Jumat, Juni 16, 2017

Hadis Nomor 27 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Apakah seseorang bisa membedakan kebaikan dan dosa? Semestinya manusia telah dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buru. Salah satu instrumen untuk itu adalah akal. Akal identik dengan kecerdasan logika, analisa dan luasnya informasi yang dimiliki. Orang yang berakal identik dengan orang pintar atau berilmu.

Akan tetapi, adakalanya keluasan ilmu juga tidak bisa menyelamatkan manusia dari jebakan dosa. Pada saat itu, manusia perlu kepada kecerdasan nuraninya, yang identik dengan qalbu, hati.

Dalam hadis ke 27, dapat kita lihat jawaban Rasulullah kepada sahabat An-Nawas bin Sam’ani :

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِك، وَكَرِهْت أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan tercermin dari akhlak yang baik, dosa apa yang menyesakkan dadamu, dan kau khawatirkan diketahui oleh orang lain.

Dalam riwayat yang lain, Sahabat Wabishah bin Ma’ad mendatangi Rasulullah untuk bertanya tentang apa itu kebaikan, maka Raulullah menerangkan :

استفت قلبك، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إلَيْهِ النَّفْسُ، وَاطْمَأَنَّ إلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاك النَّاسُ وَأَفْتَوْك

Mintalah fatwa kepada hatimu, kebaikan adalah yang membuat jiwa menjadi tenang dan hati menjadi tentram. Sementara dosa adalah yang meresahkan jiwa dan menyesakkan dada, meskipun kamu sudah bertanya kepada orang lain.

Pada dasarnya, jiwa dan hati manusia itu baik, dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, bahwa kondisi jiwa dan hati itu sehat/bersih, dan kita terbiasa untuk tidak mengabaikan alarm yang diberikan oleh hati kita.

Para sahabat rasul adalah orang-orang memelihara dan menjaga kebersihan hati dan jiwanya, sehingga mereka bisa langsung mempedomani fatwa dari hatinya. Namun bagi kita yang awam, perlu membiasakan diri untuk membersihkan hati dengan ibadah, berprasangka baik, berzikir, dan mendengarkan nasehat dari para ulama. Dengan demikian, mudah-mudahan kita bisa bebas dari jebakan nafsu dan syahwat kita, yang kita kira sebagai hati nurani kita.

Namun, secara sederhana, dari hadis di atas, Rasulullah menjelaskan dua kriteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan sesuatu itu baik, yaitu jiwa tentram dan hati juga tenang. Bila jiwa tentram tapi hati gelisah, berarti itu nafsu. Bila hati yakin namun jiwa melawan, kemungkinan kita sedang melawan hawa nafsu dalam melakukan amal shaleh. Kita masih harus terus berlatih mengendalikannya.

Jika sesuatu itu menyesakkan di dada, meresahkan jiwa, meskipun sudah bertanya kepada orang lain yang lebih mengerti, berarti ada sesuatu yang salah dengan diri kita, bisa jadi niat kita salah jika lahiriah perbuatannya baik, atau memang sebuah kesalahan, namun samar pada pandangan orang lain.

Jika kita mengalami ini, bersyukurlah bahwa hati kita masih hidup, alarm yang Allah titip pada diri kita masih berfungsi. Mari kita jaga dan rawat, karena bila hati telah mati, tidak ada beda lagi banginya apakah sesuatu itu baik atau berdosa.

Wallahu a’lam.

Selasa, Juni 13, 2017

Hadis Nomor 28 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Gejolak akhir zaman, telah diwanti-wanti oleh Rasulullah sejak dahulu kepada para sahabatnya. Barang siapa yang berumur panjang, akan melihat perbedaan-perbedaan yang memecahbelah umat islam. Pada hadis nomor urut ke 28, diriwayatkan oleh salah seorang sahabat, Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah yang berkata :

Suatu ketika Rasulullah memberi kami pelajaran yang membuat hati bergetar dan mata menjadi sendu, maka kami berkata kepada Rasulullah : Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir, maka berilah kami wasiat. Lalu Rasulullah Saw bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku mewasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah. Mendengar dan patuh kepada pemimpin walaupun dia adalah seorang budak. Barang siapa diantara kalian yang berumur panjang akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian menjaga sunnahku, dan sunnah pengganti ku yang jujur dan mengikuti petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, hindarilah perkara-perkara yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat. Demikian lebih kurang terjemahan hadis ini.

Secara umum, rasulullah meminta para sahabat dan umatnya untuk selalu bertakwa kepada Allah swt. Dengan kata lain, langkah pertama menyelematkan diri dan agama di akhir zaman adalah dengan bertakwa kepada Allah swt, baik dalam arti sempit maupun pengertian yang luas. Kalaupun tdak bisa menyelamatkan banyak orang, maka yang wajib dijaga adalah diri sendiri dan keluarga.

Langkah kedua, mungkin demi menjaga ketertiban umum, rasulullah meminta kita untuk mendengar dan taat kepada pemimpin. Tentu kita sepakat bahwa pemimpin tersebut adalah pemimpin kaum muslimin, walaupun berasal dari kalangan budak. Ini untuk menjaga soliditas ummat, sehingga tidak mudah diporak-porandakan oleh kedengkian orang-orang musyrik.

Saya kira, poin yang ketiga, penekanannya adalah kepada para pemimpin kaum muslimin untuk memegang teguh sunnah rasulullah dan para penggantinya, khususnya dalam mengayomi umat dan memelihara kewibawaan agama. Karena tidak mungkin bagi masyarakat awam mengikuti dan menjaga sunnah rasul jika pemimpinnya rusak.

Para pemimpin umat ini akan menghadapi cobaan dan ujian yang berat, namun mereka harus bertahan, karena kemampuan bertahan terhadap cobaan inilah yang menjadikannya pemimpin umat.

Saya cenderung memaknai poin terakhir juga dalam konteks kepemimpinan dan dan kemasyarakatan, bukan masalah ibadah dan ajaran agama. Menurut saya, konsep kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat di masa awal sudah ideal. Hari ini kita melihat kenyataan bahwa konsep-konsep kepemimpinan modern justru memecah belah umat dalam banyak partai, negara, serta berbagai kelompok dan kepentingan, sehingga sulit sekali bagi umat islam di seluruh dunia untuk bersatu dan bersepakat.

Di sebahagian wilayah, umat islam bisa hidup tenang dan beribadah, di tempat lain justru umat ilsam dibantai, dilucuti bahkan dilarang beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Umat Islam seharusnya adalah tubuh yang satu, dan dikontrol secara politik dan hukum dalam suatu kendali yang satu juga, sebagaimana pada masa rasulullah, para sahabat, dan orang-orang terdahulu yang kita kenal sebagai khilafah islamiyah.

Umat Islam seharusnya saling membantu dan menguatkan, bukannya saling berperang dan melemahkan. Saya kira, yang dilarang oleh rasul dalam hadis ini adalah mengikuti konsep-konsep politik dan kepemimpinan yang dibuat-buat oleh orang kafir untuk menghancurkan Islam, itulah bid’ah yang sangat berbahaya, menurut saya.

Lalu bagaimana solusinya untuk bisa mengembalikan kesatuan dan persatuan umat Islam? Kembali ke hadis di atas, langkah paling awal adalah memperbaharui ketakwaan kepada Allah SWT, dan melihat Islam sebagai suatu entitas yang lebih besar dari sekedar partai, negara, maupun kelompok. Jika kepentingan umat Islam berbeda dengan kepentingan partai, negara maupun kelompok, seharusnya individu-individu yang berperan dalam partai, negara dan kelompok tersebut lebih mendahulukan kepentingan umat islam.

Ingatlah, Islam sudah dijamin keselamatannya di sisi Allah, tapi partai, negara dan kelompok belum tentu selamat di hadapan pengadilan Allah, baik di dunia apalagi di akhirat kelak.

Khusus bagi kita yang rendah kulitas iman, dan kecil perannannya di  dalam masyarakat, maka seperti hadis yang kita bahas sebelumnya, peran serta kita dalam persatuan umat Islam adalah minimal dengan menjaga lisan kita jangan sampai menyerang dan menyakiti sesama muslim, khususnya tetangga, kawan, karib kerabat dan para ulama.

Wallahua’lam.


Rabu, Juni 07, 2017

Hadis Nomor 29 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Alhamdulillah, wasshalatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa ashabihi wa jami’i ummatihi. Kita sudah memasuki bagian sepuluh kedua dari bulan ramadhan tahun 1438 H. Saya akui, memelihara konsistensi untuk meneruskan tulisan dan pembahasan sederhana ini tidak mudah, khususnya karena istiqamah saya yang memang masih lemah.

Kita lanjutkan ke hadis nomor 29 dalam susunan Kitab Arbain Imam Nawawi. Diriwayatkan dari sahabat nabi, Muadz bin Jabal radhiallahu anhu, beliau berkata: saya bertanya kepada Rasulullah SAW, beritahukanlah kepada ku perbuatan yang bisa menjadi jalan bagiku untuk masuk surga dan jauh dari neraka.
Lalu rasul menjawab :

لَقَدْ سَأَلْت عَنْ عَظِيمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ

Kamu telah menanyakan persoalan yang penting, namun bagi orang yang dimudahkan oleh Allah, mengamalkannya akan sangat menyenangkan, yaitu: kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun, mendirikan shalat-shalat yang wajib, membayar zakat-zakat yang wajib, berpuasa pada bulan ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji.

Lalu Rasulullah SAW melanjutkan :

أَلَا أَدُلُّك عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ

Maukah kamu kuberitahukan kunci-kunci kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah dapat menutupi kealahan seperti api memadamkan api, dan shalat malam.
Rasulullah membacakan ayat QS. As-Sajadah : 16-17. Kemudian beliau bersabda :

أَلَا أُخْبِرُك بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ؟

Maukah kamu kuberitahukan pokok agama, penyangga agama dan buah agama?

Sahabat Muadz menjawat, tentu ya Rasulullah. Rasulullah SAW melanjutkan :

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذُرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok agama adalah Islam, penyangganya adalah shalat, dan buahnya adalah jihad. Lalu beliau bersabda lagi :
أَلَا أُخْبِرُك بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟
Maukah kamu kuberitahukan kunci untuk semua urusan itu?

Sahabat Muadz kembali menjawab, tentu ya Rasulullah.

Maka Rasulullah SAW menunjuk mulut / lidah Muadz bin Jabal, lalu bersabda:

كُفَّ عَلَيْك هَذَا
Jagalah mulutmu ini.

Sahabat Muadz kembali bertanya : apakah kami akan dihukum karena apa yang kami bicarakan?

Rasulullah menjawab :

ثَكِلَتْك أُمُّك وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوهِهِمْ -أَوْ قَالَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ- إلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

Merugi kamu bila tidak mengetahuinya, bukankah kebanyakan manusia dipermalukan karena ulah mulutnya sendiri?  Demikian hadis yang panjang ini.

Pertanyaan Sahabat Nabi SAW, Muadz bin Jabal, adalah pertanyaan kita semua, karena kita semua ingin masuk syurga, dan tidak mau masuk ke neraka. Menurut Nabi, ini adalah perkara besar bagi sebagian besar orang, namun bagi orang yang Allah kasihani dan berikan kemudahan, mudah saja bagi mereka untuk melakukan amal saleh dan menghindari dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Menyembah Allah tanpa menyekutukannya, menegakkan shalat wajib, membayar zakat wajib, berpuasa wajib dan naik haji, sekilas adalah amalan yang sederhana dan mudah. Tapi kenyatannya, banyak orang yang tidak mampu melaksanakannya secara konsisten, kalo tidak kita katakan benar sesuai dengan ketentuan syariatnya.
Bagi orang yang telah memperoleh kemudahan dari Allah, mengerjakan kewajiban saja rasanya belum cukup. Mereka ingin melakukan kebaikan-kebaikan yang semakin mendekatkan mereka kepada Allah. Rasulullah membuka rahasia bagaimana menambah kebaikan tersebut, yaitu dengan puasa sunat, sedekah, dan shalat malam.

Lalu Rasulullah SAW memberikan perumpamaan yang lebih sederhana, supaya orang-orang awam pada umumnya lebih mudah mengerti. Dengan kata lain, orang-orang miskin yang tidak memiliki harta untuk berzakat, bersedekah dan berhaji.

Apa itu, beragama dengan agama yang benar, Islam. Menjaga shalat lima waktu, dan menjawab panggilan jihad jika dibutuhkan.

Namun, karena kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, Rasulullah masih membocorkan juga rahasia kebaikan bagi orang-orang yang lebih lemah lagi, yaitu menjaga mulut, bagi mereka yang tidak sanggup untuk berjihad.

Kenapa harus menjaga mulut? Hikmah menjaga mulud ini sangat banyak sesungguhnya, namun dalam hadis ini Rasulullah hanya memberikan satu contoh saja, bahwa banyak orang yang jatuh, terhina, atau dihukum karena tidak mampu mengendalikan mulutnya.

Dalam kasus yang lebih kontekstual.  Banyak orang yang tidak tahu diri, justru memperparah situasi karena mulutnya, twitnya, postingnya dan lain-lain, sehingga bukannya memberikan solusi dan penyelesaian masalah, justru memperkeruh situasi, bahkan menjelek-jelekan orang lain yang punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah.

Saya kira, sebagai orang yang lemah iman, sebagaimana salah satu hadis yang pernah kita bahas sebelumnya, diam itu adalah emas, dengan tetap mendoakan di dalam hati, supaya kebaikan menjadi jelas, dan kebatilan bisa diselesaikan dengan cara yang penuh hikmah, amin.

Kamis, Juni 01, 2017

Hadis Nomor 30 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Sebagai ajaran hidup universal dan berlaku sepanjang zaman, dalam Islam ditetapkan beberapa kewajiban dan beberapa larangan. Di luar kewajiban dan larangan tersebut merupakan wilayah ijtihad yang sangat luas bagi umatnya, baik di bidang hukum, politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain.

Jika merujuk ke hadis yang diriwayatkan dari Abi Tsa`labah Al-Khusyani, yakni sahabat Jursum bin Nasyib, maka beragama sesungguhnya sangat sederhana sekali.

Beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :

إنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا

Yang artinya kurang lebih :
Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu remehkan. Allah telah menetapkan beberapa batasan, maka janganlah kamu langgara. Allah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah mendekatinya. Allah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah membahasnya.

Kewajiban-kewajiban seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya harus dilaksanakan oleh semua orang Islam yang mukallaf. Mukallaf maksudnya, sehat jiwanya, dan sudah dianggap sebagai manusia dewasa, disebut juga balig, bukan lagi anak-anak.

Untuk hudud, atau serangkaian aturan hukum yang telah ditetapkan Allah, tidak berlaku ijtihad di dalamnya. Semuanya mesti dilakukan dan dilaksanakan secara presisi, sesuai ketentuan Allah yang termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi Saw.

Perkara yang haram harus dijauhi oleh orang beriman, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa. Dalam hal ini peran orang dewasa dalam menjaga keluarganya, dan peran pemerintah dalam menjaga masyarakatnya dari perkara yang haram sangat penting. Dari sinilah kita melihat urgensi politik bagi umat islam, guna melindungi umat dari perkara-perkara yang haram.

Salah satu institusi politik adalah pengadilan, yang berwenang untuk menjalankan hudud. Artinya hudud tidak mungkin dilakukan tanpa kapasitas politik yang memadai.

Terkait poin yang terakhir, perlu sedikit diskusi, mengingat di dalam Alquran ada pernyataan yang senada, yaitu selain yang halal dan yang haram adalah mutasyabihat, apakah yang dimaksudkan dalam hadis ini juga mutasyabihat?

Menurut hemat saya, baik ayat maupun hadis ini saling melengkapi. Perkara-perkara yang sudah dijelaskan adalah 1) kewajiban, 2) hudud, 3) larangan. Semua hal yang tidak masuk kedalam tiga hal di atas masuk dalam kategori halal, menurut saya. Ini yang mungkin maksudnya tidak perlu di bahas.

Namun dalam kehidupan, manusia memiliki akal dan naluri untuk menilai mana yang baik dan yang buruk, yang belum ada penjelasan rincinya di dalam Alquran dan hadis. Hal-hal yang secara mudah dapat dikenali sebagai yang baik, maka masuk dalam kategori halal/mubah. Akan tetapi, hal-hal lainnya yang tidak bisa dinalar dengan mudah oleh orang awam dan perlu penelitian oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya, masuk dalam kategori mutasyabihat.

Nah, lalu yang tidak perlu dibahas yang mana?menurut saya, maksud hadis ini antara lain sebagai berikut :
Yang pertama, tidak mempertanyakan kenapa Allah tidak mengaturnya, karena ini semua adalah hak Allah.
Yang kedua, mungkin yang dimaksud adalah perkara-perkara yang sudah jelas kedudukan halalnya, tidak perlu lagi dibahas lebih lanjut, karena masih banyak hal lain yang perlu mendapat perhatian.
Yang ketiga, tidak menjadikan hal-hal sepele sebagai sesuatu yang dibincangkan dan dibahas berlarut-larut, sehingga memakan waktu, emosi, dan bisa menyebabkan perpecahan umat.
Yang keempat, di luar ketentuan fardhu, hudud dan haram, adalah lingkup ijitihad yang boleh saja antara satu orang dengan lainnya berbeda pandangan, tidak perlu sampai diributkan, karena Allah tidak melupakan, justru keluasan dan perbedaan tersebut dimaksudkan sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya.
Kelima, hanya Allah dan rasul-Nya saja yang mengetahui, wallahu a`lam.

Hadis Nomor 31 dari Kitab Arbain Imam Nawawi



Dicintai Allah dan dicintai oleh manusia adalah dua hal yang sangat diinginkan. Pada umumnya, untuk mendapatkan cinta, seseorang akan melakukan apa saja yang disukai dan memenuhi semua kebutuhan dari orang yang diharapkan cintanya.

Supaya dicintai istri dan anak-anak kita akan sering memenuhi permintaan mereka akan pakaian baru, makanan enak, jalan-jalan dan sebagainya. Supaya dicintai kawan-kawan maka kita sering mentraktir mereka. Supaya dicintai pimpinan dan atasa di tempat kerja, kita selalu bekerja dengan rajin dan tentu saja mencari perhatian dengan berbagai cara.

Sepertinya merebut cinta seperti ini sangat melelahkan sekali, demikian kira-kira yang dirasakan oleh seorang sahabat Nabi Saw 1400 tahun yang lalu. Ia beriktiar untuk bertanya kepada Rasul SAW, adakah cara yang lain untuk memperoleh cinta manusia, dan tentunya cinta Allah SWT.

Hal ini bisa kita simak di dalam hadis nomor 31 yang dirunut oleh Imam Nawawi sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Al-Abbas, yaitu seorang Sahabat Nabi yang bernama Sahl bin Sa`di al-Sa`idi, beliau berkata: seseorang mengunjungi Rasulullah Saw dan bertanya kepadanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ‍! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ
Ya Rasulullah
Tunjuki aku suatu perbuatan yang jika kulakukan, maka Allah akan mencintaiku, demikian juga manusiapun mencintaiku.

Maka Rasulullah Saw menjawab :

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّك اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّك النَّاسُ
Kurang lebih artinya :
Zuhudlah dalam kehidupan dunia, niscaya Allah akan mencintaimu.
Dan zuhudlah dalam perkara-perkara yang disukai manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.

Istilah zuhud sering kali disandingkan dengan istilah wara’. Pengertiannnya secara umum, wara` cenderung untuk menahan diri dari hal-hal yang syubhat. Sementara zuhud, cenderung menahan diri dari hal-hal yang mubah/halal.

Bila dikatakan bersikap wara’ lah, maka maksudnya berhati-hatilah terhadapsesuatu yang belum jelas statusnya, baik makanan, harta maupun perbuatan. Bila dikatakan suhudlah, maka maksudnya kurang lebih, tahan dirilah untuk tidak mengkonsumsi terlalu banyak makanan yang halal misalnya, karena dapat berakibat tidak baik untuk kesehatan, dan sebagainya.

Nah, terkait hadis di atas, alih-alih melakukan banyak amal baik dan ibadah di dunia, jika memang tidak sanggup, cukuplah bersikap zuhud terhadap dunia, maka Allah akan cinta dan ridha kepada hamba. Boleh jadi seseorang punya kelemahan dari segi fisik, atau dari segi harta, atau dari segi semangat untuk beramalnya yang lemah, maka rasulullah menganjurkannya untuk tidak terlalu mengejar kehidupan dunia, baik secara materil maupun moril. Cukup hidup sederhana saja di dunia, sehingga tidak terlalu resah dengan kesulitan yang dihadapi, dan tidak terlalu gembira dengan karunia yang diterima, mungkin begitu ya kira-kira, maklum ini hanya pemahaman saya saja yang dangkal.

Selanjutnya, untuk dicintai manusia, bersikap zuhudlah pada hal-hal yang diperebutkan oleh manusia. Contohnya, ketika banyak yang berebut jabatan, anda mengurungkan diri dari persaingan merebut jabatan tersebut, insya Allah yang semula merasa jadi saingan akan berbaikan dengan anda. Jika yang lain pada rebutan ngambil bantuan atau sembako gratis, anda malah memberikan kuponnya kepada orang lain yang lebih membutuhkan, insya Allah anda akan dicintai oleh orang yang anda berikan kupon bantuan tersebut.

Katakanlah anda dan sekelompok pemuda memperebutkan cinta seorang dara, nah anda mundur dari kompetisi tersebut, maka semua kawan-kawan muda tadi akan sering mentraktir anda untuk curhat misalnya, karena sama sekali tidak dianggap saingan, he...he....he....

Mungkin sederhanya, jika kita punya kelemahan dan kekurangan untuk memenuhi semua permintaan dari manusia, seperti istri dan anak-anak, maka minimal kita tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, sehingga mereka tetap sayang kepada kita, meskipun mungkin ekspresinya berbeda-beda.

Wallahu a’lam, semoga ada manfaatnya.