umum sebagai pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. juga menerapkan sanksi hukum atas tindak pidana korupsi, yaitu ta‘zir. Contoh sanksi lain pernah diterapkan oleh Umar ibn Khattab, yaitu mengurangi gaji Abu Ubaidah semasa ia menjabat sebagai Gubernur di Syam.

Kasus-kasus ini menjadi hujah bahwa hukuman untuk koruptor dipulangkan kepada kebijakan penguasa agar diputuskan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, dan sesuai dengan kondisi negara kala tindak pelanggaran itu dilakukan. Dalam konsepsi fikih, sanksi hukum seperti ini dikenal dengan istilah ta‘zir, yaitu memberikan pelajaran bagi pelaku maksiat/dosa yang tidak ditetapkan sanksi hadd dan kafarat oleh syarak, baik yang menyangkut dengan hak Allah atau hak anak adam.

Qulyubi yang menuliskan komentar terhadap Syarh al-Mahalli mencontohkan sodomi (melakukan pelanggaran seksual terhadap ajnabiyah pada selain alat kelamin) sebagai maksiat yang penetapan sanksinya dipulangkan kepada pemerintah. Demikian pula manipulasi, atau pemalsuan surat dengan meniru tulisan orang lain (muhakah), bersaksi palsu, dan memukul orang lain tanpa hak. Bentuk hukuman yang dikenakan bisa dipenjara, dicambuk, dipukul, atau dipermalukan di depan umum. Masih menurut Qulyubi, jika efek mudarat yang ditimbulkannya cukup besar dan luas, maka ia boleh dipenjara terus-menerus, bahkan sampai mati.

Mengenai hukuman mati, Ibn Taymiyah mengangkat pendapat para ulama tentang bolehnya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang menimbulkan kerusakan massif. Antara lain membocorkan rahasia negara (al-jasus) dalam kondisi negara sedang genting, orang yang mempengaruhi orang lain untuk mengingkari Alquran dan Sunah (bid‘ah), dan orang yang melakukan sihir. Dalam kasus-kasus ini para ulama berbeda pendapat, hal ini dikarenakan beda tinjauan terhadap kasus itu sendiri yang memang multidimensi. Dari itu dibutuhkan ijtihad yang sifatnya kasuistik, sehingga penyelidikan oleh yang berwenang menjadi penentunya.

Kasus lain yang menurut ulama diancam hukuman mati adalah homoseksual (al-liwath) yang dilakukan terus menerus. Menurut ulama kalangan Hanafiyyah, liwath termasuk dalam jenis tindak pidana (jarimah) yang diancam hukuman mati sehingga dapat di-ta‘zir dengan hukuman mati jika dilakukan terus-menerus. Alasan lain menurut al-Syathibi, liwath itu bertentangan dengan tujuan al-Syari‘ yang mensyariatkan nikah untuk meneruskan keturunan umat manusia. Sedangkan liwath berakibat memutus keturunan manusia, maka ia termasuk kejahatan atas kemanusiaan, dan harus dihukum karena bertentangan dengan syariat.

Dari berbagai pendapat ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa kejahatan yang dilakukan secara berkelanjutan, dan efek kerusakannya tergolong massif, dapat dikenakan hukuman mati. Namun semua itu sangat bergantung dari hasil penyelidikan dan pembuktian oleh yang berwenang. Demikian pula dengan korupsi, jika berkelanjutan, besar efek kerusakannya, dan massif, maka ia dapat dikenakan hukuman mati. Apalagi jika dilakukan pada saat negara sedang dalam kondisi genting seperti pada poin penjelasan UU no. 31, Ayat (2):

Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Sampai di sini terlihat, bahwa modus operandi korupsi sangat beragam sehingga tidak bisa ditetapkan sanksi yang seragam. Dari itu cukup realis jika Islam tidak menetapkan satu bentuk sanksi tertentu secara khusus, tapi dipulangkan kepada penguasa, dan diancam dengan hukuman akhirat yang berat. Dalam hal ini Rasulullah saw. berdoa:

اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, barangsiapa yang menangani suatu urusan umatku lalu ia menim-bulkan perpecahan, maka hancurkan dia, dan barangsiapa yang menimbulkan kasih sayang dalam menangani suatu urusan umatku, maka kasihilah dia. (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Memerhatikan doa Rasulullah saw. ini, maka jelas hanya orang-orang yang mengingkari akhirat saja yang berani korupsi. Adapun koruptor yang mengaku dirinya muslim, serapi apapun ia menyimpannya, tentu dari sekarang ia sudah harus bersiap-siap untuk memikul hasil korupsinya di akhirat, walau hanya sebatang jarum saja... Wallahu a‘lam.

*Penulis adalah kandidat doktor PPs IAIN Ar-Raniry, Redaktur Majalah Santunan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Pengasuh Rubrik Tafsir