Minggu, April 01, 2012

Tentang Sikap Tegas, Toleran dan Fanatik

Salah satu faktor yang berberan penting dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat adalah sikap tegas, toleran dan fanatik, khususnya du lingkungan yng heterogen, baik budaya, agama, kemampuan ekonomi, partai politik dan lain-lain.

Secara ringkas saya menilai bahwa ketiga sikap tersebut semestinya dimiliki oleh elemen tertentu dalam masyarakat. Nah, ketika sikap tersebut tidak berada pada elemen yang tepat dari suatu masyarakat, maka yang terjadi adalah kekacauan dan permasalahan sosial yang tidak habis-habisnya. Dalam konteks ini, ketiga sikap di atas, baik tegas, toleran dan fanatik harus dimaknai secara positif sebagai salah satu atribut dari dinamika kehidupan masyarakat, tampa ketiga sikap tersebut tentu tidak bisa dibayangkan bagaimana hambarnya kehidupan ini.

Merujuk kepada sejarah kehidupan Rasulullah dan para sahabtanya yang mulia, mereka rata-rata dalah orang yang tegas dan memegang prinsip secara pribadi, khususnya dalah hal Praktik Keagamaan dan juga sikap politik.

Rumusan sederhananya, makin tinggi posisi strukturalnya di dalam masyarakat dan agama, maka sikap mereka semakin tegas, sebaliknya semakin kebawah, sikap mereka menjadi semakin toleran.

Kondisi ini bisa dilihat misalnya dari Pribadi Nabi sendiri yang sangat disiplin dalam menjaga ibadah ritualnya secara pribadi, namun memberi kelonggaran kepada para sahabat da ummatnya. Nabi bersikap tegas terhadap keluarganya dalam pelaksanaan hukum agama, bahkan mengancam akan memotong tangan putrinya sendiri bila putrinya melakukan pelanggaran mencuri misalnya, tapi nabi bersikap lunak kepada orang lain yang mengadu dan mengakui kesalahannya untuk bertaubat dan tidak mengulanginya pada lain kesempatan.

Demikian pula halnya pada diri para sahabat. Abubakar misalnya, bersikap keras bagi dirinya sendiri dan keluarganya dalam soal ekonomi (bersikap zuhud di dunia) seperti menyedekahkan seluruh kekayaannya di jalan Allah, dan meminta bendahara negara memotong gajinya sebagai khalifah karena istrinya masih bisa menyisakan uang belanja. Di saat yang sama, beliau tidak menuntut demikian keras bagi yang lainnya.

Umar misalnya juga mengancam akan menghukum 2 kali lipat anggota keluarganya yang melakukan pelanggaran, ketika pada saat yang sama hanya memberikan hukuman setimpal bagi yang lain, malah dalam beberapa kasus pencurian yang dilakukan orang miskin, Umar bahkan tidak menghukumnya dengan hukuman normal.

Atau sikapnya yang menolak shalat di gereja kristen saat pasukan muslim menaklukkan palestina, alasannya dia takut perbuatannya tersebut akan menjadi alasan yang disalahpahami oleh orang-orang yang datang kemudian.

Dalam Alquan sendiri dijelaskan tentang keluarga Nabi, khususnya para istri Nabi, Ummahatul Mukminin yang mulia dan terjaga kesuciannya. Mereka diancam dengan dosa dua kali lipat bila melakukan pelanggaran, sebaliknya akan memperoleh ganjaran pahala yang berlipat pula bila mereka menyampaikan kebenaran dan memelihara kesucian diri. Juga dalam kasus hukuman cambuk bagi orang merdeka dan para budak, para budak hanya dikenai hukuman setengah dari orang merdeka.

Dari contoh-contoh di atas, secara sederhana bisa dimaknai bahwa model yang ideal di dalam masyarakat adalah sikap tegas dan berprisnip dari para pemimpin dan pada saat yang sama sikap toleran terhadap masyarakat awam dan sesama mereka.

Kenapa para pemuka harus bersikap tegas, sedangkan masyarakat biasa boleh bersikap toleran? Para pemimpin dan pemuka adalah orang-orang pilihan, mereka memiliki ilmu dan kapasitas yang lebih dibandingkan manusia secara rata-rata, mereka adalah teladan, kontrol sosial serta rujukan mencari kebijaksanaan dan kebenaran. Sebaliknya, masyarakat awam tidaklah memiliki ilmu dan kapasitas seperti para pemuka agama dan tokoh masyarakatnya, keterbatasan mereka juga disebabkan oleh aktifitas mereka sehari-hari yang cenderung berkarakter pribadi dan kelompok, sehingga perbedaan nilai dan sudut pandang di antara mereka menjadi sangat beragam sekali, tanpa sikap toleran tentu akan terjadi banyak perselisihan di dalam masyarakat awam ini.

Realitas hari ini adalah kebalikan dari teori di atas. Yang bersikap toleran justru para pemimpin agama dan pemuka masyarakat, sehingga mereka terkesan plin-plan dan cenderung terperosok dalam berbagai pelanggaran. Sebaliknya, masyarakat awam mengunci nilai-nilai mereka yang terbatas dalam sikap fanatik antara satu dengan lainnya, sehingga rawan sekali berselisih, bukan hanya dengan suku atau agama yang berbeda, tapi juga saudara seiman atah bahkan yang masih satu keluarga. Apakah ini bagian dari fenomena akhir zaman?

Apakah sikap tegas para pemimpin malah bisa memicu konflik dalam kapasitas yang lebih besar?

Hari ini kita hidup dalam dunia yang miskin keteladan, semua hubungan dan relasi cenderung terjadi dalam suatu arus pendek yang reflek jika dibaratkan dengan sambungan listrik. Makanya banyak hal tampak sebagai sesuatu yang tidak relevan atau tidak nyambung dengan berbagai hal lainnya dalam kehidupan ini.

Alih-alih berfilsafat sosial lebih jauh, saya menyarankan kita semua untuk mengkaji kembali kisah-kisah orang-orang besar dari masa lalu, para nabi dan sahabat, para pejuang dan pahlawan baik dari buku-buku sejarah, maupun hadis dan kitab suci. Kita perlu menghadirkan kembali semangat orang-orang masa lalu yang tercerahkan dan mendapat pengakuan dari Allah SWT.

Pada saat yang sama, kita juga harus kritis mengukur produk budaya kita dengan produk budaya masa lalu, apakah sudah konsisten dengan lompatan waktu yang sudah kita lalui. Tidak salah bangga da cinta pada produk budaya masal lalu, tapi bila budaya masa kini tidak menghasilkan apa-apa yang lebih baik, artinya kita tidaklah berbudaya sama sekali.

Wallahua'lam, selamat menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, amin...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar