Senin, Oktober 04, 2010

"Menolak" Baitul Asyi

“SEORANG raja melihat seorang tua bangka yang masih sibuk menanam pohon kelapa, padahal tidak mungkin ia bisa menikmati hasilnya. Si Kakek menjawab keheranan Sang Raja “Saya telah menikmati kelapa yang ditanam oleh kakek dan ayah saya, saat ini saya menanam kelapa yang akan dinikmati oleh anak dan cucu saya”

Penggalan kisah di atas merupakan refleksi kebijaksanaan para endatu kita dahulu dalam memelihara kesinambungan manfaat sumberdaya alam, dari generasi ke generasi. Kebijaksanaan ini memungkinkan kita, generasi yang lahir kemudian untuk menikmati hidup yang lebih nyaman dan bernilai, karena segala sesuatu terkait kebutuhan hidup primer telah dipersiapkan oleh generasi sesebelumnya. Generasi saat ini punya peluang yang lebih besar untuk berinovasi dan membangun budaya masyarakat yang lebih maju dan kompleks.

Kebijaksanaan ini juga tercermin dari tindakan Habib Bugak Asyi yang mewakafkan sebidang tanah dan rumah untuk jamaah haji dan pelajar asal Aceh yang belajar di Mekkah Al-Mukarramah. Berawal dari keprihatinan beliau terhadap akomodasi haji dan kemampuan finansial orang Aceh yang terbatas, Sang Habib berinisiatif untuk menyediakan solusi jangka panjang bagi generasi Aceh di masa mendatang yang akan melaksanakan ibadah haji ataupun menuntut ilmu di Tanah Suci.

Mungkin Habib Bugak bukanlah satu-satunya orang Aceh yang mewakafkan hartanya di Tanah Suci, tapi ia adalah orang yang berpandangan luas dan sangat visioner, karena ‘menyertifikatkan’ wakafnya dengan suatu akad tertulis di hadapan Imam/Pengelola Masjidil Haram. Sehingga harta wakaf itu tetap terpelihara hingga saat ini, bahkan telah berkembang menjadi lebih dari satu lokasi.

Sikap visioner inilah mungkin, yang belum dimiliki oleh sebagian besar orang kaya Aceh yang hendak beramal-jariah bagi bekal mereka di alam barzakh dan alam akhirat. Banyak aset-aset wakaf di Aceh yang tidak dilaporkan, disertifikatkan dan dikelola dengan baik oleh nazir-nazir yang jujur dan profesional. Tanah, ladang atau sawah wakaf banyak yang terbengkalai.

Ironisnya, ketika nilai properti mulai meningkat di Aceh, khususnya pascatsunami Aceh 2004. Anak-cucu dan ahli waris dari si Waqif yang telah meninggal dunia mengklaim kembali tanah wakaf tersebut sebagai hak milik mereka. Tindakan ini tentu saja berakibat buruk bagi si Waqif karena jatah pahalanya telah dirampas oleh anak-cucu yang durhaka, dan juga berdampak buruk bagi masyarakat sekitar yang selama ini memperoleh manfaat dari harta wakaf tersebut.

Terus terang, saya merinding ketika membaca berita di harian lokal tentang palang-memalang tanah sekolah/madrasah, maupun berita perseteruan antara masyarakat kampung dengan ahli waris yang mengklaim harta wakaf. Saya juga merinding, ketika mengetahui banyak masyarakat yang mewakafkan harta miliknya kepada lembaga keagamaan seperti pesantren, tapi kemudian ditelantarkan atau diperlakukan seakan-akan milik pribadi.

Kembali ke kasus Baitul Asyi, sejak beberapa tahun terakhir, jemaah haji asal embarkasi Aceh memperoleh pengembalian manfaat dari pengelolaan tanah wakaf Habib Bugak di Mekkah. Rata-rata setiap jemaah mendapatkan uang sebesar Rp 2.500.000,- sampai dengan Rp3.000.000,-sesuai jumlah jamaah Haji Aceh yang berangkat pada tahun yang bersangkutan. Bila ditotalkan, jumlah uang yang diterima jamaah haji asal Aceh mencapai Rp 16 miliar setiap tahunnya. Sungguh merupakan angka yang fantastis.

Kemana uang ini mengalir? Uang belasan miliar rupiah ini menjadi dana belanja dan mengalir ke kantong-kantong pedagang di Arab Saudi. Ketika hal ini mulai memunculkan kecemburuan jemaah haji dari provinsi lain, dan berimbas pada masalah lain seperti kehilangan uang atau overload belanjaan yang tidak bisa muat di pesawat terbang, uang ini dijadikan surat berharga (cheque) yang bisa dicairkan di bank tertentu di tanah air. Sekali lagi, uang ini hilang lenyap begitu saja di tangan jemaah haji asal Aceh.

Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak salah bagi sebagian orang, tapi bagi sebagian yang lain ini merupakan masalah serius. Pengembalian uang ini merupakan kompensasi karena Baitul Asyi tidak bisa ditempati secara langsung oleh jemaah haji asal Aceh. Tapi apakah ini berpengaruh besar terhadap pelaksanaan haji oleh orang-orang Aceh?

Sejak dahulu, yang melaksanakan ibadah haji adalah orang-orang yang mampu secara finansial, khususnya, sehingga semua kebutuhan akomodasi haji bisa dipenuhi. Terlebih, setelah haji dikelola dengan baik oleh pemerintah (baik belum tentu sempurna) maka semua persoalan akomodasi haji, khususnya pemondokan tidak lagi menjadi masalah yang sangat krusial dalam arti tidak ada jamaah yang tidak memperoleh tempat tinggal selama di Mekkah al-Mukarramah. Maka masih layakkah menerima manfaat atau kompensasi dari Baitul Asyi?

Selaku orang Aceh saya menilai, sebagai orang yang beruntung karena memiliki endatu yang berbudi di masa dahulu, kita patut berterima kasih kepada Habib Bugak Asyi minimal dengan dua cara. Yang pertama, dengan mendoakan kebaikan dan keselamatan baginya di alam barzakh dan di akhirat. Yang kedua, dengan mengikuti teladan baik Habib Bugak Asyi, yaitu mewakafkan kembali ‘uang’ tersebut sekembalinya ke provinsi Aceh yang kita cintai ini.

Masih banyak warga Aceh yang bukan saja tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk berhaji, tapi juga tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memperoleh kehidupan dan kesejahteraan yang layak, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak fasilitas pendidikan yang rusak dan belum bisa diperbaiki di daerah-daerah pedalaman Aceh. Masih ada jembatan ‘gantung’ di Aceh, masih banyak anak-anak yang harus berjalan kaki atau menumpang kendaraan pribadi yang lewat untuk bisa bersekolah, karena sekolahnya jauh dari tempat tinggal.

Bahkan dengan fenomena JKA akhir-akhir ini kita mengetahui, ada begitu banyak orang Aceh yang sakit, sehingga rumah sakit membludak, aparat kesehatan kewalahan, dan persedian obat-obatan juga tidak memadai.

Karena itu, saya mengimbau orang-orang kaya di Aceh untuk kembali berinfak, dengan menolak menggunakan dana Baitul Asyi secara pribadi, tapi mewakafkannya kembali untuk kepentingan masyarakat umum di Aceh, sesuatu yang sesungguhnya menjadi visi dari Habib Bugak Asyi sejak dahulu.

*Tulisan ini juga dimuat pada Rubrik Opini Harian Sermabi Indonesia, 4 Oktober 2010

1 komentar:

  1. klau di perjanjian wakaf sudah di sebut untuk jemaah tidak bisa di ganggu gugat.justru slah klau tidak seperti yg tertulis bahwa wakaf untuk siapa

    BalasHapus