Sebagai ajaran hidup universal dan berlaku sepanjang
zaman, dalam Islam ditetapkan beberapa kewajiban dan beberapa larangan. Di luar
kewajiban dan larangan tersebut merupakan wilayah ijtihad yang sangat luas bagi
umatnya, baik di bidang hukum, politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain.
Jika merujuk ke hadis yang diriwayatkan dari Abi
Tsa`labah Al-Khusyani, yakni sahabat Jursum bin Nasyib, maka beragama
sesungguhnya sangat sederhana sekali.
Beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
إنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ
فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ
فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ
فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا
Yang artinya kurang lebih :
Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban,
maka janganlah kamu remehkan. Allah telah menetapkan beberapa batasan, maka
janganlah kamu langgara. Allah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah mendekatinya.
Allah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa,
maka janganlah membahasnya.
Kewajiban-kewajiban seperti shalat, zakat, puasa dan
lainnya harus dilaksanakan oleh semua orang Islam yang mukallaf. Mukallaf maksudnya,
sehat jiwanya, dan sudah dianggap sebagai manusia dewasa, disebut juga balig,
bukan lagi anak-anak.
Untuk hudud, atau serangkaian aturan hukum yang telah
ditetapkan Allah, tidak berlaku ijtihad di dalamnya. Semuanya mesti dilakukan
dan dilaksanakan secara presisi, sesuai ketentuan Allah yang termaktub dalam
Alquran dan hadis Nabi Saw.
Perkara yang haram harus dijauhi oleh orang beriman, baik
masih kanak-kanak maupun sudah dewasa. Dalam hal ini peran orang dewasa dalam
menjaga keluarganya, dan peran pemerintah dalam menjaga masyarakatnya dari
perkara yang haram sangat penting. Dari sinilah kita melihat urgensi politik
bagi umat islam, guna melindungi umat dari perkara-perkara yang haram.
Salah satu institusi politik adalah pengadilan, yang
berwenang untuk menjalankan hudud. Artinya hudud tidak mungkin dilakukan tanpa
kapasitas politik yang memadai.
Terkait poin yang terakhir, perlu sedikit diskusi,
mengingat di dalam Alquran ada pernyataan yang senada, yaitu selain yang halal
dan yang haram adalah mutasyabihat, apakah yang dimaksudkan dalam hadis ini
juga mutasyabihat?
Menurut hemat saya, baik ayat maupun hadis ini saling
melengkapi. Perkara-perkara yang sudah dijelaskan adalah 1) kewajiban, 2) hudud,
3) larangan. Semua hal yang tidak masuk kedalam tiga hal di atas masuk dalam
kategori halal, menurut saya. Ini yang mungkin maksudnya tidak perlu di bahas.
Namun dalam kehidupan, manusia memiliki akal dan naluri
untuk menilai mana yang baik dan yang buruk, yang belum ada penjelasan rincinya
di dalam Alquran dan hadis. Hal-hal yang secara mudah dapat dikenali sebagai yang
baik, maka masuk dalam kategori halal/mubah. Akan tetapi, hal-hal lainnya yang
tidak bisa dinalar dengan mudah oleh orang awam dan perlu penelitian oleh
orang-orang yang kompeten di bidangnya, masuk dalam kategori mutasyabihat.
Nah, lalu yang tidak perlu dibahas yang mana?menurut
saya, maksud hadis ini antara lain sebagai berikut :
Yang pertama, tidak mempertanyakan kenapa Allah tidak
mengaturnya, karena ini semua adalah hak Allah.
Yang kedua, mungkin yang dimaksud adalah perkara-perkara
yang sudah jelas kedudukan halalnya, tidak perlu lagi dibahas lebih lanjut,
karena masih banyak hal lain yang perlu mendapat perhatian.
Yang ketiga, tidak menjadikan hal-hal sepele sebagai
sesuatu yang dibincangkan dan dibahas berlarut-larut, sehingga memakan waktu,
emosi, dan bisa menyebabkan perpecahan umat.
Yang keempat, di luar ketentuan fardhu, hudud dan haram,
adalah lingkup ijitihad yang boleh saja antara satu orang dengan lainnya
berbeda pandangan, tidak perlu sampai diributkan, karena Allah tidak melupakan,
justru keluasan dan perbedaan tersebut dimaksudkan sebagai rahmat bagi
hamba-hamba-Nya.
Kelima, hanya Allah dan rasul-Nya saja yang mengetahui,
wallahu a`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar