Minggu, September 04, 2016

Bulan Tidak Bulat Sempurna



Azan Ashar telah berkumandang dari corong speaker di menara mushalla, ada tiga mushalla yang kebetulan berdekatan dengan rumah Sulaiman. Namun Sulaiman masih nyenyak tertidur di dipan, ditemani sepoi angin sore hari tepi pantai ujung sumatera. Mungkin Sulaiman terlalu lelah, setelah setengah hari lebih berpeluh di bawah sinar matahari yang memerah akhir-akhir ini.

Waktu terus berlalu. Suara dari speaker mushalla menunjukkan bahwa shalat ashar berjamaah akan segera usai. Sulaiman terlihat masih larut dalam tidur, hingga tiba-tiba ia terjatuh dari dipan.

“Astaughfirullah..... astaughfirullah....... ya Allah, apa benar mimpi saya tadi?” Sulaiman berguman sendiri.

Segera Sulaiman melirik jam dinding. “Masih ada waktu sekitar 4 jam kurang,” batin Sulaiman.
Bergegas ia menuju ke kamar mandi untuk mandi, berwudhu dan memilih pakaian terbaik. Umi, istri Sulaiman, heran. “Ada apa gerangan?” batinnya.

Sulaman tenggelam dalam khusyuk shalatnya, 5 menit ia belum selesai shalat, rukuknya lama, sujudnya lebih lama. Sepuluh menit kemudian ia bersalam, dan kembali larut dalam doa dan zikir yang lumayan panjang. Sesuatu yang tidak biasa dalam pandangan Umi, istri Sulaiman.

“Ah, suamiku semakin shalih saja, mudah-mudahan diberi keistiqamahan,” doa Umi di dalam hati.

“Umi, ada hal penting yang Abi perlu bicarakan.” Umi tersentak, tiba-tiba Sulaiman sudah ada di depannya.

“Malam ini Abi mungkin tidak makan malam di rumah, ada urusan penting yang harus Abi selesaikan,” kata Sulaiman cepat, napasnya berburu satu sama lain. Peluh mengalir di wajahnya bak hujan,padahal Sulaiman baru selesai Shalat Ashar, bukan main futsal.

“Ada apa, Abi? Kelihatannya penting sekali,” timpal Umi penuh ketenangan, meski heran ia mampu menguasai dirinya. Istri salehah sudah sepatutnya mampu menyenangkan dan menenangkan suaminya.

“Ya, Umi. Ada hutang yang harus segera Abi lunasi, tak bisa ditunda-tunda lagi. Umi kan tau, bahkan orang yang syahid di medan jihad tidak bisa masuk surga bila hutangnya belum lunas,” Sulaiman menjelaskan, masih dengan nada yang cepat.

“Ya, Abi,” jawab Umi.

“Tabungan Abi ada di map berwarna biru, juga catatan-catatan penting terkait dengan pensiun Abi sebagai pegawai negeri, barang kali perlu, Umi sudah tau di mana menemukannya,”lanjut Sulaiman.

“Abi pergi dulu ya, Assalamu’alaikum...” Sulaiman segera beranjak keluar, membawa astrea grand tua, yang dibelinya dengan mencicil dari tetangga.

“Wa’alaikumussalam...” jawab Umi. Tapi sebagaimana biasa, ia selalu berbaik sangka terhadap suaminya.Umi kembali sibuk dengan tugas hariannya menjelang senja, menyiapkan makan malam untuk keluarga.

***

Sulaiman tiba di keramaian pasar tradisional. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lewat. Ada kekhawatiran di hatinya, bahwa yang dicarinya tidak akan dapat. Para penjual akan menutup dagagangannya menjelang senja, sehingga cukup waktu persiapan shalat magrib. Di daerah Sulaiman, waktu magrib masih sakral. Bahkan ada spanduk bertuliskan “Gerakan Magrib Mengaji.”Antara magrib dan isya anak-anak mengaji di balai-balai. Sementara orang dewasa berzikir atau mendengarkan ceramah agama di mushalla atau masjid.

Sulaiman berhenti di depan sebuah Bank Negara, ada beberapa orang yang antri di depan sebuah pintu kecil bertuliskan tiga huruf, ATM.

“Ya Allah, tolonglah hambamu melunasi hutang ini....” guman Sulaiman perlahan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Sepertinya orang yang di dalam ruang ATM mengambil uang dalam jumlah besar. Keringat Sulaiman mulai membasahi bajunya.

Hingga orang terakhir di depan Sulaiman masuk ke ruang ATM, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.

“Alhamdulillah....,” desah Sulaiman dengan suara berat, begitu pintu ATM terbuka.

“Pak, sepertinya uang di ATM habis, saya sudah coba berkali-kali tapi uangnya tidak keluar,” kata anak muda yang baru keluar dari ruang mesin uang itu.

“Ya Allah.......” kepanikan membayang di wajah Sulaiman.

“Ada satu lagi ATM-nya, Pak, yang di dekat kampus itu,” si pemuda memberikan penjelasan tambahan.

“Iya dek, terimakasih,” jawab Sulaiman terbata-bata.

Jarak ke kampus dari pasar ini lebih kurang sepuluh kilometer. Jika ditempuh dalam suasana sore yang ramai dan jalanan yang macet, butuh waktu lama untuk tiba di sana. Waktu yang dimiliki Sulaiman terbatas. Uang di kantung celananya tidak memadai, para pedangang tradisional sudah meulai meninggalkan lapaknya satu persatu. Matahari semakin condong ke barat.

“Waktuku sekitar dua setengah jam lagi,”batin Sulaiman.

Sulaiman menengadah ke langit, melihat burung-burung yang terbang pulang ke sarangnya.

“oh, alangkah bahagianya jika aku jadi burung saja, tidak dihisab, tidak diminta pertanggungjawaban, dan tentunya tidakperlu berhutang seperti ini.” Sulaiman menyesali dirinya sendiri.

Dalam kegalauannya yang tidak dapat dibagi, Sulaiman kembali menghidupkan astrea grandnya, menuju harapan terakhir yang diketahuinya.

***

Matahari semakin merah saja, seakan terbawa kecemasan hati Sulaiaman. Ia memarkir astrea tuanya di sebuah halaman yang rindang, di depan rumah tua yang sederhana. Itu adalah rumah Haji Khalis, tidak jauh dari masjid yang dikunjungi Sulaiman seminggu sekali untuk shalat jum’at.

Berlawanan dengan arah Masjid,di samping rumah Pak Haji ada kandang kambing. Pak Haji ada di sana.

“Assalamu’alaikum, Pak Haji, tolong saya, Pak Haji,” Sulaiman buru-buru menghampiri Pak Haji Khalis yang baru saja menutup kandang kambingnya.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, wah beruntung sekali saya dikunjungi oleh Pak Sulaiman,” Pak Haji menjawab salam sambil membasuh tangan dan kakinya dengan air dari dalam pasu di dekat situ.

“Pak Haji, tolong saya, saya tidak punya banyak waktu, hanya pak haji sajalah yang menurut saya bisa membantu saat ini,” Sulaiman memohon dengan penuh harap, sambil menyalami dan mencium tangan Pak Haji Khalis.

“Ada apa ini, sepertinya dunia mau berakhir saja, Pak Sulaiman?” tanya Pak Haji heran.

“Benar, Pak Haji, waktu saya sudah tidak lama lagi, kira-kira sampai bulan purnama bulat sempurna malam ini,” jelas Sulaiman terbata-bata. Sedikit air mata keluar juga dan membasahi pipinya, melengkapi keringat yang sedari awal sudah keluar dari ubun-ubunnya.

“Mari duduk dulu,” Pak Haji menggandeng Sulaiman ke teras rumahnya. Di sana sudah tersedia dua gelas air hangat yang disuguhkan oleh anak Pak Haji, begitu dia tahu ada tamu ayahnya yang datang. Memang sudah sering orang datang ke rumah Pak Haji Khalis saban hari, jadi sekedar menghidangkan air hangat sudah menjadi kebiasaan di rumah itu.

“Pak Haji harus berjanji merahasiakan hal ini sampai lewat pukul sembilan  malam ini, saya mohon Pak Haji,” pinta Sulaiman penuh haru.

“Baiklah, silahkan ceritakan pelan-pelan,” jawab Pak Haji bijak, sambil menepuk-nepuk bahu Sulaiman.

Sulaiman menceritakan semua kegundahannya kepada Pak Haji Khalis dengan suara yang lirih, dia malu jika ada orang lain yang mengetahuinya.

***

Shalat Isya berjamaah telah usai. Satu persatu jamaah shalat meninggalkan masjid jami’ al-Anshar, yang tidak jauh dari pusat kota kecamatan. Lampu-lampu utama masjid sebagian sudah dipadamkan oleh bilal masjid. Hanya tersisa lampu luar dan beberapa lampu di dalam yang cukup memadai untuk membaca al-quran atau membaca buku dan kitab wakaf yang tersusun rapi di rak-rak kecil yang dibuat melingkar di tiang-tiang masjid.

Jam di dinding masjid sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sementara di luar, bulan purnama sudah bertengger di langit sebelah timur, menepis satu-persatu awan hitam,  seakan hendak menantang Sulaiman yang masih bersembunyi di masjid.

Hanya lima orang yang masih bertahan di masjid tua ini, Sulaiman yang tidak bergeming di atas sajadah. Pak Haji Khalis yang memang rutin menyempurnakan wiridnya. Dan tiga orang mahasiswa yang tinggal di masjid, merangkap bilal masjid, juga kadang-kadang menjadi Imam shalat rawatib bila Pak Haji Khalis kurang sehat atau berada di luar kota.

Tak ada yang terlalu merisaukan perjalanan waktu yang sudah biasa itu, kecuali Sulaiman yang benar-benar khusyuk melantukan doa, air matanya berderai seperti kanak-kanak kehilangan mainan kesayangannya.

“Pak Sulaiman, sudah lewat jam sembilan malam,” Pak Haji Khalis menepuk pundak Sulaiman.

“Apakah saya masih hidup? Ini Pak Haji atau malaikat Izrail? Di mana saya” jawab Sulaiman gugup.

“Alhamdulillah, kita masih di masjid, Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji. “Silakan minum dulu, baru kita bisa berbincang dengan tenang,” lanjut Pak Haji sambil menyedorkan air mineral gelas produk lokal kepada Sulaiman.

Setelah Sulaiman menghabiskan setengah air mineral, mereka beranjak ke teras masjid, memandang indahnya bulan purnama.

“Pak Haji, saya yakin sekali tadi itu adalah akhir waktu saya di dunia ini, saya sangat berterimakasih Pak Haji mau menolong saya menuntaskan nazar saya bila saya tadi meninggal. Saya memang bernazar jika Mahmud anak saya lulus ujian masuk perguruan tinggi, saya akan menyembelih seekor kambing,” Sulaiman kini sudah bisa bercerita dengan suara yang lega dan tenang.

“Sudah kewajiban sesama orang beriman untuk saling membantu, Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji.

“Dalam tidur tadi sore, saya mendengar ada yang mengatakan bahwa ajal saya sampai bulan purnama bulat sempurna malam ini. Suara itu juga mengingatkan kalo saya masih punya satu hutang dengan Allah yang belum ditunaikan, yaitu nazar tadi,” Sulaiman melanjutkan.

“Saya sangat gugup dan terjatuh dari tempat tidur, antara yakin dan tidak, saya berfikir apa yang saya bisa lakukan dalam waktu yang singkat ini. Pertama kalinya saya shalat sangat khusyuk, Pak Haji. Lalu saya sadar kalo masih sempat untuk membeli kambing ke pasar.” Sulaiman kembali meneguk sisa air mineralnya.

“Saya tidak sempat berwasiat kepada istri dan anak saya, tapi saya berdoa di dalam hati jika saya meninggal mereka akan baik-baik saja.” Sulaiman menarik nafas panjang.

“Ketika saya tidak mungkin membeli kambing karena uang tidak memadai, saya teringat Pak Haji, jika saya tidak sempat menunaikan nazar saya, saya minta pak haji dapat menyampaikannya kepada keluarga saya.” Sulaiman kembali meneguk sisa air mineralnya.

“Alhamdulillah, Pak Sulaiman adalah orang yang beruntung, apakah suara yang didengar itu benar atau tidak, orang yang menunaikan nazarnya adalah orang yang baik,” kata Pak Haji.

“Pak Haji, bulan purnama sudah terbit, kira-kira berapa lama lagi waktu saya, PakHaji?” tanya Sulaiman kembali gundah.

“Bulan memang tidak bulat sempurna Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji sambil menghela nafas panjang.

“Tapi maut adalah rahasia Ilahi, tugas kita adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin,” lanjut Pak Haji Khalis.

“Terimakasih, Pak Haji. Mungkin waktu saya belum tiba. Saya mohon maaf telah merepotkan Pak Haji,” kata Sulaiman penuh haru.

“Sudah kewajiban kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, Pak Sulaiman,” jawab Pak Haji. “jika tidak ada hal lain lagi saya mohon pamit untuk beristirahat di rumah,” lanjut Pak Haji.

“Pak Haji, sekali lagi terima kasih, saya juga mau pulang ke rumah, rasanya rindu sekali ingin berjumpa dengan istri dan anak saya si Mahmud.”

Sulaiman dan Pak Haji Khalis saling bersalaman, lalu pulang ke kediaman masing-masing.

Tinggallah tiga orang bilal di masjid. Lampu masjidpun di padamkan untuk menghemat tagihan listrik bulanan.

“Sepertinya sinar bulan malam ini terang sekali,” kata bilal pertama.

“Ya, teras sampai ke dalam masjid terang semua meski lampu sudah di padamkan,” sambung yang kedua.

“Bulat sekali ya bulan malam ini, betul-betul sempurna,” tambah yang ketiga.

Dan hanya Tuhan saja yang tahu, apakah bulan malam itu benar-benar bulat sempurna. Sekian.

Banda Aceh, 4 September 2016.
Terinspirasi kunjungan teman lama Bang Muhammad Subhan.