Rabu, Desember 29, 2010

Pelajaran dari Rumah Sakit

Beberapa waktu yang lalu, setelah pulang seminar aikido di Medan, saya terserang demam hebat, untuk memastikannya, doter keluarga meminta saya memeriksakan darah di laboratorium rumah sakit.

Saya datang ke rumah sakit, sebagai orang yang sakit, dan membutuhkan pelayanan. Di mata saya, penyakit saya, atau kebutuhan saya akan pemeriksaan darah adalah nomor satu, saya buda dengan keadaan di sekeliling saya. Tapi apa boleh buat, rumah sakit ada aturan, dan dana di kantong saya juga terbatas.

Saya terpaksa harus antri untuk mendaftar kan diri pada baagian pendaftaran, dan supaya berobatnya gratis (pakai askes), daftar tunggu menjadi semakin panjang lagi. Satu hari saya habiskan di rumah sakit hanya untuk mendaftar saja. Untung sebelumnya saya sudah diresepi minum air putih diatas 2 liter setiap harinya. Jadi kondisi kesehatan saya semakin membaik.

Hari ke 2, saya kembali untuk pemeriksaan darah di Laboratorium, karena merasa sudah mendaftar, saya datang ke rumah sakit kira-kira pukul sembilan. Ternyata antrian sudah kembali panjang. Mungkin karena saya ke rumah sakit dengan baju dinas kantor, tak lama kemudian saya dipanggil, mungkin mereka punya sodilaritas sesama pegawai negeri harus saling tolong menolong.

Hasil lab baru bisa diambil sore harinya, ketika tidak ada lagi dokter rumah sakit yang bisa dimintai pendapatnya tentang penyakit saya. Namun saya bersyukur, karena pada bari-baris penyakit yang berbahaya, hasil pemeriksaan saya bernilai negatif. Sungguh suatu perasaan yang akan sangat berbeda bila anda menerima laporan psikologi dengan hasil yang sama.

Saya kembali keesokan harinya, pagi-pagi ke rumah sakit, dengan semangat untuk mengdengarkan kabar baik selanjutnya (tentu tetap mengkonsumsi 2 liter air seperti biasa). Kami kembali antri di depan ruang dokter, kali ini bukan karena banyak orang yang membutuhkan pelayanan, tapi dokternya belum tiba.

Setelah menunggu hingga pukul 8.30, bersama dua orang ibu-ibu yang juga punya keperluan sama. Saya keluar untuk sarapan pagi. Ketika saya kembali, dokternya sudah ada, saya langsung saja masuk, karena tidak harus antri lagi. Tapi yang saya terima bukannya komentar dokter tentang hasil pemeriksaan lab, "Bapak harus mendaftar dulu, supaya nanti untuk obatnya tidak perlu baya" kata dokter itu.

Spontan saya menjawab "Oke, dok." Saya langsung keluar dengan kecewa. Bukan mendaftar seperti yang dimaksudkan dokter, tapi segera balik ke kantor, dan tidak lupa singgah di kantin untuk minum secukupnya.

Saya merasa hebat, karena kemudian saya sehat tampa harus mengantri lagi di depan loket pendaftaran. Saya merasa sombong.....

Tapi, kemarin, saya kembali kerumah sakit, kali ini karena ada kawan yang membutuhkan perawatan di sana. Saya kembali sebagai orang sehat, dengan pikiran yang sehat. Tapi tiba-tiba saja, saya tidak berani mengangkat wajah saya seperti sedia kala, saya malu dengan orang-orang yang menaggung berbagai macam sakit, tapi mereka tetap sabar, walau harus antri dan bolak balik antar loket dan ruangan.....

Selasa, Desember 21, 2010

Mengenal Sensei





Sensei adalah ungkapan kehormatan yang kira-kira semakna dengan guru. Seseorang menjadi Sensei atau Guru karena memiliki beberapa kualitas, antara lain lebih tua, lebih banyak tahu, lebih berpengalaman, dan yang terpenting adalah bisa memberi contoh dan mentransfer ilmunya kepada orang lain.

Dalam salah satu tugas kedinasan di Bandung, saya berkesempatan berjumpa dengan Sensei Ganamurti, Guru Besar Aikido di IAI (Institut Aikido Indonesia). Sebagai salah seorang aikidoka pemula, saya tentu merasa beruntung sekali.

Awalnya saya merasa kikuk ketika memberitahukan rencana saya untuk menemui beliau, tapi dengan santai beliau meminta saya untuk menanti di Bandung, tidak mesti ke Jakarta. Wah, sensei Gana tidak sok wibawa rupanya.

Jum'at malam, 17 Desember, beliau mengunjungi saya di Hotel Horison Bandung, tempat di mana saya sedang mengikuti pelatihan kedinasan. Penampilannya biasa-biasa saja, masak sih ini seorang sensei Aikido yang bahkan disegani oleh orang Jepang.... pikir saya.

Kami duduk di lobi hotel dan saling memperkenalkan diri, lalu dilanjutkan dengan obrolan yang sepertinya mengalir begitu saja, seakan-akan kami telah mengenal begitu lama, tidak ada jarak antara saya dengan Sensei, kecuali tentu umur dan pengetahuannya.

Pertemuan kami terhenti karena beliau meminta saya kembali mengikuti kegiatan sesuai dengan schedule yang telah ditetapkan. Beliau tidak mau kehadirannya mengganggu aktivitas saya. Kami berjanji bertemu kembali esok hari, sabtu.

Malam itu kegiatan kami selesai, sehingga keesokan harinya, kami leluasa untuk 'menjelajahi' kota Bandung, yang menurut sensei Gana, adalah kota kelahiran dan tempat beliau tumbuh besar. Tapi saya sudah 30 tahun tidak mengunjungi kota ini, kata sensei.

Kami ditemani oleh teman kecil sensei ketika SMP, Pak Yuyun, demikian nama panggilan yang digunakan sensei untuk teman akrabnya ini. Meskipun mereka sudah sama-sama berumur, tapi lagaknya masih seperti anak muda saja, kompak, setia, humoris, dan yang paling penting, mereka tidak menganggap saya sebagai 'anak kecil,' saya merasa berada di antara keluarga saya sendiri.

Dari Horison, pertemuan sederhana ini berubah menjadi diskusi yang serius tentang berbagai hal, yaitu tentang belajar makana hidup yang lebih luas dari aikido sendiri. Diskusi kami terpaksa diakhiri di jl. Ciampelas, karena pak Yuyun kurang sehat, hari juga telah menjelang magrib, dan saya juga belum sempat berbelanja oleh-oleh untuk kawan-kawan di Kantor.

Setibanya di Jakarta, dengan mempergunakan KA Argo-Parahiyangan, saya memulai tidur saya dengan sebuah renungan. Ternyata, seorang sensei tidak pernah berhenti belajar......

Karena tidak memperoleh tiket untuk segera kembali ke Banda Aceh, maka saya 'terpaksa' menginap beberapa hari di Jakarta. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mengenal Sensei Gana lebih jauh, dan tentunya juga berlatih aikido langsung dengan beliau.

Wah, ada banyak sekali ilmu yang saya peroleh dari pengalaman hidup beliau yang sangat 'kaya' sekali, mudah-mudahan saja, saya tidak melupakan semuanya, dan pada suatu saat juga bisa menjadi seorang 'Sensei' seperti Pak Gana, terima kasih, pak!

Minggu, November 21, 2010

Setelah Takbir Tak Bergema Lagi

Mendung masih menggantung di atas langit, begitu rapi sehingga sulit membedakan waktu tanpa bantuan jam dinding masjid yang berdenting setiap 60 menit. Hari itu, hari minggu, kira-kira pukul 9 pagi, tapi suasananya masih seperti subuh hari. Mendung masih menggantung di atas langit.

Amin, sang penjaga majid, duduk termenung di tangga masjid. Sepi sendiri. Bukan hanya karena masjid lagi sunyi di luar waktu shalat, tapi memang ada semacam keheningan yang menyergap Amin, sang penjaga masjid.

Amin adalah anak yatim piatu yang ditinggal orang tak dikenal di depan gerbang masjid, 20 tahun yang lalu. Ia dipungut dan diasuh oleh penjaga mesjid sebelumnya, Pak Sabar. Kebetulan Pak Sabar tidak memiliki anak, karena ia tidak pernah kawin, tidak ada yang mau menikahkan anaknya dengan Sabar yang cacat, tidak mampu bicara dengan lancar, matanya juga juling.

Tapi, Amin tumbuh dengan sehat, tidak kurang suatu apa, kecuali pengetahuan tentang orang tuanya, dia anak siapa. Amin memang tidak bersekolah, tapi dia bisa tulis baca. Suaranya indah, menggema setiap kali azan menandakan waktu shalat 5 kali sehari semalam. Amin, orang yang terpercaya, merawat Pak Sabar dengan penuh kasih sayang, hingga, ketika Pak Sabar telah tiada, Amin masih tetap setia menunggui masjid, Istiqamah namanya.

Amin tidak begitu terpelajar, sehingga dia bingung, kenapa pada hari Raya Idul Fitri semua orang bergembira, petasan dan takbir menggema sepanjang malam, dan senyap keesokan harinya. Tapi semua orang tetap bergembira. Amin tidak mengerti, karena tidak ada orang yang memberitahunya, tidak ada yang menyapanya di luar hari raya.

Amin tambah bingung, ketika Idul Adha tiba, semua orang kelihatan susah wajahnya, dan takbirpun dilantunkan dengan seadanya. Orang-orang tampak terpaksa ketika melantunkan takbir di hari kedua, ketiga, dan keempat hari raya.

Tiba-tiba saja keheningan menyerang si Amin, ketika shalat magrib berakhir, dan imam tidak memimpin takbir, padahal si Amin sudah terbiasa. Ditunggunya waktu isya, tap takbir tak juga dikumandangkan lagi, hingga subuk esok pagi.

Amin termenung sendiri di tangga masjid Istiqamah, yang menghitam seiring perjalanan waktu. Masjid ini benar-benar sunyi, tidak hanya pada hari minggu ini, tapi juga pada hari-hari lainnya, selain jum’at dan hari raya.

Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan bau amis darah sisa kurban kembali tercium oleh Amin, padahal dia sudah mengubur sisa penyembelihan itu dalam-dalam. Tapi baunya masih terasa juga menusuk hidung Amin.

Amin tidak mendapat jatah daging kurban tahun ini, meskipun hewan-hewan itu disembelih di perkarangan masjid ini. Karena Amin dianggap orang kaya, tidak memiliki tanggungan, tidak memiliki utang. Amin hanya hidup sendiri, dan dia sudah cukup bahagia menjaga masjid ini, meneruskan tradisi Pak Sabar, ayah angkatnya.

Amin bangkit menuju tempat wudhuk, sebuah bak air tua, setua Pak Sabar dan Masjid Istiqamah. Amin membasuh muka dan tangannya, menyapu kepalanya, membasuh kakinya. Lalu menghadap ke Mekkah, Ya Allah, aku rindu suara takbir itu…

Amin melangkah ke ruang mihrab, membunyikan mikrofon, lalu dengan lantang bertakbir. Allaahuakabar….Allaahuakbar….Allaahuakbar….. Laailaahaillallahuwallaahuakbar…. Allaahuakbar…walillaahilhamd….

Allaahuakbar…..

Allaahuakbar…..

Dan kesunyian yang mendera Aminpun terusir dengan sendirinya, perlahan dia mendengar, takbirnya mulai mendapat jawaban, dia tidak lagi bertakbir sendiri, makin lama suara takbir itu makin gemuruh, memenuhi dada Amin, memenuhi Masjid Istiqamah, bahkan dari halaman dan jalan-jalan juga terdengar suara gemuruh.

Amin sangat bahagia, tiba-tiba saja dia merasa gembira, kegembiraan yang luar biasa. Amin tersenyum, tersenyum lebar karena bahagia. Amin bertakbir lagi…. Terdengar sahutan takbir. Amin bertakbir lebih keras lagi…. Terdengar lagi sahutan. Amin bertakbir lebih keras lagi, Amin merasa lebih bahagia, dadanya mengembang….. Amin bahagia…….

***

Di sudut halaman Masjid Istiqamah, kini terdapat dua gundukan tanah kecil, yang satu makam Pak Sabar, penjaga masjid yang lama. Dan satunya lagi makam si Amin, yang baru meninggal pada hari rabu kemarin.

Amin ditemukan rebah di depan mihrab mesjid, oleh orang-orang yang terusik dengan suara takbirnya yang tidak tepat waktu. Mereka berbondong-bondong menuju mesjid untuk melihat siapa yang berani berbuat bid’ah dan lancang di masjid ini. Tapi mereka hanya menemukan tubuh si Amin yang tidak bernyawa lagi. Mereka merasa kesal, karena mereka telah diakali oleh si Amin yang telah mati.

Hari senin, di papan pengumuman masjid, juga di depan gerbangnya, tertempel papan pengumuman : DICARI PENJAGA MASJID YANG BARU DENGAN SYARAT BERSUARA MERDU, RAJIN BEKERJA, BELUM BERKELUARGA, TIDAK GILA, DAN BERSEDIA MENGIKUTI FIT DAN PROPER TEST OLEH PANITIA SELEKSI. TTD, PANITIA MASJID ISTIQAMAH.

***

Tiga bulan berselang, papan pengumuman di depan gerbang masjid telah jatuh ke tanah yang becek. Mendung masih juga menggantung di langit.

Sebuah mobil MPV mewah berhenti di depan gerbang Masjid Istiqamah. Dua orang turun dari mobil dengan penampilan yang berbeda. Yang satu dengan setelan jas abu-abu, kacamata hitam, dan berambut tipis yang disisir rapi ke belakang. Yang satunya, berjas biru dengan kain sarung, surban tebal dan peci hitam.

Jas Abu-abu : Pak Ustadz, ini benar-benar lokasi yang sangat strategis untuk pengembangan bisnis dan usaha. Saya berencana membangun gedung mewah dua puluh tingkat, lengkap dengan Mall, perkantoran dan tempat tinggal mewah. Berapa harga jadinya, Pak Ustadz?

Jas Biru : oh Pak Mister terlalu melebih-lebihkan, dari dulu masjid itu letaknya memang selalu strategis. Hanya karena zaman telah berubah, tempat ini menjadi sepi. Orang-orang melaporkan kalo setiap malam nampak 2 orang hantu yang bergentayangan di tempat ini.

Jas Abu-abu : Tidak masalah itu Pak Ustadz. Saya jamin tempat ini akan kembali ramai, bahkan lebih ramai dari sebelumnya, kalo perlu, orang-orang yang ada disini tidak akan pernah tidur siang malam sampai mati. Hantu-hantu itu juga akan hilang dengan sendirinya. Jadi berapa nilai yang saya bayar untuk tempat ini?

Jas Biru : Terimakasih Pak Mister atas perhatiannya. Harganya tidak terlalu mahal, tapi saya punya satu syarat Pak Mister, mudah-mudahan anda tidak keberatan?

Jas Abu-abu : Tidak masalah Pak Ustadz, saya terkenal sebagai orang yang murah hati, saya kira sayarat kecil anda itu tidak akan membatalkan kesepakatan ini, bukan?

Jas Biru : Saya yakin dengan anda, Pak Mister. Syaratnya sederhana saja, saya ingin gedung itu tidak hanya 20 lantai, tapi 21 lantai. Lantai teratas menjadi masjid yang indah dengan kubah mungil menjulang ke angkasa. Itu saja Pak Mister.

Jas Abu-abu : Oh.. Pak Ustadz, itu tidak masalah sama sekali, bahkan saya akan membuat desainnya seislami mungkin. Sehingga orang orang akan mengira ini bangunan di timur tengah. Berapa saya harus bayar Pak Usdaz?

Jas Biru : 44 milyar rupiah, Pak Mister!

Jas Abu-abu : Oke, deal kalo begitu.

Mereka naik kembali ke mobil MPV mewah, meluncur meninggalkan cipratan lumpur ke papan pengumuman.

***

1,5 tahun kemudian, di tempat Masjid Istiqamah dulu berada, kini berdiri sebuah bangunan mewah berlantai 21, dengan puncak kubah menjulang angkasa. Ada grafiti dengan tulisan AKBAR TOWER.

Banda Aceh, 21 Nopember 2010

Sabtu, November 13, 2010

Pahlawan tidak Pernah Kesiangan

Di masyarakat kita, sering terdengar ungkapan ‘pahlawan kesiangan’ yang merujuk suatu perbuatan yang sia-sia, sudah terlambat atau tidak pada waktunya. Ungkapan ini, meskipun sudah lazim, tetap saja mengusik nalar kita, khususnya pada momentum peringatan hari pahlawan. Apa benar ada pahlawan yang kesiangan?

Untuk menjawabnya, kita pelu mendefinisi ulang arti kata pahlawan. Saya memulainya dengan memaknai peribahasa berikut “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan.” Dari peribahasa ini, ada beberapa kata kunci yang saya anggap penting, yaitu ‘para pahlawan,’ ‘jasa,’ ‘menghargai,’ dan ‘bangsa.’

Para pahlawan menunjukkan makna jamak, ada banyak pahlawan, bukan seorang pahlawan. Bila dalam literatur sejarah kita mengenal individu-individu pahlawan seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polem dan lain-lain, sesungguhnya mereka hanyalah representasi dari banyak orang yang tidak dikenal dan tidak disebutkan namanya. Ibarat permainan sepak bola, Teuku Umar tidak bisa serta merta menjadi Man of The Match tanpa kontribusi yang berarti dari orang-orang di sekelilingnya.

Jadi kata pahlawan, pada hakikatnya tidak berdiri sendiri, tapi mewakili banyak orang yang berjasa lainnya yang tidak dikenal, tapi mereka memiliki nilai penting. Dalam bahasa Arab, kita mengenal istilah dhammir mustatir, lahirnya tidak ada, tapi maknanya tetap ada dan terpelihara, bila tidak, maka pahlawan pun kehilangan maknanya.

Jasa berarti ada suatu kontribusi yang telah diberikan, baik itu besar, kecil, banyak ataupun sedikit. Namun secara kolektif menjadi sesuatu yang bernilai untuk ’dihadiahkan’ bagi masyarakat dan generasi yang akan datang. Menghargai berarti berterimakasih atas ’hadiah’ yang diberikan. Dan bangsa, berarti suatu masyarakat, sebuah komunitas yang berbudaya.

Maka peribahasa di atas bisa ditafsirkan, bahwa masyarakat yang berbudaya positif adalah masyarakat yang ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa para pendahulunya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak berbudaya positif, tidak ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa pendahulunya.

Masyarakat yang pintar adalah masyarakat yang mengerti, bahwa budaya, keberhasilan, kemerdekaan, kedaulatan, kemakmuran, bahkan juga keadilan hanya bisa dicapai melalui usaha kolektif, bukan sendiri-sendiri. Dibutuhkan partisipasi dari setiap komponen masyarakat untuk bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi generasi dan bangsanya.

Masyarakat yang berbudaya juga mengerti, bahwa suatu pencapaian menjadi tidak berarti bila kemudian menjadi sesuatu yang jumud dan mati, tidak berkembang. Suatu prestasi harus dipelihara dan ditingkatkan melalui perjuangan yang berkelanjutan dari generasi ke generasi.

Masyarakat yang ’mati’ tidak mengerti. Mereka mencitrakan pahlawan sebagai superman yang tiba-tiba datang dan menyelesaikan persoalan seorang diri. Mereka ’mengunci’ prestasi generasi terdahulu dalam ’kotak tradisi.’ Sedangkan mereka hidup dalam ’kotak modern,’ dan tidak pernah berpikir tentang ’hadiah’ yang akan diwariskan pada generasi mendatang. Mereka terputus dari sejarahnya.

Mereka kehilangan solidaritas, mereka kehilangan kolektifitas. Mereka hidup sendiri-sendiri, bukan sebagai suatu masyarakat yang utuh dan peduli. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung abai akan pentingnya perubahan. Orang-orang yang sadar dan berteriak lantang untuk maju akan diejek, ditinggal sendiri, dan diberi predikat sebagai ’pahlawan kesiangan.’

Itulah sebabnya, kita telah merdeka, tapi seakan masih terjajah. Karena kita mengunci kemerdekaan itu di masa lalu. Kita memiliki sumberdaya berlimpah, tapi jauh dari kemakmuran dan berkah. Kita memiliki aturan dan lembaga hukum, tapi jauh dari keadilan. Karena kita masih menunggu datangnya pahlawan dari ’dunia lain.’
Setiap orang pada masa dahulu adalah pahlawan bagi masanya, dan setiap orang pada masa kini adalah pahlawan untuk saat ini. Di masa yang akan datang, anak-anak kitalah yang menjadi pahlawan.

Bangunlah saudara, mari bersama-sama menjadi pahlawan untuk kemerdekaan, kemakmuran, keadilan dan keterpeliharaan alam di zaman kita. Dimulai dari doa-doa dan tindakan senderhana di rumah, kampung dan kantor. Maka kita akan mengerti, bahwa pahlawan tidak pernah kesiangan.

Senin, Oktober 18, 2010

Menyongsong UU Kerukunan di Indonesia

Beberapa kasus keributan yang dipicu sikap anarkis dan ekstrem para pemeluk agama di Indonesia akhir-akhir ini telah memunculkan berbagai macam wacana tentang aturan beragama di Indonesia. Ada yang menilai Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) perlu dibubarkan, ada yang mengajukan penghapusan UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan Penyalahgunaan Ajaran Agama, ada yang meminta SKB Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri tentang aturan pendirian rumah ibadah dicabut, dan terakhir tentang perumusan Undang-undang kerukunan umat beragama.

Saya menilai, gejolak keagamaan akhir-akhir ini dipicu oleh dua hal. Pertama, arus liberalisme yang mendorong pada kebebasan berekspresi, termasuk dalam bergama. Dan yang kedua, sikap elit politik yang cenderung memanfaatkan agama sebagai komoditas politiknya dalam mencapai kekuasaan.

Sebagai sebuah negara besar, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan kebudayaan tidak semata-mata dipersatukan oleh konstitusi, lagu kebangsaan, atau bendera Merah Putih. Masyarakat Indonesia yang majemuk dipersatukan secara emosional sebagai suatu keluarga besar agama-agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan juga Konghucu.

Pada masa orde baru, pemerintah melalui Departemen Agama telah merumuskan tiga konsep kerukunan umat beragama di Indonesia. Tiga konsep kerukunan tersebut adalah: 1. Kerukunan intern umat beragama; 2. Kerukunan antar umat beragama; dan 3. Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Eforia reformasi dan kebebasan berpendapat pada awal dekade ini telah melahirkan kelompok-kelompok ’rohaniawan baru’ yang berani menyuarakan ide-idenya secara terbuka tampa memperdulikan dampak dan akibatnya bagi masyarakat beragama di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah terkesan tidak serius merespon gejala ini hanya dengan menetapkan SKB dua menteri yang kadang-kadang mandul terhadap ’kekuatan-kekuatan’ politik tertentu dalam menyelesaikan perselisihan agama di lapangan.

Akibatnya, terjadilah konflik horizontal di dalam masyarakat dalam berbagai macam modus, mulai dari perebutan anggota jemaah, perebutan lahan rumah ibadah, aliran sempalan, hingga bentrok massa yang memakan korban jiwa.

Karenanya, saya menyambut positif upaya pemerintah dan DPR-RI untuk merumuskan undang-undang yang akan menjadi acuan dan rujukan bersama dalam memelihara kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, karena dengan adanya kerukunan, maka proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang harus diakomodasi dalam undang-undang baru ini terkait kerukunan umat beragama di Indonesia. Pertama, hubungan antara pemeluk agama mayoritas dan minoritas di suatu wilayah di Indonesia. Bagaimanapun, sub kultur bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor agama masyarakat setempat. Maka penganut agama mayoritas di suatu tempat patut memperoleh beberapa keistimewaan dibandingkan dengan tempat lain yang perbandingan jumlah umat beragamanya berimbang, tanpa mengabaikan hak-hak dari pemeluk agama yang minoritas.

Kedua, tentang penyiaran agama. Masalah ini penting sekali untuk dipertegas karena banyak konflik keagamaan ditenggarai dimulai dari upaya pihak tertentu untuk mempengaruhi penganut agama lain berpindah agama dengan berbagai macam cara. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus bisa menjamin hak-hak seseorang untuk memperoleh informasi dan pengetahuan agama, karena pada akhirnya keputusan memeluk agama tertentu adalah pilihan setiap orang. Jadi perlu juga ditetapkan zona-zona tertentu dimana pertukaran informasi dan dialog keagamaan dapat dilegalkan.

Ketiga, tata aturan pendirian dan pemeliharaan rumah ibadah. Dalam hal ini, aturan yang ada masih terkait dengan pendirian rumah ibadah yang baru saja, namun tentang aset atau rumah ibadah yang sudah terbengkalai atau berada dalam lingkungan di mana masyarakatnya sudah melakukan konversi juga harus diperjelas.

Keempat, tata aturan konversi (pindah) agama. Pemerintah juga perlu mengatur masalah ini karena terkait dengan perubahan status seseorang sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang sebelumnya diikat oleh aturan agama A menjadi terikat dengan aturan agama B. Secara sosial, konversi agama mempengaruhi status seseorang di dalam masyarakatnya, ikatan keluarga dan pernikahan, warisan dan lain-lain. Pemerintah harus menghindari adanya dualisme hukum antara hukum sipil dan hukum agama yang diyakini dan dipengang teguh oleh masyarakat.

Kelima, tata aturan penyelelesaian konflik interen keagamaan. Dalam hal ini pemerintah harus merumuskan kebijakan tentang sistematika penyelesaian suatu masalah interen keagamaan karena menyangkut tentang ‘Surga’ dan ‘Neraka’ dalam suatu agama. Dalam kasus aliran sempalan Islam misalnya, pemerintah mengakui Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga musyawarah tertinggi agama Islam, maka pemerintah harus menyelesaikan masalah aliran sempalan ini sesuai rekomendasi dan penilaian dari MUI, bukan dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Keenam, tata aturan penyelesaian konflik antar umat beragama. Pemerintah harus menjaga supaya penyelesaian konflik keagamaan tidak melebar kepada masalah politik, ekonomi, kesukuan, atau bahkan isu-isu kriminal/terorisme yang menyudutkan pemeluk agama tertentu. Harus ada semacam ‘alat yang tajam’ untuk membedah sumber dan penyebab masalah/konflik keagamaan di Indonesia yang diimbangi pula dengan ancaman hukuman yang memadai, bila terbukti bahwa masalah tersebut secara sengaja diprovokasi oleh oknum tertentu. Jadi, ada efek jera yang akan mencegah orang-orang lain untuk menimbulkan masalah terkait kerukunan hidup umat beragama.

Ketujuh, pengakuan negara terhadap agama dan aliran di Indonesia. Pemerintah harus mulai ‘mengatur’ kelompok aliran kepercayaan yang bukan bagian dari agama yang sudah ada di Indonesia, atau yang ditolak menjadi sebagai bagian dari agama, seperti kasus ahmadiyah dan aliran sesat lainnya yang dinyatakan bukan bagian dari Islam, tapi masih juga tetap eksis.

Kedelapan, pemerintah harus meperjelas posisinya dalam penyelesaian konflik keagamaan, serta tanggungjawab pemerintah dalam pembinaan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Semoga kerukunan hidup dan keutuhan bangsa dapat terpelihara dengan baik. Amin.

Oya, jangan sampe macet seperti UU Halal dan Zakat Ya...., atau kayak UU Pornografi yang tidak diindahkan, salam rukun selalu....

Jumat, Oktober 15, 2010

Hakama atau Sarung?


Selama ini, hakama dipahami sebagai pakaian pelengkap atau identitas seorang samurai, demikianlah pemahaman yang muncul dari tradisi pemakaian hakama yang sudah men-sejarah tersebut.

Karenanya, hampir semua sensei yang mewarisi ilmu samurai memakai hakama, yang rata-rata berwarna hitam, meski ada juga yang berwarna putih.

Sampai suatu hari, ketika sedang berlatih aikido, tiba-tiba celana saya robek "besar" ketika lagi ushiro shikko, untung tidak ada yang "melihat." Karena pada saat yang sama, saya dapat perintah untuk membimbing teman-teman yang baru belajar aikido. Sambil menghormat, langsung saja saya minta izin kepada pelatih untuk memakai 'hakam,' yang dioyakan oleh pelatih sambil keheranan, mungkin di pikiran pelatih "Sombong benar anak ini, saya aja gak pakai hakama, dia mau pakai hakama segala, mungkin dia mau gaya-gayaan kali...."

Nah, Hakama saya itu adalah kain sarung yang selalu saya bawa untuk persiapan shalat magrib sesusai latihan, kebetulan warnaya coklat-putih kotak-kotak, pas benar dengan sabuk saya yang sekarang 'coklat.' Ketika saya sudah siap dengan penampilan baru ini, teman-teman pada tertawa Ha.....Ha.....Ha..........

Saya katakan ini bukti mencintai produk dalam negeri, jadi ya model sarungan gini...... dan latihanpun berlanjut seperti biasa. Kalo gak salah, ada seseorang yang sempat mengabadikan aksi saya berbalut hakama sarungan itu. Nanti deh saya minta untuk kenang-kenangan.

Jadi, menurut saya hakama itu bukan sekedar gaya-gayaan atau identitas seorang samurai. Kemungkinan besar itu untuk menutupi robekan pada celana mereka yang diakibatkan banyak sekali gerakan, tarikan dan benturan. Maka itu, lagi-lagi menurut saya, para sensei memakai hakama supaya tidak 'malu' sama murid-muridnya kalo lagi melatih tiba-tiba celananya robek, he...he...he.....

Mungkin begitupula alasannya kenapa para pendekar melayu juga selalu memakai kain sarung selain ikat pinggang, ya suapa bisa jadi 'penutup' sekaligus selimut atau pengusir nyamuk kalo terpaksa tidur di alam terbuka. Dan yang pasti, seperti pengalaman saya, ya untuk bahan 'bersalin' (baca: ganti dogi-baju biasa) dan untuk shalat dalam pakaian yang bersih tentunya.

Bagaimana dengan anda.....?

Senin, Oktober 11, 2010

Franchise Aliran Sempalan

Setelah membaca pemberitaan Serambi Indonesia (7/10) terkait aliran sesat di Kabupaten Bireuen, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Pertama, ternyata tokoh aliran yang dianggap sesat itu punya kualifikasi pendidikan yang lumayan, seorang tenaga kesehatan, dan calon TKHI Tahun 2010. Kedua, nama alirannya yang unik, ‘Millah Abraham.’ Dan ketiga, saat sedang mendiskusikan aliran ini dengan teman-teman se-ruangan di tempat kerja, atasan saya membawa masuk ‘berkas’ kelompok ini yang diperoleh dari MPU dan aparat terkait di Kabupaten Bireuen.

Saya sependapat dengan pandangan Kapolres Bireuen, AKBP HR Dadik Junaedi Supri Hartono, bahwa sebaiknya pemberangkatan TKHI yang terkait dengan masalah ini perlu ditinjau ulang. Terlepas dari mekanismenya secara struktural yang terpisah antara TPHI/TPIHI dengan TKHI, keberadaan yang bersangkutan dalam rombongan jamaah haji tentu akan menimbulkan ekses tertentu (fitnah).

Ekses tersebut bisa berupa penolakan oleh jamaah haji kepada petugas, baik karena statusnya saat ini sebagai tersangka penyebar aliran sempalan, maupun tindakannya nanti yang berupaya mempengaruhi jemaah haji di tanah suci. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan dalam melaksanakan ibadah ‘yang berat’ ini. Belum lagi ‘ujian-ujian spiritual’ yang akan dialami oleh setiap orang di tanah suci.

Berdasarkan berkas yang kami terima, ada 5 poin ajaran kelompok Millah Abraham ini yang dianggap menyimpang oleh MPU Kabupaten Bireuen: 1. Pengajian Millah Abraham dilakukan secara berkelompok dan bersifat tertutup hanya sesama anggotanya saja; 2. Menurut pengakuan mereka, dua kalimah syahadat sebagaimana yang diucapkan umat Islam pada umumnya (syahadatain) tidak ada dalam Alquran, tetapi hanya merupkan pernyataan Khadijah untuk memperkuat Nabi (Rasulullah); 3. Bahwa antara saudara kandung seibu-sebapak boleh melakukan pernikahan, dan seorang ayah juga boleh menikahi anak perempuannya; 4. Dalam ajaran Komunitas Millah Abraham tersebut menyatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah yang paling hanif (lurus) dibandingkan Nabi-nabi lain; 5. Bagi orang yang telah menjadi anggota komunitas Millah Abraham, maka namanya akan diganti dengan nama lain atau nama kedua.

Menurut kelompok ini, mereka membangun ajarannya berdasarkan QS. Al-An’am ayat 161, dimana terdapat ungkapan millata ibrahiima. Tentang syahadat, mereka berdalil dengan QS. Albaqarah ayat 136, dimana tidak ada ungkapan asyhadu anla ilaaha illallaah wa asyhadu anna mahammadan rasuulullaah. Mereka mengaku mengkaji semua kitab-kitab samawi dan berdakwah kepada umat Kristen dengan menggunakan Alkitab dan kepada umat Islam dengan menggunakan Alquran.

Setelah melakukan browsing internet dengan keyword ”millah abraham” di fasilitas Google, saya mendapati bahwa kelompok ini memiliki jaringan yang luas di Indonesia dan memiliki ’ikatan yang kuat’ dengan kelompok-kelompok sempalan lain yang telah difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia seperti ajaran Lia Eden, Ahmad Mushadeq, Baha’i, dan lain-lain.

Suatu ciri yang umum kelompok-kelompok sempalan ini adalah sinkretisme ajaran agama-agama, yang mereka sebut sebagai abrahamic religion, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka menggunakan dalil-dalil Alquran dan hadis untuk memperkuat dogma (ajaran agama) yang ada dalam tradisi Kristen dan Yahudi.

Dalam membangun ajaran-ajaran sinkretisnya, mereka ’menceraikan’ ayat-ayat Alquran yang umum dari hadis-hadis Nabi yang bersifat khusus dan teknis, seperti dalam kasus syahadatain. Mereka juga kerap kali menyuguhkan ’kajian sejarah kritis’ guna menyerang sahabat-sahabat Nabi yang merupakan tonggak ilmu hadis.

Dari segi muamalah dan ibadah, mereka cenderung menekankan ibadah yang sunnah sebagai ibadah yang wajib, pada saat yang sama mereka juga menghalalkan yang haram. Dalam kasus Millah Abraham ini misalnya, mereka menekankan shalat malam di samping shalat lima waktu, serta membolehkan pernikahan sedarah.

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, kelompok-kelompok sempalan ini memiliki jaringan organisasi yang teratur, serta anggaran yang mendukung semua aktifitasnya. Layaknya sistem usaha franchise, aliran sempalan ini membuka cabang di mana-mana di seluruh Indonesia, baik dengan nama yang sama atau dengan nama yang berbeda. Tapi secara umum, tampak ada pola yang sama di mana setiap gerakan aliran sempalan di daerah mendapat support berupa dana, indoktrinasi, pengkaderan, manajemen usaha, serta ’kitab-kitab’ rujukan yang sama.

Karena itu patut diduga ada pihak atau kelompok tertentu yang secara sistematis mengendalikan gerakan-gerakan sempalan ini di seluruh Indonesia. Motivnya bisa jadi adalah untuk melunturkan nilai-nilai agama yang selama ini menjadi pegangan hidup bangsa Indonesia, di samping juga untuk menciptakan konflik horizontal di dalam masyarakat, khususnya masyarakat muslim sebagai agama mayoritas di negeri ini.

Kasus Millah Abraham di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen, seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak yang berkomitmen dengan ketentaraman, keamanan dan integritas Bangsa Indonesia untuk mengambil sikap yang tegas dalam menangani masalah-masalah serupa, yang secara yuridis sesuai dengan amanah UUD 1945 dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama.

Jangan sampai, masyarakat mengambil sikapnya sendiri dalam menangani orang-orang dari Millah Abraham (menurut saya lebih tepat sebagai ’Millah Abrahah’ perusak Ka’bah) ini yang berujung pada tindakan anarkis yang bisa melebar ke wilayah-wilayah kepentingan yang lebih luas, yang tentu saja akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk semakin memperkeruh susana. Khususnya di Bumi Serambi Mekkah yang sedang menhapus luka tsunami dan konflik berdarah tiga dekade terkahir ini.

Tulisan ini juga dimuat pada rubrik opini Harian Serambi Indonesia 20 Oktober 2010 dengan beberapa penyesuaian. lihat di http://www.serambinews.com/news/view/41153/franchise-aliran-sempalan

Senin, Oktober 04, 2010

"Menolak" Baitul Asyi

“SEORANG raja melihat seorang tua bangka yang masih sibuk menanam pohon kelapa, padahal tidak mungkin ia bisa menikmati hasilnya. Si Kakek menjawab keheranan Sang Raja “Saya telah menikmati kelapa yang ditanam oleh kakek dan ayah saya, saat ini saya menanam kelapa yang akan dinikmati oleh anak dan cucu saya”

Penggalan kisah di atas merupakan refleksi kebijaksanaan para endatu kita dahulu dalam memelihara kesinambungan manfaat sumberdaya alam, dari generasi ke generasi. Kebijaksanaan ini memungkinkan kita, generasi yang lahir kemudian untuk menikmati hidup yang lebih nyaman dan bernilai, karena segala sesuatu terkait kebutuhan hidup primer telah dipersiapkan oleh generasi sesebelumnya. Generasi saat ini punya peluang yang lebih besar untuk berinovasi dan membangun budaya masyarakat yang lebih maju dan kompleks.

Kebijaksanaan ini juga tercermin dari tindakan Habib Bugak Asyi yang mewakafkan sebidang tanah dan rumah untuk jamaah haji dan pelajar asal Aceh yang belajar di Mekkah Al-Mukarramah. Berawal dari keprihatinan beliau terhadap akomodasi haji dan kemampuan finansial orang Aceh yang terbatas, Sang Habib berinisiatif untuk menyediakan solusi jangka panjang bagi generasi Aceh di masa mendatang yang akan melaksanakan ibadah haji ataupun menuntut ilmu di Tanah Suci.

Mungkin Habib Bugak bukanlah satu-satunya orang Aceh yang mewakafkan hartanya di Tanah Suci, tapi ia adalah orang yang berpandangan luas dan sangat visioner, karena ‘menyertifikatkan’ wakafnya dengan suatu akad tertulis di hadapan Imam/Pengelola Masjidil Haram. Sehingga harta wakaf itu tetap terpelihara hingga saat ini, bahkan telah berkembang menjadi lebih dari satu lokasi.

Sikap visioner inilah mungkin, yang belum dimiliki oleh sebagian besar orang kaya Aceh yang hendak beramal-jariah bagi bekal mereka di alam barzakh dan alam akhirat. Banyak aset-aset wakaf di Aceh yang tidak dilaporkan, disertifikatkan dan dikelola dengan baik oleh nazir-nazir yang jujur dan profesional. Tanah, ladang atau sawah wakaf banyak yang terbengkalai.

Ironisnya, ketika nilai properti mulai meningkat di Aceh, khususnya pascatsunami Aceh 2004. Anak-cucu dan ahli waris dari si Waqif yang telah meninggal dunia mengklaim kembali tanah wakaf tersebut sebagai hak milik mereka. Tindakan ini tentu saja berakibat buruk bagi si Waqif karena jatah pahalanya telah dirampas oleh anak-cucu yang durhaka, dan juga berdampak buruk bagi masyarakat sekitar yang selama ini memperoleh manfaat dari harta wakaf tersebut.

Terus terang, saya merinding ketika membaca berita di harian lokal tentang palang-memalang tanah sekolah/madrasah, maupun berita perseteruan antara masyarakat kampung dengan ahli waris yang mengklaim harta wakaf. Saya juga merinding, ketika mengetahui banyak masyarakat yang mewakafkan harta miliknya kepada lembaga keagamaan seperti pesantren, tapi kemudian ditelantarkan atau diperlakukan seakan-akan milik pribadi.

Kembali ke kasus Baitul Asyi, sejak beberapa tahun terakhir, jemaah haji asal embarkasi Aceh memperoleh pengembalian manfaat dari pengelolaan tanah wakaf Habib Bugak di Mekkah. Rata-rata setiap jemaah mendapatkan uang sebesar Rp 2.500.000,- sampai dengan Rp3.000.000,-sesuai jumlah jamaah Haji Aceh yang berangkat pada tahun yang bersangkutan. Bila ditotalkan, jumlah uang yang diterima jamaah haji asal Aceh mencapai Rp 16 miliar setiap tahunnya. Sungguh merupakan angka yang fantastis.

Kemana uang ini mengalir? Uang belasan miliar rupiah ini menjadi dana belanja dan mengalir ke kantong-kantong pedagang di Arab Saudi. Ketika hal ini mulai memunculkan kecemburuan jemaah haji dari provinsi lain, dan berimbas pada masalah lain seperti kehilangan uang atau overload belanjaan yang tidak bisa muat di pesawat terbang, uang ini dijadikan surat berharga (cheque) yang bisa dicairkan di bank tertentu di tanah air. Sekali lagi, uang ini hilang lenyap begitu saja di tangan jemaah haji asal Aceh.

Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak salah bagi sebagian orang, tapi bagi sebagian yang lain ini merupakan masalah serius. Pengembalian uang ini merupakan kompensasi karena Baitul Asyi tidak bisa ditempati secara langsung oleh jemaah haji asal Aceh. Tapi apakah ini berpengaruh besar terhadap pelaksanaan haji oleh orang-orang Aceh?

Sejak dahulu, yang melaksanakan ibadah haji adalah orang-orang yang mampu secara finansial, khususnya, sehingga semua kebutuhan akomodasi haji bisa dipenuhi. Terlebih, setelah haji dikelola dengan baik oleh pemerintah (baik belum tentu sempurna) maka semua persoalan akomodasi haji, khususnya pemondokan tidak lagi menjadi masalah yang sangat krusial dalam arti tidak ada jamaah yang tidak memperoleh tempat tinggal selama di Mekkah al-Mukarramah. Maka masih layakkah menerima manfaat atau kompensasi dari Baitul Asyi?

Selaku orang Aceh saya menilai, sebagai orang yang beruntung karena memiliki endatu yang berbudi di masa dahulu, kita patut berterima kasih kepada Habib Bugak Asyi minimal dengan dua cara. Yang pertama, dengan mendoakan kebaikan dan keselamatan baginya di alam barzakh dan di akhirat. Yang kedua, dengan mengikuti teladan baik Habib Bugak Asyi, yaitu mewakafkan kembali ‘uang’ tersebut sekembalinya ke provinsi Aceh yang kita cintai ini.

Masih banyak warga Aceh yang bukan saja tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk berhaji, tapi juga tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memperoleh kehidupan dan kesejahteraan yang layak, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak fasilitas pendidikan yang rusak dan belum bisa diperbaiki di daerah-daerah pedalaman Aceh. Masih ada jembatan ‘gantung’ di Aceh, masih banyak anak-anak yang harus berjalan kaki atau menumpang kendaraan pribadi yang lewat untuk bisa bersekolah, karena sekolahnya jauh dari tempat tinggal.

Bahkan dengan fenomena JKA akhir-akhir ini kita mengetahui, ada begitu banyak orang Aceh yang sakit, sehingga rumah sakit membludak, aparat kesehatan kewalahan, dan persedian obat-obatan juga tidak memadai.

Karena itu, saya mengimbau orang-orang kaya di Aceh untuk kembali berinfak, dengan menolak menggunakan dana Baitul Asyi secara pribadi, tapi mewakafkannya kembali untuk kepentingan masyarakat umum di Aceh, sesuatu yang sesungguhnya menjadi visi dari Habib Bugak Asyi sejak dahulu.

*Tulisan ini juga dimuat pada Rubrik Opini Harian Sermabi Indonesia, 4 Oktober 2010

Minggu, Mei 23, 2010

Tentang Lingkungan Hidup, Piala Dunia dan Gaji 13

Alhamdulillah, kita masih bisa menghirup udara segar setiap harinya, meskipun kian lama udara terasa semakin panas saja, apa lagi musim yang datang berganti tidak dapat diperkirakan jadwalnya. Akibatnya, bukan hanya petani yang bingung dengan pola tanamnya, tapi juga dokter dan apotik, karena prediksi mereka tentang daftar resep dan obat yang diperlukan tidak sesuai dengan musim penyakit seperti yang dulu-dulu.

Nah, dalam catatan ini, yang diusahakan seringkas mungkin, namun sepadat mungkin dapat memuat ide-ide pesanan, akan cobalah dibahas sedikit tentang masalah lingkungan itu, ditanmbah pula dengan piala dunia, dan tentunya gaji ke 13.

Dimulai dengan masalah lingkungan hidup, pada tanggal 5 Juni 2010 ini, diadakan perayaan yang sangat meriah, bahkan dikalim sebagai yang terbesar dari sebelumnya untuk mengingatkan umat manusia tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, khususnya memelihara keragaman hayati, dan dipusatkan di Kota Kigali, Rwanda, sebuah negara di benua Afrika.

Tema yang diangkat untuk World Environtment Day 2010 adalah “Many Species, One Planet, One Future” yang dalam bahasa kita dapat berarti, “banyak makhluk, satu planet, satu masa depan.”

Poin pertama, banyak orang mulai menyadari, bahwa kehidupan di bumi ini bukan milik manusia saja, tapi milik seluruh makhluk yang telah diciptakan Allah SWT. dan ternyata, hidup manusia itu sendiri amatlah lemah, bila tidak ditopang dengan keberadaan hutan, sungai, laut, ikan, lembu, kuda, bunga, kupu-kupu, dan juga nyamuk. Yang terakhir adalah satu makhluk yang pernah diolok-olok oleh orang-orang “kafir” sebagai sesuatu yang sia-sia saja.

Tentu saja makhluk yang tidak disebut juga penting adanya, namun tidaklah mungkin halaman yang ringkas ini dapat menjadi seluas kapal Nabi Nuh yang memuat semua jenis Makhluk Allah.

Yang kedua, sepertinya banyak ilmuan juga sudah mulai putus asa untuk mencari tempat tinggal lain di luar bumi yang disediakan Allah untuk kita diami. Bukankah dalam semua kitab suci sudah diinformasikan, bahwa selain planet bumi ini manusia cuma bisa hidup layak di dua tempat, yaitu di “planet neraka” dan “planet Syurga”. Maka diusunglah ide untuk memelihara kembali bumi ini, yang terlanjur sudah rusak di sana-sini.

Yang ketiga, semua ahli sudah mendekat kepada ijmak, untuk kiamat bersama-sama saja, tidak sebahagian-sebahagian, karena yang tertinggal tentu akan cemburu kepada yang terdahulu, atau malah sebaliknya, karena berharap ingin hidup lebih lama. Maka menurut saya, disinilah ketimpangan-ketimpangan itu mulai kelihatan, karena maksud bersama itu, tampaknya hanya antara “anda dan saya saja”, lebih jauh adalah orang-orang terdekat kita, atau para pembantu dan budak-budak, yang tampa mereka kita akan sangat kelelahan jadinya, maka mereka harus tetap dijaga kehidupannya.

Selebihnya, “mereka-mereka” tidaklah perlu kita perhatikan, bukankah satu spisies bunga jauh lebih indah dari pada mereka. Apalah gunanya mereka, kalo bukan untuk mempercepat habisnya persediaan pangan kita???

Ironinya, ketika manusia tumbuh kesadarannya tentang eksistensi makhluk hidup di muka bumi, mereka malah kehilangan rasa terhadap sesama manusia, yang beda warna kulit, beda orang tua, beda status, beda bahasa, dan beda mata uangnya.

Ekonomi dikuras untuk satu hari, yang maknanya akan segera dilupakan hingga satu tahun kedepan. Dan dalam rentang itu, makin banyak saja yang mati kelaparan, atau akibat perang-perangan.

Ini, sekali lagi, mirip benar dengan cara kita memperingati hari lahir Nabi yang Mulia, yang seakan berkurang mulianya bila tidak dirayakan dengan meriah dan megah. Anak-anak yatim dikumpulkan, sepuluh, seratus, seribu, untuk diberi makan satu waktu, diberi baju satu stel. Esoknya, dan berhari-hari berikutnya, mereka biar saja lapar lagi, tenjang lagi, sehingga cocok dengan predikat yatim dan fakir miskin. Tanpa mereka, tentu kita tidak lagi disebut orang-orang kaya dan dermawan.

Terserah tuan-tuan meneruskannya…..

***

Nah, tak lama berselang, berlangsung pula Piala Dunia 2010, juga di Benua ‘Hitam’ Afrika, kali ini giliran Negara Afrika Selatan menjadi tuan rumah. Kabarnya Indonesia juga berniat jadi tuan rumah Piala Dunia, tapi saya khawatir dampaknya tidak akan bagus bagi bangsa ini karena berberapa alasan.

Pertama, timnas kita terlalu lemah, kalopun dapat jatah gratis sebagai tuan rumah, pasti hanya menjadi bulan-bulanan tim negara lain saja. Apalagi supporter kita tidaklah cukup setia pada ‘produk lokal’ karena dianggap kalah ganteng, kalah gress dibadingkan produk luar. Bisa Jadi Timnas nantinya malah diejek orang sendiri, dan dukungan diberikan kepada tim luar negeri.

Kedua, orang kita pada umumnya gila bola, tapi ‘miringnya’ hanya setengah saja, yaitu suka nontonnya, suka judinya, suka-sukaanlah. Sebatas itui saja, tidak sampai ‘gila mahir dan berpresatasi’ seperti negara Barazil dan Portugas misalnya. Takutnya, semua orang pada ‘sibuk’ dengan piala dunia ini sehingga pelayanan publik terhenti, kantor, swalayan, bahkan mushallah mungkin harus tutup sementara, padahal kerugiannya sangat besar. Kok bisa….. itu baru prediksi saja. Baru piala dunia di negeri orang sudah banyak jadwal kegiatan ‘dalam negeri’ yang harus di-cancel, atau disesuaikan.
Tapi bukan berarti tidak ada yang positif dari sepak bola, khususnya Piala Dunia ini. Dulu ketika Sinegal masuk piala dunia, dan berhasil menang beberapa kali, turut menaikkan semangat kita sebagai sesama orang Islam dalam “menghadapi orang-orang kafir.” Piala-Dunia-pun jadi tema khutbah Jum’at, dan pelatihan-pelatihan motivasi.

Positif lainnya, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari permainan bola bundar ini. Bola itu tidak dapat berlari atau terbang sendiri ke gawang lawan, harus ada yang menendangnya. Strikerpun, meski Messi sendiri, juga tidak dapat membuat gol tanpa bantuan kawan-kawannya. Nah, dalam keseharian kita, biar lebih kreatif, bolehlah kita bayang-bayangkan pekerjaan kita di kantor, madrasah, bahkan dikampung sebagai ’sepak bola virtual.’

Siapa harus jadi pelatih, siapa strikernya, siapa defendernya, siapa di samping, siapa ditengah, dan siapa juga pemain penggantinya. Tidak ada yang namanya ’one man show’ dalam semua sisi kehidupan, mulai di lapangan sampai ke ruang rapat tetaplah perlu kerja sama. Kerja samapun bukanlah hanya satu aksi saja, lain orang lain tugasnya. Biarlah masing-masing berkreasi untuk menghasilkan gol yang membahagiakan kita semua.

Jadi........... jangan gontok-gontokan, dan tentunya jangan pula tawuran hanya karena kita baru kalah beberapa kali, bisa jadi suatu saat kita akan jadi juaranya.

***

Mungkin ada banyak energi yang terkuras selama bulan juni ini, bahkan sebelumnya, mungkin sudah banyak kwitansi yang harus dilunasi. Maka kabar tentang gaji ke 13 pun menjadi suatu angin segar yang sedikinya dapat menentramkan hati kita, setidaknya dapat pula meredam amarah dari debt-colector yang datang saban hari meneror kita.

Apa boleh buat, kita ini PNS dengan penghasilan ’pas-pasan’, namun masih juga punya gengsi dihadapan calon mertua. Karena di masyarakat kita masih terpelihara anggapan, semiskin-miskin pegawai negeri, tentunya anak saya tidak akan kelaparan. Apa iya...?

Atau kalo PNS itu perawan, sangat pula mengundang pelamar, khususnya dari mereka yang sering hidup dari ’usaha spekulasi.’ Anggapannya juga sangat sederhana, kalopun jatuh bangkrut, masih bisa minta makan sama istri. Ya, kalo SK-nya belum digadaikan di bank sebagai jaminan kredit tentunya.

Tapi waspadalah, gaji 13 itu bukanlah hasil jerih payah kita, hanya sekedar hiburan saja bagi kita ’budak negeri ini.’ Jadi janganlah menjadikan gaj 13 itu sebagai jalan keluar atau gantungan harapan yang terakhir, karena kebutuhan kita tidak pernah berakhir, hingga tanah memenuhi rongga mulut kita.

Jadi bijak-bijaklah dalam mengatur pengeluaran, rencanakanlah kebutuhan, dan kalo kita termasuk orang kreatif, maka manfaatkanlah waktu luang untuk berusaha dengan cara yang halal, atau anda boleh berpuasa saja sekeluarga.

Selasa, Mei 04, 2010

Bahasa Aceh: Lisan atau Tulisan

Assalamualaikum Wr. Wb

Sudah lama tidak menulis di blog ini, karena malas dan banyak alasan lainnya.

Tapi baru-baru ini saya mendapat pesan di facebook untuk ikut menyumbang tulisan di Wikipedia Bahasa Aceh. Awalnya saya kira itu adalah sebuah kajian tentang bahasa aceh, rupanya sebuah ensiklopedia maya berbahasa Aceh.

Ada banyak bahasa di Provinsi Aceh ini, namun yang mayoritas digunakan oleh masyarakatnya dalam komunikasi sehari-hari adalah 'bahasa aceh', dengan kata lain bahasa umum, yang mudah dimengerti oleh sebahagian besar masyarakat aceh, jadi bahasa-bahasa yang lain, menurut saya adalah bahasa yang tidak umum, dan hanya dimengerti oleh sebahagian masyarakat saja di beberapa wilayah tertentu.

'Bahasa Aceh' menurut saya sebanding dengan Bahasa Indonesia saat ini, atau Bahasa Inggris dalam pergaulan internasional. Namun, sepertinya, sejak dahulu bahasa aceh tidak menjadi suatu 'bahasa tulisan', bahasa aceh adalah bahasa lisan yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari. Yang dijadikan Bahasa Tulisan, sekaligus Bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa dahulu dan kini di daerah Aceh adalah Bahasa Arab dan Bahasa Jawi/Melayu.

Boleh jadi, sebelum orang aceh mengenal huruf-huruf latin, mereka tidak mampu memanipulasi huruf arab ke dalam bahasa aceh, sebagaimana yang terjadi di persia atau di melayu sendiri.

Kalopun kita menemukan naskah berbahasa aceh, biasanya itu adalah catatan nazham atau pantun yang ditulis dengan ejaan 'seadanya' karena tidak ada suatu kesepakatan baku tentang ejaan dan tranliterasi dalam bahasa aceh, mengingat dialeknya yang beragam di berbagai daerah.

Terus terang, karena saya tidak familiar dengan tulisan berbahasa aceh, membaca suatu informasi dalam bahasa aceh malah membingungkan, ketimbang bila disampaikan secara lisan.
Saya sepakat untuk melestarikan bahasa aceh, dan juga bahasa-bahasa lainnya yang ada di aceh, tapi sebagai tradisi lisan, bukan tulisan.

Karena 'menuliskan' bahasa aceh adalah sebuah langkah mundur..... atau mungkin kita berbeda pendapat dengan para pendahulu kita......?

Sekali lagi, tulisan ini hanya pendapat pribadi saya, dan sama sekali tidak meremehkan usaha kawan-kawan yang telah merintis dan menulis di wikipedia Bahasa Aceh.

Kamis, Maret 25, 2010

Sudah Lama Juga


Ada banyak halangan untuk menulis secara rutin di blog ini, tapi optimisme dalam hidup haruslah selalu dinyalakan, sehingga setiap kesempatan menjadi bernilai, meski sering kali kita lalai, bukan gagal.

blog menjadi sesuatu yang posistif di ranah maya ini, karena dengan adanya blog ini, maka niat-niat negatif yang disebabkan jalur koneksi ini bisa berkurang dan ditekan.

tidak ada kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja, semua diawali oleh niat, atau kebodohan.

maka penyesalan adalah langkah memperbaiki niat dan meninggalkan kebodohan....

salam seamat selalu.....

Minggu, Januari 10, 2010

Dialog Al-Fatihah


Sebelumnya, kita dianjurkan untuk berlindung kepada Allah dari 'godaan syetan' yang terkutuk, dan memohon rahmat dan kasih sayang Allah dalam setiap amal shalih kita. 

Allah memulai al-Quran dengan surat Al-Fatihah

Quran : Segala puji bagi Allah, Rab seluruh Alam

Si Tanya : kenapa Allah harus dipuji, dan kenapa seluruh pujian hanya untuk Allah, bukankah ada banyak tuhan yang dikenal manusia, tuhan yang juga 'menguasai' alam ini, yang kemuadian mewujud dalam banyak keyakinan, agama dan ragam ibadah?

Quran : Allah adalah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Si Tanya : Jadi Allah adalah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sehingga patut memperoleh segala pujian, karena tuhan-tuhan lain yang dikenal manusia tidak benar-benar menyayangi dan mengasihi manusia dan mahkluk lainnya, tapi tidakkah itu berarti masih memiliki kelemahan, karena bisa jadi kasih sayangnya melepaskan orang-orang yang berbuat dhalim dan kerusakan di muka bumi ini?

Quran : Allah adalah Penguasa pada Hari dimana setiap janji dituntut

Si Tanya : Jadi Allah tidak akan membiarkan semua kesewenang-wenangan yang ada di dunia? artinya, kasih sayangnya di duniameliputi seluruh makhluk, dan Allah memberikan janji-Nya kepada orang-orang yang beriman, dan janji itu akan ditepati seluruhnya pada hari kiamat, baik kepada mereka yang iangkar mamupun yang memenuhi amanatnya. Lalu apa yang mesti saya lakukan?

Quran : Bila kamu telah yakin, berikrarlah "Kepada-Mu, Allah, kami mengkhususkan janji kami dan hanya kepada-Mu, Allah, kami memohon pertolongan dalam mengemban agama ini"

Si Tanya : Ya, saya telah yakin, lalu bagaimana saya meminta pertolongan kepada Allah?

Quran : Berdoalah "Tunjukilah kami jalan yang benar, ya Allah!"

Si Tanya : Ya, tapi seperti apakah gamabaran 'Jalan Yang Benar' itu? karena banyak orang yang mengaku dirinya benar.

Quran : Jalan Yang Benar Itu adalah seperti jalannya orang-orang yang beroleh nikmat dan karunia dari Allah, bukannya jalan mereka yang mendapat murka-Nya, dan bukan pula jalan mereka yang sesat

Si Tanya : Bagaimana saya bisa mengerti ciri-ciri orang yang beroleh nikmat dan karunia dari Allah? dan bagaimana pula saya bisa menghindari murka-Nya, serta dijauhkan dari kesesatan?

Kebenaran hanyalah milik Allah, sedangkan kita hanya berosaha memperoleh taufiq-Nya. kalo masih penasaran, lanjutkan ke ayat-ayat berikutnya!