Senin, November 12, 2012

Mewujudkan Beut Yang Realistis

Sejak pertama kali dicetuskan oleh Menteri Agama RI di awal tahun 2011, Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji telah disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan, khususnya pemerintah daerah di beberapa wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di Aceh. Tercatat pada bulan Juli 2011, di Masjid Raya Baiturrahman,  Menteri Agama RI, Suryadharma Ali mendeklarasikan Gerakan Magrib Mengaji bersama Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf. Dan pada kamis (8/11), gerakan yang sama dicanangkan kembali oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah di Jantho, Aceh Besar.

Program Beut  Al-Quran Ba’da Magrib (BABM) yang digagas oleh Bupati Aceh Besar, Mukhlis Basyah, dinilai oleh Gubernur sebagai salah satu upaya menutupi kekosongan dakwah yang kemungkinan besar menjadi salah satu jalan masuk bagi maraknya aliran sesat di Aceh akhir-akhir ini.  Masih menurut Gubernur, program ini juga merupakan manifestasi kepedulian pemerintah di Aceh atas nyaris hilangnya kearifan lokal masyarakat yang selama ini diwariskan turun temurun, yaitu aktifitas mengaji setelah magrib. Untuk itu, Gubernur berharap program serupa bisa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota di daerah lainnya.

Bupati Aceh Besar menjelaskan bahwa program BABM ini akan dilaksanakan di seluruh gampong di wilayah Aceh Besar, dimulai sejak selesai Shalat Magrib berjamaah dan berakhir setelah pelaksanaan Shalat Isya berjamaah, dipusatkan di meunasah dan balai pengajian yang ada di gampong-gampong, pesertanya adalah anak usia 6 hingga 15 tahun. Tujuan dari program ini adalah untuk membebaskan buta aksara al-Quran bagi masyarakat di wilayah Aceh Besar, sekaligus untuk menanamkan kecintaan terhadap al-Quran, dan pemahaman dasar-dasar keaagamaan yang akan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam pelaksanaan program Beut Ba’da Magrib ini. Pertama, sejak awal dicanangkan oleh Menteri Agama, gerakan mengaji bakda magrib terkesan sebagai gerakan emosional, dimana romantisme masa lalu dianggap memiliki khasiat untuk mengatasi krisis masa kini. Padahal, budaya masala lalu dan masa kini jauh berbeda. Keterbatasan listrik, sarana informasi, dan alat transportasi pada dua dekade yang lalu membentuk pola hidup masyarakat yang cenderung mengikuti jam matahari.

Aktifitas dimulai saat matahari terbit dan berakhir menjelang matahari terbenam. Orang-orang tua, anak-anak, bahkan hewan ternak sudah harus pulang sebelum waktu magrib tiba. Mobilisasi masyarakat rendah dan terbatas pada tempat-tempat yang mudah dijangkau dari tempat tinggalnya, seperti meunasah dan balee beut. Dalam kondisi seperti ini, adalah masuk akal untuk mengisi waktu antara Magrib dan Isya dengan kegiatan mengaji al-Quran, membaca dalail khairat dan lain-lain. Perlu dicatat juga bahwa program televisi saat itu masih sangat terbatas, baik dari segi pilihan acara maupun channel yang bisa diakses dengan antenna UHF/VHF, hanya beberapa rumah saja yang punya parabola.

Kondisi hari ini tentu berbeda, aktifitas masyarakat tidak lagi berpedoman pada jam matahari, mobilitas masyarakat tidak lagi hanya antara peukan dan meunasah, demikian juga pengaruh sarana hiburan yang tidak lagi terbatas waktu dan media, menyebabkan model beut bakda magrib tidak lagi popular, bukan hanya di kota-kota, tapi juga di kampung-kampung. Karena itu, penulis menilai pengkhususan waktu magrib sebagai waktu belajar dan mengajar al-Quran untuk kondisi hari ini tidaklah tepat dan realistis. Permasalahan yang akan dihadapi di lapangan nantinya bukan hanya keengganan dari anak-anak yang merasa program ini sebagai beban tabahan, tapi juga keterbatasan waktu dari para orang tua untuk mengontrol jalannya program ini pada waktu magrib, mengingat banyak orang tua yang bahkan baru pulang ke rumah setelah magrib karena padatnya aktifitas.

Menurut hemat penulis, program pendidikan diniyah yang dilaksanakan Pemerintah Kota Banda Aceh secara integral dengan pendidikan sekolah di siang hari justru lebih tepat. Materi al-Quran dan kajian keagamaan dilebur dalam jadwal pelajaran resmi sekolah, sehingga tidak terkesan sebagai materi tambahan oleh para siswa, meskipun diajarkan oleh guru khusus yang berbeda. Di luar sekolah, anak-anak masih memiliki waktu untuk bermain, mengerjakan tugas-tugas PR dan aktifitas lainnya.  Pelaksanaan program juga lebih mudah terkontrol oleh guru, kepala sekolah, pengawas dan aparatur pemerintah lainnya karena berlangsung dalam jam dinas yang normal.

Kedua, terkait dengan misi penanggulangan aliran sesat di Aceh. Menurut hemat penulis, fenomena maraknya aliran sesat bukan disebabkan oleh kekosongan dakwah semata-mata, apa lagi karena waktu antara magrib dan isya tidak digunakan untuk mengaji. Justru yang menjadi masalah adalah adanya kekosongan paradigma dalam dakwah dan pendidikan agama di Provinsi Aceh, yaitu paradigm bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, shalihun li kulli zaman wa makan.

Dakwah dan pendidikan agama yang berkembang di Aceh selama ini cenderung ekslusif dan menutup diri terhadap berbagai corak dalam khazanah islam, baik akidah, fiqh, maupun tasawuf. Sikap eksklusif yang diusung oleh sebagian tokoh agama atau lembaga pendidikan, menjadikan Islam Aceh sangat spesifik dan anti terhadap perbedaan. Kondisi ini, di satu sisi melahirkan sikap mudah menuduh bid’ah dan sesat atas perbedaan. Di sisi lain, generasi muda Islam Aceh yang sudah akrab dengan teknologi dan media informasi merasa ada bagian Islam yang ditutup-tupi dari mereka, sehingga Islam terasa sempit dan tidak bisa menjawab persoalan-persoalan kekinian. Dalam kondisi seperti ini, sejumlah pemuda mencari alternatif pemahaman Islam dari ‘sumber luar’ yang boleh jadi, karena keterbatasan tertentu, kemudian terjebak oleh kelompok-kelompok yang secara sistematis hendak merusak generasi muda Islam melalui berbagai corak aliran sempalan.

Jadi, dari segi materi beut yang hendak disajikan, juga perlu adanya penguatan paradigma yang memungkinkan Islam dilihat secara universal, bukan sekedar Islam ala Aceh, ala dayah, atau ala syafi’iyah semata. Karena Islam tidak diturunkan kepada komunitas tertentu saja, tapi kepada seluruh umat manusia, hingga akhir zaman.

Yang ketiga, terkait dengan keterlibatan pemerintah dalam pembinaan kehidupan umat beragama. Pemerintah semestinya berperan dalam porsi yang sesuai dan tidak merusak kemandirian masyarakat dan keluarga dalam pendidikan keagamaan. Pendidikan agama terhadap generasi muda adalah tanggung jawab langsung keluarga dan masyarakatnya. Campur tangan pemerintah bisa menyebabkan masyarakat dan keluarga menjadi manja dan kurang peduli dengan tanggungjawabnya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan program beasiswa miskin yang bukannya meningkatkan mutu pendidikan, tapi justru menjauhkan orangtua dari tanggungjawabnya terhadap pendidikan anak-anaknya.

Di lain pihak, program ini akan membebani anggaran pemerintah daerah yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk program pemberdayaan ekonomi dan pembangunan infrastruktur bagi kesejahteraan masyarakat. Peran aktif pemerintah, menurut hemat penulis, semestinya sebatas memfasilitasi , mensupport dan memotivasi gairah kehidupan dan kajian keislaman di dalam masyarakat.

Beberapa program misalnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan menggalakkan perlombaan dan festival keagamaan pada setiap hari-hari bersejarah Islam. Dengan adanya lomba dan festival keagamaan secara teratur, secara tidak langsung akan mendorong masyarakat dan keluarga untuk mendidik anak-anaknya untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman yang akan berpengaruh pada kualitas pemahaman dan penagamalan nilai keagamaan.

Program lainnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghadirkan para ulama-ulama terkemuka dari pusat-pusat studi Islam di dunia ke Provinsi Aceh untuk membagi ilmunya dengan para tokoh agama dan ulama di Aceh, sehingga bisa terjalin komunikasi yang lebih baik dan pemahaman keagamaan yang utuh dalam atmosfir keacehan. Saya kira, program ini jauh lebih efektif, efisien dan terkontrol ketimbang memberikan beasiswa kepada  beberapa orang Aceh untuk belajar ke luar negeri.

Akhirnya, kita berharap perhatian serius Pemerintah Aceh dan para Bupati / Walikota dengan Program Beut Bakda Magrib dan yang semisalnya bukan sekedar program simbolis semata, melainkan sebuah upaya menjalankan amanah yang dititipkan Allah kepada mereka, yang tentunya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar