Asumsi
malaikat ini tampaknya mulai menjadi kesedaran kolektif kita semua, bahwa
setiap harinya sumberdaya alam dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan
multinasional tanpa menghiraukan dampak jangka panjang bagi kelangsungan hidup
manusia dan kestabilan struktur lingkungan hidup. Bahkan, demi memelihara
keuntungan dan domiasi sekelompok kecil manusia terhadap sebahagian besar
manusia lainnya, konflik direncanakan secara sistematis sebagai sebuah
sekenario makro ekonomi.
Di beberapa
tempat, teori ekonmi yang awalnya mendiskusikan tentang ketersediaan, kebutuhan
dan distribusi, dalam praktiknya kemudian berubah menjadi perang saudara dan
invansi, di beberapa tempat melahirkan perbudakan, dan di tempat lainnya,
mungkin juga di tempat kita, mewujud dalam bentuk ketergantungan atau kecanduan
terhadap BBM misalnya dengan segala dampak dan konsekuensi.
Prilaku
ekonomi masyarakat menjadi tidak sehat, mulai dari konsumen rokok, pengecer
minyak, distributor pakaian, hingga produsen elektronik sebagai representasi
pelaku ekonomi, senantiasa berorientasi pada keuntungan dan dominasi. Terjadilah
proses ‘makan-memakan’ secara bertingkat, yang mulanya hanya sekedar mencari
laba dan kepuasan, mulai terasa menggerus kemerdekaan dan kemanusiaan.
Pada level
tertentu, karena berbagai keterbatasan, transaksi ekonomi berubah menjadi
tindak kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman. Bagi kelompok yang lebih lemah,
subjek ekonomi berubah menjadi objek, dengan menjual diri: menjual kejujuran,
menjual keadilan, menjual kehormatan, menjuala persaudaraan, menjual
kemerdekaan dan kemanusiaan. Bahkan Alquran mensinyalir bahwa agama juga
dijadikan komoditi ekonomi yang menguntungkan (lihat misalnya QS. Al-Baqarah:
174).
Lalu,
apakah pengetahuan malaikat hanya terbatas pada skenario kehancuran umat
manusia saja, atau mereka juga mengetahui solusinya. Dengan rendah hati,
makhluk samawi yang dalam beberapa kesempatan direkomenasikan oleh al-Ghazali
utuk kita contoh akhlaknya, mengakui bahwa pengetahuan mereka juga terbatas,
sebatas yang Allah izinkan bagi mereka (QS. Al-Baqarah: 32).
Pertanyaan
lebih lanjut, adakah solusi untuk meringankan masalah ekonomi dan kemanusiaan
hari ini, minimal kita bisa meyakinkan diri sendiri bahwa anak dan cucu kita
masih akan mewarisi bumi dalam keadaan yang sehat lahir dan batin.
Saya
katakan minimal dan meringankan, karena selaku manusia ilmu saya sangat
terbatas. Meskipun Allah membekali manusia dengan petunjuk wahyu, lagi-lagi
pada tataran kemanusiaan wahyu bisa dipahami beragam, baik sebagai solusi,
mimpi, atau justru sebagai motivasi untuk membiarkan kemanusiaan sekarat dengan
sendirinya.
Dalam
kondisi ekonomi saat ini yang saling terkait satu sama lain, dan dipengaruhi
oleh kebijakan-kebijakan yang tidak kasat mata dari berbagai elemen yang
berkepentingan secara makro, saya melihat ada satu ‘gerakan” yang bisa
dilakukan untuk mengerem laju kebuasan pelaku ekonomi, yaitu puasa.
Sebelum
mewajibkan puasa formal kepada orang-orang beriman, Allah menegaskan terlebih
dahulu bahwa puasa adalah praktik yang sudah dijalani oleh umat-umat sebelumnya
(lihat QS. Al-Baqarah: 183). Secara lahiriah, ibadah puasa dilakukan dengan
mengurangi konsumsi, khususnya tidak makan dan minum sejak terbit matahari
hingga tenggelamnya. Jika rata-rata manusia mengkonsumsi makanan dan minuman
tiga kali sehari, plus snack dua kali misalnya setiap hari, maka dalam bulan
Ramadhan, seorang muslim sudah melakukan penghematan 30 kali makan siang dan 30
kali snack yang berpengaruh langsung pada efisiensi pengeluaran bulanannya.
Dan bila dilakukan
dengan konsisten, praktik puasa ini bisa mempengaruhi prilaku pasar dan
kegiatan ekonomi, yang sebelumnya menggebu-gebu mengejar keuntungan dan dominasi
menjadi lebih terkendali, karena sebagian pelaku ekonomi bersikap menahan diri.
Karena
puasa masih dipahami secara formal sebagai suatu ibadah tunggal, maka yang
terjadi selama ini, justru selama Ramadhan dan sekitarnya terjadi lonjakan
inflasi, harga barang naik, konsumsi meningkat, dan praktik-praktik kotor dalam
ekonomi justru menemukan momentumnya.
Bila
menilik kembali perintah puasa, gol ketakwaan sepertinya tidak bisa dicapai
hanya dengan menjalankan puasa formal semata. Dibutuhkan lebih dari sekedar
menahan lapar dan haus selama lebih kurang 12 jam setiap harinya untuk mencapai
level takwa secara kolektif yang memberi pengaruh positif pada prilaku ekonomi
masyarakat, yang pada gilirannya akan menyelamatkan umat manusia dari ‘ramalan
sementara’ para malaikat.
Pelaku
ekonomi, baik yang besar maupun yang kecil, harus mampu juga menahan egonya
untuk meraih keutungan dan dominasi pribadi maupun kelompok, baik di bulan
ramadhan maupun di luar bulan ramadhan. Mereka perlu membagi sedikit profit
dengan lingkungannya (seperti zakat dan sedekah), mereka juga perlu membangun
hubungan sosial dengan kelas ekonomi yang berbeda di luar hubungan transaksi
sehingga terbangun sentimen sosial yang positif (seperti silaturrahim, shalat
jamaah).
Dan yang
paling menentukan adalah bersikap adil, baik pada diri sendiri, orang lain,
maupun keluarga. Jika ada jalan pintas menuju ketakwaan sosial dan kolektif, menurut
saya adalah dengan bertindak adil itu, bahkan mungkin lebih dekat dibandingkan
ibadah shalat, zakat dan puasa secara formal (lihat QS. Al-Maidah :8).
Karena sikap
adil adalah representasi yang paling diharapkan dari seseorang yang mampu
melatih jiwanya melalui puasa (menahan diri), shalat (taat aturan, disiplin)
dan zakat (bersedia berbagi dengan sesama manusia).
Ketakwaan kolektif itu akan
lebih sempurna saya rasa, bila karakter utama yang dicapai melalui ibadah haji
itu dapat direalisasikan dengan benar, yaitu kerelaan mengorbankan ego kita
untuk kepentingan orang lain. Menurut saya, salah satu alasan kenapa ibadah
haji dibatasi hanya kepada yang mampu menempuh perjalanan, dikarenakan tujuan
haji yang paling penting bukanlah melakukan perjalanannya itu sendiri, tapi
mencapai sasaran tertinggi melalui kesediaan memberi kesempatan kepada orang
lain untuk sama-sama berhasil, sama-sama sukses, sama-sama bertakwa, sehingga
ada istilah pahala haji bagi mereka yang tidak ke tanah suci.