Senin, Februari 02, 2009

Golput Juga Pilihan Politik


Golput (golongan putih) berarti orang-orang yang tidak memberikan suara kepada partai politik tertentu atau calon pemimpin tertentu. Golput dapat bermakna netralitas, namun juga merupakan simbol oposisi dan pemberontakan yang paling nyata terhadap sistem yang sedang berlaku di negara kita.

Oposisi dan pemberontakan ini bisa disebabkan karena kesalahan sistem, atau kerena adanya deviasi sistem terhadap perkembangan politik modern, atau kerena masyarakat telah kehilangan kepercayaannya terhadap sistem politik yang berlaku selama ini.

Secara pribadi, saya adalah salah seorang golput dalam pengertian di atas. Kebingunan kita terhadap sikap dan tingkah polah para pemimpin, awalnya mendorong kita sebagai kelompok yang netral, tidak memihak dan menerima setiap keputusan politik yang diambil oleh para ‘pemenang’.

Ketidakpuasan kita terhadap putusan-putusan politik yang diambil para penguasa mendorong kita untuk menolak dan melakukan oposisi, meskipun hanya sekedar protesan dan omelan di warung dan kamar mandi.

Keterbatasan-keterbatasan kita sebagai rakyat kecil dalam memberikan opini-opini dan masukan kepada pihak berkuasa, serta ketidaksetujuan-ketidaksetujuan kita terhadap kebijakan-kebijakan yang tanpaknya seperti ‘menjajah’ atau ‘memenjarakan’, mendorong kita untuk menolak (kalau bukan berontak) dengan cara yang paling aman dan mudah, yaitu menjadi golput dalam setiap pemilu yang berlangsung di negara ini.

Bila kemudian sebahagian agamawan menveto haram terhadap pilihan politik ini, maka kita balik bertanya, sudahkan sistem politik kita mengakomodasi ajaran-ajaran agama sejara jujur? Atau malah menjadikan agama sebagai ‘sapu tangan’ terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang.

Bila para pemimpin takut kehilangan lagalitas dan suara, maka kita bertanya, dimana legalitas ketika kecurangan-kecurangan dan penipuan-penipuan dilakukan? Diamana suara-suara kebenaran diendapkan dan dibungkam?

Bila dulu, ada hadis yang menyatakan diam sebagai persetujuan, maka persetujuan itu dengan muka yang memerah karena malu, dan senyum karena senang. Sekarang, kita diam karena kita tidak setuju, dan suara kita tidak berarti. Diam kita dengan wajah yang menghitam dan bibir yang terkatup. Hanya hembusan dan tarikan nafas yang menandakan bahwa kami masih hidup dalam kezaliman di negeri sendiri.

Maka, bila golput juga dilarang, izinkan kami untuk menyatakan sikap dalam bentuk yang lain. Siap…………?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar