Minggu, Juni 05, 2016

Puasa dan Kesadaran Sejarah

Puasa (shaum, shiyam) lazimnya dipahami sebagai menahan diri dari makan dan minum dalam jangka waktu tertentu, sejak terbit fajar hingga masuk waktu salat magrib. Ada puasa wajib, yaitu puasa sebulan penuh pada bulan ramadan, termasuk juga puasa wajib adalah puasa karena nazar; dan puasa sunat, yaitu puasa selain ramadan dan nazar.

Banyak sudah yang membahas kelebihan ibadah puasa ini bagi kesehatan jasmani dan ruhani. Dalam kaitanya dengan bulan ramadan, juga sudah banyak yang membahas berbagai keutamaan, hikmah dan faidah-faidahnya, yang selayaknya diketahui oleh semua orang yang menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya.

Namun kali ini, penulis tergerak untuk melihat salah satu pesan dari ayat yang menjadi dalil kewajiban puasa (QS. Al-Baqarah: 183), yaitu kesadaran akan perjalanan sejarah umat manusia. Ternyata, ibadah puasa bukanlah kewajiban baru dalam agama Islam, tapi ibadah yang sebelumnya telah diwajibkan kepada umat-umat dan nabi-nabi terdahulu sepanjang sejarah umat manusia. Jika kita sepakat bahwa Nabi Adam adalah manusia dan nabi yang pertama di dalam Islam, maka sejarah Islam adalah sejarah umat manusia itu sendiri.

Keimanan dalam konteks ayat puasa, sepertinya tidak hanya dibatasi pada kepercayaan kepada Allah, rasul, malaikat, kitab, hari akhir dan takdir, tapi juga mencakup kesadaran akan peristiwa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang yang masih penuh misteri. Sepertinya, rangkaian puasa dan ibadah dalam bulan ramadan khususnya, dan pada bulan-bulan yang lain tidak akan ‘mengena’ bila tidak disertai oleh kesadaran dan pengetahuan akan sejarah. Boleh jadi itu adalah pengetahuan akan sejarah pensyariatan ibadah secara khusus, maupun terkait dengan sejarah sosial umat-umat terdahulu yang juga mendapat taklif untuk menjadi hamba Allah yang muttaqin.

Sebagai ‘kebenaran terakhir’ dari rangkaian syariat agama samawi, ajaran Islam memang sangat identik dengan ibadah bersejarah. Selain puasa, ada ibadah haji yang telah dimulai pada masa Nabi Ibrahim AS, ibadah qurban yang telah dimulai pada masa Nabi Adam AS, demikian pula hanya dengan salat, zakat, dan hukum-hukum syariat lain yang formulanya bisa berbeda-beda untuk setiap umat para nabi.

Bahkan, dalam kurun awal syariat Nabi Muhammad SAW setiap ibadah dan hukum memiliki momentum sejarahnya sendiri. Katakanlah misalnya ibadah salat menjadi suatu kewajiban pada tahun kedua sebelum hijrah, puasa diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah, haji dan zakat diwajibkan pada tahun keenam hijrah.

Khusus bulan ramadan misalnya, juga memiliki momentum bersejarahnya sendiri. Al-Quran diwahyukan pertama sekali pada bulan ramadan tahun pertama kenabian Muhammad SAW, dan Perang Badar yang terjadi pada bulan ramadan tahun kedua hijrah.

Lalu kesadaran sejarah seperti apa yang diperlukan untuk menyempurnakan iman dan mencapai tujuan akhir ibadah kepada Allah SWT? Apakah pengetahuan sejarah di atas sudah memadai? Sejujurnya yang bisa penulis tawarkan bukanlah jawaban pasti, melainkan serpihan-serpihan renungan yang mungkin bermanfaat untuk kembali kita renungkan di setiap waktu luang.

Benar bahwa secara material, kita perlu memiliki pengetahuan sejarah masa lalu, baik sejarah pribadi seperti nasab keluarga, maupun sejarah yang lebih luas seperti sejarah masyarakat, sejarah bangsa, sejarah agama, sejarah jatuh bangunnya sebuah peradaban umat manusia. Tanpa pengetahuan akan materi sejarah tersebut, kita tidak bisa belajar untuk menjadi lebih baik di masa kini, apa lagi di masa yang akan datang. Namun problemnya adalah, jangankan masa depan, sejarah masa lalu juga kerap menjadi misteri bagi kita hari ini. Ada keterputusan sejarah yang menyebabkan kita kesulitan mengidentfikasikan diri sebagai pribadi, sebagai manusia, sebagai umat Islam. Mungkin itulah sebabnya kenapa kondisi kita hari ini terpuruk, mundur, terbelakang, karena kita kehilangan ‘sejarah’ itu.

Bahkan Nabi Muhammad SAW yang diutus dalam jarak ratusan tahun sejak Nabi terakhir, Nabi Isa As, dibekali Allah dengan pengetahuan akan nabi-nabi terdahulu untuk dikuatkan hatinya, sehingga mampu menjalankan amanah risalah dengan baik (QS. Hud: 120). Rasulullah SAW juga ‘diperlihatkan’ oleh Allah ‘masa depan’ umatnya sehingga beliau lebih termotivasi dalam menjalankan dakwahnya. Mungkin ini hikmahnya Nabi SAW diutus dari kalangan bangsa Arab yang sengat peduli dengan sejarah, mereka memiliki tradisi tutur tentang nasab dan peristiwa-peristiwa masa lalu, di samping kelebihan-kelebihan lain yang merupakan anugrah Allah kepada mereka sebagai penolong pertama bagi risalah Nabi Muhammad SAW.

Mungkin anda merasakan bahwa berat sekali kalau kita harus menggali kembali sejarah masa lalu. Dengan segala kelemahan kita, keterbatasan waktu, kesibukan pekerjaan, kewajiban ibadah dan muamalah lainnya kita tidak akan mungkin melakukannya, ini hanya sebuah utopia saja.

Benar, kelemahan dan kekeurangan adalah salah satu atribut yang melekat dengan manusia. Justru di situlah kunci masuknya. Sejarah ini, peradaban ini, agama ini telah dibangun oleh manusia-manusia lemah, namun memiliki kekuatan jiwa dan ruhani yang luar biasa. Dalam konteks itulah saya melihat kenapa ayat puasa menggandeng ungkapan iman, puasa, dan sejarah (allazina minmqablikum). Supaya kita bisa melatih kekuatan jiwa dan ruhani untuk dapat menjadi lebih kuat dari sekedar manusia pada umumya. Supaya kita bisa membangun sejarah baru yang lebih gemilang, supaya kita bisa mewariskan sebab-sebab keberuntungan, kesejahteraan, dan keselamatan dunia akhirat bagi generasi yang akan datang. Bukankah Allah menjajikan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh orang-orang yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105)?

Muttaqin berarti adalah orang-orang luar biasa, yakni orang lemah yang menjadi kuat karena kekuatan ruhaninya, sehingga mampu beramal shaleh, tentu saja kesahalihan yang luar biasa, bukan kesahalihan yang biasa-biasa saja yang mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Kenapa mereka bisa? Karena kekuatan ruhani (takwa) melampaui sarana-sarana lahiriah yang dipahami oleh manusia biasa. Takwa adalah sebaik-baik bekal yang mampu menyelamatkan ‘orang miskin’ untuk naik haji (QS. Al-Baqarah:197), yang memperkuat para sahabat dalam perang badar, yang menjadi ransum bagi pasukan muslim menaklukkan Benteng Konstantinopel.

Dalam konteks takwa inilah saya bisa memahami ungkapan “doa adalah senjata orang mukmin,” bukan sekedar panah, peluru meriam dan senjata canggih lainnya yang dapat diciptkan manusia.

Lalu dari mana kita akan memulai? Lagi-lagi saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Tapi marilah kita memulainya dengan memintakan ampunan bagi orang-orang terdahulu, berterimakasih atas jasa-jasa dan peran mereka di segala bidang, memaklumi kekurangan dan kelemahan mereka. Mari mendoakan anak-anak kita dan generasi mendatang diberikan kebaikan oleh Allah di dunia dan di akhirat. Dan tentunya yang paling penting adalah melaksanakan ibadah di bulan ramadan ini dengan sungguh-sungguh sehingga kita bisa menjadi lebih kuat dalam menjalankan peran kita sebagai ‘pelaku sejarah’. Wabillahi tufiq walhidayah.

Banda Aceh, 5 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar