Ketika memandang ke langit di siang hari, kita melihat bola pijar yang
sangat besar, bundar bercahaya menyilaukan mata. Itulah matahari yang menjadi
sumber cahaya di bumi. Perputaran bumi mengelilingi matahari, menyebabkan
adanya siang dan malam, sehingga manusia bisa membagi waktunya antara bekerja
dan beristirahat.[i]
Di malam hari yang cerah, kita bisa melihat bintang-bintang bertebaran di
langit, ada yang terang, ada yang redup, ada yang berwarna-warni, ada juga yang
hanya memiliki satu warna saja.[ii]
Diufuk langit, kita juga melihat bulan, yang semakin lama semakin membesar
menjadi purnama, untuk kemudian kembali menyusut perlahan.
Dengan bulan, manusia bisa membagi waktu menjadi 12 bulan setahun.[iii]
Dengan bintang, manusia mempelajari tata letak, arah dan musim. Bahkan manusia
mencoba meramalkan masa depan dengan perantaraan bintang.
Begitu dominan pengaruh tiga benda langit tersebut, masyarakat terdahulu
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan menjadikannya bagian dari inti agama,
baik sebagai dewa-dewi, maupun simbol-simbol ajaran. Manusia menetapkan
kebenaran, baik-buruk, dan takdir dunia berdasarkan struktur peta benda-benda
langit tersebut. Kita masih dapat menyimak mitos-mitos masa lalu tersebut hingga kini
dalam pelajaran sejarah, budaya, dan perbandingan agama. Bahkan hingga kini,
masih ada manusia yang menganut agama benda-benda langit.
Al-Qur’an merekam perjalanan Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan,[iv]
ketika beliau bertemu dengan sekelompok penyembah bintang, dan mempelajari
skema-skemanya, beliau menjadi yakin, bahwa dunia ini diatur oleh
bintang-bintang tersebut.[v]
Akan tetapi keyakinan itu menjadi pudar, ketika beliau bertemu dengan para
penyembah bulan, dan mempelajari peredaran dan pengaruhnya, keindahannya, dan mitos-mitosnya, untuk
sementara beliau menjadi yakin dengan bulan sebagai pemelihara kehidupan.[vi]
Keyakinan inipun tidak bertahan lama, ketika ilmunya bertambah tentang
matahari sebagai pusat edar planet, dan kekuatan cahayanya yang mengalahkan
bulan dan bintang, kehangatannya yang melambangkan cinta kasih, semangat hidup,
dan kejayaan. Maka beliau menjadi yakin bahwa inilah Sang Pengatur itu, ini
Paling Besar, menurutnya.[vii]
Dalam keyakinannya itu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, tidak pernah berhenti
untuk belajar dan mencari kebenaran, hingga suatu saat beliau memperoleh kenyataan bahwa
dunia ini jauh lebih besar dari sekedar matahari, bulan dan bintang, ada banyak
planet, bulan, bintang dan matahari, yang masing-masingnya memiliki ciri-ciri
istimewa dan garis edar tersendiri. Setiap benda mengelilingi sesuatu yang
lebih besar dan lebih kuat pengaruhnya, selanjutnya, benda kuat itu, bersama
benda-benda yang mengikutinya, kembali mengitari benda yang lebih besar dan
memiliki daya yang lebih kuat.[viii]
Anak-anak mengitari orang
tuanya, para keluarga mengitari para kepala kampung, para kepala kampung
bersama anggotanya beredar diantara kepala suku, para kepala suku dengan
anggota sukunya mengorbit pada pimpinan yang lebih tinggi, demikian seterusnya.
Bulan mengelilingi bumi, bumi beserta bulan, dan planet-planet lain
mengelilingi matahari, matahari dan kumpulan planetnya mengelilingi pusat surya
bima sakti, bima sakti bersama komponen-komponennya beredar mengelilingi titik
yang lebih besar lagi dan lebih kuat, demikian seterusnya.
Dengan petunjuk Allah Yang Maha Pencipta dan Mengatur, Nabi Ibrahim
menyadari ada yang lebih besar, bahkan Yang Maha Besar yang menjadi sumber
segala sesuatu, dan pusat edar segala sesuatu. Nabi Ibrahim menemukan Allah
dalam pencahariannya dan memperoleh Pengetahuan Suci yang kemudian menjadi
syariat bagi manusia di dunia ini.[ix]
Allahlah yang telah menciptakan segala sesuatu dan mengaturnya,
memeliharanya dan menentukan batasan-batasannya. Semua tergantung kehendak
Allah, dan makhluk-Nya hanya mengikuti kehendak tersebut dalam suatu
sunnatullah. Inilah yang kemudian menjadi fondasi keyakinan dan keberagamaan
manusia yang benar dan sah di sisi Allah.
Sebagai bentuk simulasi kesadaran universal di atas, maka Allah memerintahkan
Ibarahim dan Ismail ‘alaihimassalam untuk membangun Ka’bah[x]
yang akan didatangi dan dikelilingi manusia yang merindukan kebenaran dari
seluruh penjuru bumi. Dalam ajaran Islam disebut dengan tawaf yang merupakan
bagian dari Ibadah Haji dan Umrah.[xi]
Kesadaran universal ini juga telah dipahami oleh Plato dan murid-muridnya
sebagai Causa Prima, dan kemudian mengejawantah dalam filsafat Islam sebagai
teori emanasi. Itulah sebabnya, kenapa orang-orang
yang telah memperoleh pengetahuan dari Allah menjauhkan diri dari tindakan-tindakan
jahat dan syirik, bahkan sebelum Nabi
Akhir Zaman diutus ke muka bumi.
Syirikkah mempelajari matahari, bulan dan bintang? Mempelajari
sunnatullah adalah sebuah kewajiban, dan mengikuti harmoninya merupakan suatu
kepatutan dengan tetap berpegang kepada pedoman yang telah diamanahkan Allah
kepada kita, yaitu al-Qur’an dan ajaran-ajaran nabi-Nya yang shahih.
Yang dilarang adalah menyembah matahari, bulan, dan bintang sebagai tuhan
selain Allah, menggantungkan segala hajat, keperluan dan nasib kepada
peredarannya. Karena mereka sendiri adalah makhluk, yang sangat berhajat kepada
kasih sayang Allah SWT.
Dalam perjalanan sejarah peradaban dan pengetahuan manusia, ketika kita
masih hidup dengan pola agraris
(pertanian) yang terikat kepada musim, kita belajar kepada bulan, bintang dan
matahari. Seiring dengan perkembangan ilmu, ketika manusia telah menguasai
teknologi, manusia mulai memamfaatkan bulan, bintang dan matahari. Tapi
kerakusan manusia telah menyebabkannya dibenci oleh alam ini. Musim, cuaca,
suhu sudah mulai berontak kepada kaidah-kaidah yang kita pahami, karena memang
kita tidak bisa memaksakan kehendak kepada matahari, bulan dan bintang. Derajat
kita sama, sebagai makhluk Allah yang menyembahnya. Sudah selayaknya kita
kembali belajar dan bersahabat dengan alam, meskipun kita seorang guru,
pelajar, dokter, atau tukang kayu. Bukankah umur bulan, bintang dan matahari
jauh lebih tua dari kita semua?
[i] QS.
Al-Isra’ ayat 78, bahwa waktu shalat tergantung peredaran matahari
[ii] QS. Al-Muluk
ayat 5, bintang adalah perhiasan langit
[iii] QS.
At-Taubah ayat 36, 12 bulan dalam setahun
[iv] QS.
Al-An’am ayat 74, Nabi Ibrahim mempertanyakan logika kaumnya yang menyembah
berhala yang dibuat oleh tangan mereka sendiri. QS. Al-An’am ayat 75, Allah memperlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda kebesaran di langit
[v] QS.
Al-An’am ayat 76, Nabi Ibarahim menganggap bintang sebagai tuhannya, tapi
kemudian beliau berubah pikiran kembali
[vi] QS.
Al-An’am ayat 77, Nabi Ibrahim menganggap bulan sebagai tuhan, kemudian
pendapatnya ini juga tidak bertahan lama
[vii] QS.
Al-An’am ayat 78, Nabi Ibrahim menganggap matahari sebagai tuhan, lalu beliau
mendapat petunjuk Allah yang sebenarnya
[viii] QS.
Yasin ayat 36-40.
[ix] QS.
Al-An’am ayat 79, pernyataan keimanan Nabi Ibrahim yang sering kita ulang dalam
doa iftitah shalat
[x] QS.
Al-Baqarah ayat 125
[xi] QS.
Al-Maidah ayat 97. Ka’bah sebagai symbol kesadaran universal