Azan Ashar telah berkumandang dari corong speaker di
menara mushalla, ada tiga mushalla yang kebetulan berdekatan dengan rumah
Sulaiman. Namun Sulaiman masih nyenyak tertidur di dipan, ditemani sepoi angin
sore hari tepi pantai ujung sumatera. Mungkin Sulaiman terlalu lelah, setelah
setengah hari lebih berpeluh di bawah sinar matahari yang memerah akhir-akhir
ini.
Waktu terus berlalu. Suara dari speaker mushalla
menunjukkan bahwa shalat ashar berjamaah akan segera usai. Sulaiman terlihat
masih larut dalam tidur, hingga tiba-tiba ia terjatuh dari dipan.
“Astaughfirullah..... astaughfirullah....... ya Allah,
apa benar mimpi saya tadi?” Sulaiman berguman sendiri.
Segera Sulaiman melirik jam dinding. “Masih ada waktu
sekitar 4 jam kurang,” batin Sulaiman.
Bergegas ia menuju ke kamar mandi untuk mandi, berwudhu
dan memilih pakaian terbaik. Umi, istri Sulaiman, heran. “Ada apa gerangan?”
batinnya.
Sulaman tenggelam dalam khusyuk shalatnya, 5 menit ia
belum selesai shalat, rukuknya lama, sujudnya lebih lama. Sepuluh menit
kemudian ia bersalam, dan kembali larut dalam doa dan zikir yang lumayan
panjang. Sesuatu yang tidak biasa dalam pandangan Umi, istri Sulaiman.
“Ah, suamiku semakin shalih saja, mudah-mudahan diberi
keistiqamahan,” doa Umi di dalam hati.
“Umi, ada hal penting yang Abi perlu bicarakan.” Umi
tersentak, tiba-tiba Sulaiman sudah ada di depannya.
“Malam ini Abi mungkin tidak makan malam di rumah, ada
urusan penting yang harus Abi selesaikan,” kata Sulaiman cepat, napasnya
berburu satu sama lain. Peluh mengalir di wajahnya bak hujan,padahal Sulaiman
baru selesai Shalat Ashar, bukan main futsal.
“Ada apa, Abi? Kelihatannya penting sekali,” timpal Umi
penuh ketenangan, meski heran ia mampu menguasai dirinya. Istri salehah sudah
sepatutnya mampu menyenangkan dan menenangkan suaminya.
“Ya, Umi. Ada hutang yang harus segera Abi lunasi, tak
bisa ditunda-tunda lagi. Umi kan tau, bahkan orang yang syahid di medan jihad
tidak bisa masuk surga bila hutangnya belum lunas,” Sulaiman menjelaskan, masih
dengan nada yang cepat.
“Ya, Abi,” jawab Umi.
“Tabungan Abi ada di map berwarna biru, juga
catatan-catatan penting terkait dengan pensiun Abi sebagai pegawai negeri,
barang kali perlu, Umi sudah tau di mana menemukannya,”lanjut Sulaiman.
“Abi pergi dulu ya, Assalamu’alaikum...” Sulaiman segera
beranjak keluar, membawa astrea grand tua, yang dibelinya dengan mencicil dari
tetangga.
“Wa’alaikumussalam...” jawab Umi. Tapi sebagaimana biasa,
ia selalu berbaik sangka terhadap suaminya.Umi kembali sibuk dengan tugas
hariannya menjelang senja, menyiapkan makan malam untuk keluarga.
***
Sulaiman tiba di keramaian pasar tradisional. Waktu sudah
menunjukkan pukul 5 lewat. Ada kekhawatiran di hatinya, bahwa yang dicarinya
tidak akan dapat. Para penjual akan menutup dagagangannya menjelang senja,
sehingga cukup waktu persiapan shalat magrib. Di daerah Sulaiman, waktu magrib
masih sakral. Bahkan ada spanduk bertuliskan “Gerakan Magrib Mengaji.”Antara
magrib dan isya anak-anak mengaji di balai-balai. Sementara orang dewasa
berzikir atau mendengarkan ceramah agama di mushalla atau masjid.
Sulaiman berhenti di depan sebuah Bank Negara, ada
beberapa orang yang antri di depan sebuah pintu kecil bertuliskan tiga huruf,
ATM.
“Ya Allah, tolonglah hambamu melunasi hutang ini....”
guman Sulaiman perlahan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Sepertinya orang
yang di dalam ruang ATM mengambil uang dalam jumlah besar. Keringat Sulaiman
mulai membasahi bajunya.
Hingga orang terakhir di depan Sulaiman masuk ke ruang
ATM, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.
“Alhamdulillah....,” desah Sulaiman dengan suara berat,
begitu pintu ATM terbuka.
“Pak, sepertinya uang di ATM habis, saya sudah coba
berkali-kali tapi uangnya tidak keluar,” kata anak muda yang baru keluar dari
ruang mesin uang itu.
“Ya Allah.......” kepanikan membayang di wajah Sulaiman.
“Ada satu lagi ATM-nya, Pak, yang di dekat kampus itu,”
si pemuda memberikan penjelasan tambahan.
“Iya dek, terimakasih,” jawab Sulaiman terbata-bata.
Jarak ke kampus dari pasar ini lebih kurang sepuluh
kilometer. Jika ditempuh dalam suasana sore yang ramai dan jalanan yang macet,
butuh waktu lama untuk tiba di sana. Waktu yang dimiliki Sulaiman terbatas.
Uang di kantung celananya tidak memadai, para pedangang tradisional sudah
meulai meninggalkan lapaknya satu persatu. Matahari semakin condong ke barat.
“Waktuku sekitar dua setengah jam lagi,”batin Sulaiman.
Sulaiman menengadah ke langit, melihat burung-burung yang
terbang pulang ke sarangnya.
“oh, alangkah bahagianya jika aku jadi burung saja, tidak
dihisab, tidak diminta pertanggungjawaban, dan tentunya tidakperlu berhutang
seperti ini.” Sulaiman menyesali dirinya sendiri.
Dalam kegalauannya yang tidak dapat dibagi, Sulaiman
kembali menghidupkan astrea grandnya, menuju harapan terakhir yang diketahuinya.
***
Matahari semakin merah saja, seakan terbawa kecemasan
hati Sulaiaman. Ia memarkir astrea tuanya di sebuah halaman yang rindang, di
depan rumah tua yang sederhana. Itu adalah rumah Haji Khalis, tidak jauh dari
masjid yang dikunjungi Sulaiman seminggu sekali untuk shalat jum’at.
Berlawanan dengan arah Masjid,di samping rumah Pak Haji
ada kandang kambing. Pak Haji ada di sana.
“Assalamu’alaikum, Pak Haji, tolong saya, Pak Haji,”
Sulaiman buru-buru menghampiri Pak Haji Khalis yang baru saja menutup kandang
kambingnya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, wah
beruntung sekali saya dikunjungi oleh Pak Sulaiman,” Pak Haji menjawab salam
sambil membasuh tangan dan kakinya dengan air dari dalam pasu di dekat situ.
“Pak Haji, tolong saya, saya tidak punya banyak waktu,
hanya pak haji sajalah yang menurut saya bisa membantu saat ini,” Sulaiman
memohon dengan penuh harap, sambil menyalami dan mencium tangan Pak Haji
Khalis.
“Ada apa ini, sepertinya dunia mau berakhir saja, Pak
Sulaiman?” tanya Pak Haji heran.
“Benar, Pak Haji, waktu saya sudah tidak lama lagi,
kira-kira sampai bulan purnama bulat sempurna malam ini,” jelas Sulaiman
terbata-bata. Sedikit air mata keluar juga dan membasahi pipinya, melengkapi
keringat yang sedari awal sudah keluar dari ubun-ubunnya.
“Mari duduk dulu,” Pak Haji menggandeng Sulaiman ke teras
rumahnya. Di sana sudah tersedia dua gelas air hangat yang disuguhkan oleh anak
Pak Haji, begitu dia tahu ada tamu ayahnya yang datang. Memang sudah sering orang
datang ke rumah Pak Haji Khalis saban hari, jadi sekedar menghidangkan air
hangat sudah menjadi kebiasaan di rumah itu.
“Pak Haji harus berjanji merahasiakan hal ini sampai
lewat pukul sembilan malam ini, saya
mohon Pak Haji,” pinta Sulaiman penuh haru.
“Baiklah, silahkan ceritakan pelan-pelan,” jawab Pak Haji
bijak, sambil menepuk-nepuk bahu Sulaiman.
Sulaiman menceritakan semua kegundahannya kepada Pak Haji
Khalis dengan suara yang lirih, dia malu jika ada orang lain yang
mengetahuinya.
***
Shalat Isya berjamaah telah usai. Satu persatu jamaah
shalat meninggalkan masjid jami’ al-Anshar, yang tidak jauh dari pusat kota
kecamatan. Lampu-lampu utama masjid sebagian sudah dipadamkan oleh bilal
masjid. Hanya tersisa lampu luar dan beberapa lampu di dalam yang cukup memadai
untuk membaca al-quran atau membaca buku dan kitab wakaf yang tersusun rapi di
rak-rak kecil yang dibuat melingkar di tiang-tiang masjid.
Jam di dinding masjid sudah menunjukkan pukul setengah
sembilan malam. Sementara di luar, bulan purnama sudah bertengger di langit
sebelah timur, menepis satu-persatu awan hitam, seakan hendak menantang Sulaiman yang masih
bersembunyi di masjid.
Hanya lima orang yang masih bertahan di masjid tua ini,
Sulaiman yang tidak bergeming di atas sajadah. Pak Haji Khalis yang memang
rutin menyempurnakan wiridnya. Dan tiga orang mahasiswa yang tinggal di masjid,
merangkap bilal masjid, juga kadang-kadang menjadi Imam shalat rawatib bila Pak
Haji Khalis kurang sehat atau berada di luar kota.
Tak ada yang terlalu merisaukan perjalanan waktu yang
sudah biasa itu, kecuali Sulaiman yang benar-benar khusyuk melantukan doa, air
matanya berderai seperti kanak-kanak kehilangan mainan kesayangannya.
“Pak Sulaiman, sudah lewat jam sembilan malam,” Pak Haji
Khalis menepuk pundak Sulaiman.
“Apakah saya masih hidup? Ini Pak Haji atau malaikat
Izrail? Di mana saya” jawab Sulaiman gugup.
“Alhamdulillah, kita masih di masjid, Pak Sulaiman,”
jawab Pak Haji. “Silakan minum dulu, baru kita bisa berbincang dengan tenang,”
lanjut Pak Haji sambil menyedorkan air mineral gelas produk lokal kepada
Sulaiman.
Setelah Sulaiman menghabiskan setengah air mineral,
mereka beranjak ke teras masjid, memandang indahnya bulan purnama.
“Pak Haji, saya yakin sekali tadi itu adalah akhir waktu
saya di dunia ini, saya sangat berterimakasih Pak Haji mau menolong saya
menuntaskan nazar saya bila saya tadi meninggal. Saya memang bernazar jika
Mahmud anak saya lulus ujian masuk perguruan tinggi, saya akan menyembelih
seekor kambing,” Sulaiman kini sudah bisa bercerita dengan suara yang lega dan
tenang.
“Sudah kewajiban sesama orang beriman untuk saling
membantu, Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji.
“Dalam tidur tadi sore, saya mendengar ada yang
mengatakan bahwa ajal saya sampai bulan purnama bulat sempurna malam ini. Suara
itu juga mengingatkan kalo saya masih punya satu hutang dengan Allah yang belum
ditunaikan, yaitu nazar tadi,” Sulaiman melanjutkan.
“Saya sangat gugup dan terjatuh dari tempat tidur, antara
yakin dan tidak, saya berfikir apa yang saya bisa lakukan dalam waktu yang
singkat ini. Pertama kalinya saya shalat sangat khusyuk, Pak Haji. Lalu saya
sadar kalo masih sempat untuk membeli kambing ke pasar.” Sulaiman kembali
meneguk sisa air mineralnya.
“Saya tidak sempat berwasiat kepada istri dan anak saya,
tapi saya berdoa di dalam hati jika saya meninggal mereka akan baik-baik saja.”
Sulaiman menarik nafas panjang.
“Ketika saya tidak mungkin membeli kambing karena uang
tidak memadai, saya teringat Pak Haji, jika saya tidak sempat menunaikan nazar
saya, saya minta pak haji dapat menyampaikannya kepada keluarga saya.” Sulaiman
kembali meneguk sisa air mineralnya.
“Alhamdulillah, Pak Sulaiman adalah orang yang beruntung,
apakah suara yang didengar itu benar atau tidak, orang yang menunaikan nazarnya
adalah orang yang baik,” kata Pak Haji.
“Pak Haji, bulan purnama sudah terbit, kira-kira berapa
lama lagi waktu saya, PakHaji?” tanya Sulaiman kembali gundah.
“Bulan memang tidak bulat sempurna Pak Sulaiman,” jawab
Pak Haji sambil menghela nafas panjang.
“Tapi maut adalah rahasia Ilahi, tugas kita adalah
mempersiapkan diri sebaik mungkin,” lanjut Pak Haji Khalis.
“Terimakasih, Pak Haji. Mungkin waktu saya belum tiba. Saya
mohon maaf telah merepotkan Pak Haji,” kata Sulaiman penuh haru.
“Sudah kewajiban kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan,
Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji. “jika tidak ada hal lain lagi saya mohon pamit
untuk beristirahat di rumah,” lanjut Pak Haji.
“Pak Haji, sekali lagi terima kasih, saya juga mau pulang
ke rumah, rasanya rindu sekali ingin berjumpa dengan istri dan anak saya si
Mahmud.”
Sulaiman dan Pak Haji Khalis saling bersalaman, lalu
pulang ke kediaman masing-masing.
Tinggallah tiga orang bilal di masjid. Lampu masjidpun di
padamkan untuk menghemat tagihan listrik bulanan.
“Sepertinya sinar bulan malam ini terang sekali,” kata
bilal pertama.
“Ya, teras sampai ke dalam masjid terang semua meski
lampu sudah di padamkan,” sambung yang kedua.
“Bulat sekali ya bulan malam ini, betul-betul sempurna,”
tambah yang ketiga.
Dan hanya Tuhan saja yang tahu, apakah bulan malam itu
benar-benar bulat sempurna. Sekian.
Banda Aceh, 4 September 2016.
Terinspirasi kunjungan teman lama Bang Muhammad
Subhan.