Untuk menjawabnya, kita pelu mendefinisi ulang arti kata pahlawan. Saya memulainya dengan memaknai peribahasa berikut “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan.” Dari peribahasa ini, ada beberapa kata kunci yang saya anggap penting, yaitu ‘para pahlawan,’ ‘jasa,’ ‘menghargai,’ dan ‘bangsa.’
Jadi kata pahlawan, pada hakikatnya tidak berdiri sendiri, tapi mewakili banyak orang yang berjasa lainnya yang tidak dikenal, tapi mereka memiliki nilai penting. Dalam bahasa Arab, kita mengenal istilah dhammir mustatir, lahirnya tidak ada, tapi maknanya tetap ada dan terpelihara, bila tidak, maka pahlawan pun kehilangan maknanya.
Jasa berarti ada suatu kontribusi yang telah diberikan, baik itu besar, kecil, banyak ataupun sedikit. Namun secara kolektif menjadi sesuatu yang bernilai untuk ’dihadiahkan’ bagi masyarakat dan generasi yang akan datang. Menghargai berarti berterimakasih atas ’hadiah’ yang diberikan. Dan bangsa, berarti suatu masyarakat, sebuah komunitas yang berbudaya.
Maka peribahasa di atas bisa ditafsirkan, bahwa masyarakat yang berbudaya positif adalah masyarakat yang ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa para pendahulunya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak berbudaya positif, tidak ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa pendahulunya.
Masyarakat yang pintar adalah masyarakat yang mengerti, bahwa budaya, keberhasilan, kemerdekaan, kedaulatan, kemakmuran, bahkan juga keadilan hanya bisa dicapai melalui usaha kolektif, bukan sendiri-sendiri. Dibutuhkan partisipasi dari setiap komponen masyarakat untuk bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi generasi dan bangsanya.
Masyarakat yang berbudaya juga mengerti, bahwa suatu pencapaian menjadi tidak berarti bila kemudian menjadi sesuatu yang jumud dan mati, tidak berkembang. Suatu prestasi harus dipelihara dan ditingkatkan melalui perjuangan yang berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Masyarakat yang ’mati’ tidak mengerti. Mereka mencitrakan pahlawan sebagai superman yang tiba-tiba datang dan menyelesaikan persoalan seorang diri. Mereka ’mengunci’ prestasi generasi terdahulu dalam ’kotak tradisi.’ Sedangkan mereka hidup dalam ’kotak modern,’ dan tidak pernah berpikir tentang ’hadiah’ yang akan diwariskan pada generasi mendatang. Mereka terputus dari sejarahnya.
Mereka kehilangan solidaritas, mereka kehilangan kolektifitas. Mereka hidup sendiri-sendiri, bukan sebagai suatu masyarakat yang utuh dan peduli. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung abai akan pentingnya perubahan. Orang-orang yang sadar dan berteriak lantang untuk maju akan diejek, ditinggal sendiri, dan diberi predikat sebagai ’pahlawan kesiangan.’
Setiap orang pada masa dahulu adalah pahlawan bagi masanya, dan setiap orang pada masa kini adalah pahlawan untuk saat ini. Di masa yang akan datang, anak-anak kitalah yang menjadi pahlawan.
Bangunlah saudara, mari bersama-sama menjadi pahlawan untuk kemerdekaan, kemakmuran, keadilan dan keterpeliharaan alam di zaman kita. Dimulai dari doa-doa dan tindakan senderhana di rumah, kampung dan kantor. Maka kita akan mengerti, bahwa pahlawan tidak pernah kesiangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar