Jumat, April 28, 2017

Ketika Sandal di Atas Kepala



Salah seorang teman bergurau bahwa harga pakaian mengikuti bagian tubuh secara paradok, semakin kebawah harganya justru semakin tinggi. Dia mencontohkan harga sebuah peci sekitar 30 ribu, kain rida’ 50 ribu, baju 80 ribu, celana 150 ribu, sepatu atau sandal 250 ribu.

Menurut saya ini gurauan yang tidak lucu, bukan hanya karena saya tidak sampai tertawa, tapi juga karena saya menilai pernyataan kawan tersebut ada benarnya. Kenapa saya menyebutnya gurauan, karena saya su’uzhan bahwa paradok ini dimunculkan dengan maksud menyindir, bahwa bagian tubuh paling atas sepertinya sudah kekurangan nilainya di masa ini.

Kepala setidaknya identik dengan tiga hal, menurut saya, yaitu akal, wajah dan nyawa seseorang. Kepala merepresentasikan akal, kecerdasan, kebudayaan dan kreatifitas manusia.  Dengan potensi ini manusia bisa bertahan hidup, membangun kehidupan yang lebih baik, juga menghancurkan kehidupan itu sendiri. Maka kita mendapati ungkapan kepala disematkan pada pimpinan kampung, pimpinan sekolah, juga pimpinan perampok.

Bagian kepala juga merepresentasikan identitas, karakteristik, kekurangan dan kelebihan seseorang. Bagian kepala yang kita sebut wajah terdiri dari kombinasi mata, mulut, hidung, telinga, alis hingga kerutan pada kulit dapat membedakan seseorang dengan lebih lima milyar manusia lainnya di muka bumi ini. Maka kita dapati hampir semua dokumen penting terkait identitas seseorang menggunakan foto kepala bagian atas.

Dalam sebuah rekaman ceramah saya mendengar pertanyaan narasumber kepada pendengarnya, “bagaimana reaksi anda jika ada tubuh tanpa kepala?” Spontan jamaah menjawah bahwa tubuh tanpa kepala berarti tubuh yang mati, tak bernyawa, atau hantu yang membuat orang lari terbirit-birit ketakutan. Ya, kepala melambangkan kehidupan. Bahkan sebuah patung kepala lebih hidup dari tubuh yang tercerai dari kepalanya.

Itulah sebabnya, saya tidak setuju dengan paradok yang diajukan oleh kawan saya tadi. Harga dalam rupiah tidak selalu identik dengan harga anggota tubuh sesungguhnya. Boleh jadi, saya berkilah, dalam dunia fashion, pakaian bagian atas tubuh lebih sering diganti dibandingkan pakaian bagian, bawah. Karena topi sering diganti-ganti maka harganya lebih murah dari rida’, baju lebih sering diganti dibandingkan celanan, dan sepertinya, sejauh pengamatan saya, sandal jarang sekali diganti kecuali sudah putus talinya. Karena sering diganti, maka jumlah persediaan pakaian harus lebih banyak, karena jumlahnya banyak, maka harganyapun menjadi lebih murah. Demikian nalar sederhana ekonomi saya.

Terus terang, saya tidak bisa membayangkan, jika suatu saat gurauan kawan ini menjadi sesuatu yang linier. Mungkin patung-patung monumental akan diukir dalam bentuk kaki atau sepatu, foto identitas akan digantikan dengan tapak kaki, dan para pemimpin akan disebut sebagai kaki.

Dengan santainya kawan saya menimpali, “zaman itu sudah datang, bro!”  Menurutnya, saya saja yang silap mata, karena masih melihat dengan persfektif mata kepala, bukan dengan mata kaki. “Para pemimpin hari ini dipanggil sebagai kaki tangan, tidak lagi sebagai kepala dari masyarakatnya. Tindakan dan kebijakan pemimpin tidak mewakili kebutuhan masyarakatnya,” kata kawan saya.

“Kemanapun kamu pergi, jejakmu selalu diikuti, sama seperti pemburu mengendus jejak binatang buruannya dari tapak kaki, tidak peduli wajahnya seperti apa,” lanjut kawan saya.

“Bagaimana dengan peradaban?” tanya saya. “Kamu pikirlah sendiri, hari ini sepasang kaki nilai pertanggungan asuransinya bisa lebih besar dari harga mobil yang parkir di sana,” jawab teman saya ketus, sambil menunjuk ke sebuah mobil yang diparkir di luar kedai kopi yang kami singgahi.

Masa iya, pikir saya, memang saya belum pernah mendengar ada asuransi kepala, paling adanya asuransi jiwa atau asuransi kecelakaan. Gurauan teman saya ini ternyata jauh dari kesan melucu yang saya curigai, malah terlalu serius untuk saya pahami.

Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada motif unik di peci kawan saya itu. “Itu gambar apa? Tanya saya.



Sambil tersenyum, kawan saya menjawab, “itu motif sandal, kamu pasti tidak mendunganya kan, ha....ha....ha.....” Tawanya semakin menambah kebingungan saya. Apa dunia yang saya kenal sudah benar-benar berubah, sandal yang di kaki sudah naik ke kepala.

“Itu motif sandal Rasulullah, bro.” Kawan saya melanjutkan. “Jika dunia sudah benar-benar terbalik sehingga kaki lebih mulia dari kepala, maka bagi kita yang masih waras, telapak kaki ibu dan rasullah yang patut untuk kita banggakan, bukan begitu?” kawan ini menjelaskan sambil beretorika.

“Ah...” hanya itu komentar yang bisa keluar dari mulut saya. Gurauan ini telah merusak selera saya terhadap kopi yang ada di depan kami. Saya berharap memperoleh sesuatu yang mencerahkan dari diskusi saya dengan kawan ini, tapi pikiran saya justru menjadi kalut.

Bagaimana dengan anda?

Banda Aceh, 1 Sya’ban 1438 H/ 28 April 2017.