Senin, Februari 02, 2009

Beragama Secara Aktual

Secara faktual, ada dua model bagi seseorang yang beragama. Yang pertama, agama sebagai warisan dan budaya masyarakatnya, dan yang kedua, agama sebagai suatu hasil pencarian.

Secara umum, model pertama sangat umum dalam masyarakat kita, karenanya, pembelajaran agama pada saat yang sama adalah pembelajaran budaya. Namun, pada saat sumber pembelajaran budaya menjadi lebih variatif dan tidak berpadu lagi dengan pembelajaran keagamaan, maka agama menjadi asing dalam budaya masyarakat. Dalam keterasingannya, pewarisan agama secara tradisional, yaitu doktrin lisan yang sepihak, melahirkan fanatisitas-fanatisitas yang pada saat berbenturan dengan persoalan-persoalan kekinian akan melahirkan pertanyaan tentang aktualitas dan kompatibalitas agama dalam kehidupan kekinian.

Pertanyaan-pertanyaan di atas kemungkinan akan ditanggapi dalam tiga sikap. Pertama, oleh masyarakat awam, fenomena ini akan diabaikan dalam keadaan tetap menjalankan ajaran-ajaran keagamaan yang diketahuinya, atau akan ditinggalkan karena kuatnya kecendrungan untuk menjalani kehidupan dalam budaya baru yang dianggap lebih sesuai.

Kedua, oleh orang-orang yang bersikukuh dengan tradisi keagamaan, mereka menarik diri dalam suatu fanatisitas dan perlawanan terhadap konsep-konsep dan nilai baru yang muncul akibat adanya perubahan-perubahan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Ketiga, oleh orang-orang yang kritis dalam beragama, mereka akan melakukan pengujian kembali terhadap nilai-nilai dan ajaran agama yang selama ini dianutnya. Penyelidikannya ini akan membawanya kepada pertanyaan-pertanyaan tentang sumber agama, sejarah agama, validitas agama, dan juga tentang reabilitas agama dalam menghadapi tantangan akibat perubahan zaman. Kelompok yang terakhir ini adalah mereka yang beragama dengan model yang kedua.

Dalam perjalanan sejarah, pengabaian terhadap fenomena-fenomena keagamaan pada akhirnya menyebabkan agama hilang dengan sendirinya dan berganti dengan aktifitas-aktifitas baru yang sama sekali bukan agama, atau dianggap sebagai agama.

Demikian pula halnya dangan sikap fanatis dalam beragama pada akhirnya akan menimbulkan faksi-faksi yang saling berbeda dalam menunjukkan keberagamaannya, sedemikian rupa sehingga masing-masing mengangap sesat kelompok lainnya dan berusaha untuk menunjukan ibadah-ibadah yang berbeda sebagai bentuk identitas masing-masing. Sikap ini pada akhirnya akan membawa setiap kelompok itu pada penyimpangan-penyimpangan dari agama aslinya, baik disadari maupun tidak. Contohnya adalah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam agama-agama samawi sebelum ditusnya Nabi Muhammad SAW.

Sejarah juga membuktikan, bahwa sikap kritis dalam beragama juga akan membawa manusia kepada dua kemungkinan, yaitu mendeklarasikan agama baru atau menemukan kebenaran yang aktual dari agamanya, untuk kemudian diamalkan dan didakwahkan.

Persoalan ini sangat ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki oleh sang mujtahid dalam melakukan penyelidikannya dan ketersedian informasi serta bukti-bukti yang ditinggalkan oleh pendahulunya. Keterbatasan-keterbatasan informasi, serta bukti-bukti keagamaan yang ditinggalkan oleh agama-agama diluar Islam telah mengantarkan mujtahid-mujtahid mereka pada keragu-raguan. Pada saat yang sama, banyak diantara mujtahid kaum muslimin yang terjebak oleh metodologinya masing-masing dalam memahami kebenaran, yang pada akhirnya melahirkan fanatisme-fanatisme baru dalam beragama.

Padahal, ada dua persoalan penting yang patut menjadi catatan bagi mujtahid-mujtahid muda, baik berijtihad untuk dirinya sendiri atau untuk komunitas yang lebih luas. Yang pertama, fitnah-fitnah yang telah tersebar diantara kaum muslimin dan pemimpin-pemimpin mereka sejak lama. Dan yang kedua, adanya keragaman budaya, kultur dan pola pikir diantara kaum muslimin di seluruh dunia.

Fitnah-fitnah yang tersebar di kalangan kaum muslimin telah menyebabkan perselisihan dan perpecahan mereka kedalam kelompok-kelompok yang saling mencurigai dan menyalahkan. Pada saat yang sama, pegangan setiap kelompok adalah Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Untuk itu, ijtihad kita hendaknya tidak menambahkan fitnah baru ke dalam kehidupan kaum muslimin, sebaliknya, kita perlu mengklarifikasi point-point penting yang telah dipahami secara tidak tepat selama ini.

Demikian pula halnya dengan keragaman budaya, kultur, dan pola piker umat Islam di seluruh dunia. Keragaman ini tentunya berpengaruh pula terhadap corak keberagamaan mereka di tempat-tempat yang berbeda.

Dan yang penting pula untuk disadari adalah, bahwa beragama adalah suatu proses yang dimulai
sejak manusia dilahirkan keduania hingga akhir hayatnya. Artinya kapasitias dan kualitas keberagamaan seseorang juga bersifat progresif seiring dengan pertambahan umur, ilmu, wawasan dan pengalaman ruhaninya. Beragama juga bersifat fluktuatif, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang. Jadi, kita tidak bisa mengambil kesimpulan terhadap keberagamaan seseorang berdasarkan pengamatan sekilas dan terbatas.

Yang paling penting adalah, bagaimana mengaktualisasikan ‘kepingan-kepingan agama’ yang telah kita temukan dalam pencaharian panjang ini dalam kehidupan kita yang masih tersisa. Dan bila kita telah meyakini kebenarannya dengan sungguh-sungguh, maka kita berkewajiban membimbing saudara-saudara kita untuk memahami kebenaran dan merasakan kelezatan beragama sesuai dengan kualitasnya masing-masing, bukan dengan mendikte atau memvonis kealpaan-kealpaan mereka.

Beragama secara aktual juga berarti kita merasakan kehadiran Allah dalam pengalaman kita sehari-hari, karena tanpa kehadiran (mungkin tepatnya adalah kesadaran akan kehadiran) Allah, agama kita menjadi kering dan menjadi rutinitas-rutinaitas yang melelahkan dan membosankan. ‘Kekeringan’ ini akan menimbulkan kesan sempit dan tertekan, sehingga besar kemungkinan agama ini juga akan ditinggalkan.

Beragama secara aktual juga berarti kritis terhadap kualitas keagamaan kita sendiri. Setiap muslim seharusnya mengevaluasi dirinya sendiri dalam menjalankan agama, sehingga bisa mencapai kualitas-kualitas yang lebih baik. Karena stagnasi kualitas keberagamaan juga berarti keausan dan keterbelakangan bila dihadapkan pada relatifitas waktu dan keadaan. Selamat beragama dengan lebih baik, wallahu must’an ‘ala kulli khair…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar