Kamis, Desember 15, 2011

Integritas Moral Orang Beragama

Dalam rangka menyambut semangat Kementerian Agama untuk menjadi lebih bersih dari KKN di Hari Jadi-nya yang ke 66 pada 3 Januari 2011 mendatang, saya rasa tulisan sahabat saya ust. Jabbar Sabil berikut ini patut menjadi catatan bagi siapa saja yang ingin menjadi aparatur yang lebih baik di masa mendatang.
Judul Aslinya "Korupsi" Penafsiran Surat Ali Imran ayat 161, dalam hal ini saya ganti dengan "Gratifikasi?." Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.

GRATIFIKASI? Penafsiran QS.Ali Imran: 161


وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran [3]: 161)

Ayat di atas menjelaskan tentang ghulul, yaitu berkhianat dalam hal harta ganimah (rampasan perang) dengan cara mengambilnya sebelum dibagi. Menurut Ibn ’Abbas, ayat ini turun seusai perang Badar yang meletus pada 17 Ramadhan tahun 2 H. Diriwayatkan selembar beludru merah hilang dari perbendaharaan harta ganimah sehingga ada sahabat yang menduga Rasulullah saw. telah mengambilnya. Maka turunlah ayat ini untuk mengklarifikasi tuduhan itu.
Meski asbabunnuzul ayat di atas terlihat khusus, namun ghulul di sini tidak terbatas dalam hal harta ganimah saja sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. berikut ini:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Dari ‘Adi ibn ‘Amirah al-Kindi, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk suatu tugas, lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih, maka itu adalah tindakan ghulul (khianat/korupsi), ia akan memanggulnya di hari kiamat.” (HR. Muslim da-lam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Secara istiqra’ (induksi tematik), dalam berbagai hadis yang diketengahkan di sini, Rasulullah saw. mengkategorikan berbagai bentuk penyelewengan dalam penyelenggaraan tugas kepemerintahan sebagai pengkhianatan (ghulul). Ancamannya juga sama dengan bunyi ayat di atas, yaitu memanggul harta ghulul itu di hari kiamat kelak. Hasil istiqra’ ini menjadi hujah bahwa maksud kata ghulul dalam ayat di atas tidak terbatas dalam konteks ganimah saja.
Kata lain yang juga digunakan Rasul dalam makna yang sama dengan ghulul adalah kata ghasyw. Hal ini dapat dilihat dalam hadis Sahih Muslim pada Kitab Imarah berikut ini:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidak seorang hambapun yang dijadikan pemimpin oleh Allah, lalu ia mati dalam keadaan mengkhianati rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan syurga baginya. (HR. Muslim).

Kata ghasysya (ghasyw) dalam hadis di atas berarti akhlak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, atau tidak mengikuti Sunah Rasulullah saw. Menurut Ibn Manzur (Kamus Lisan al-‘Arab), kata ghasysya itu semakna dengan kata ghalla (ghulul), yaitu berarti pengkhianatan, atau mengkhianati amanah. Dengan demikian, kata ghulul dan ghasyw semakna dengan terminologi korupsi yang dipahami sekarang ini.

Untuk konteks Indonesia, terminologi korupsi dapat dipahami dengan merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang ini, terminologi korupsi khusus dipakai dalam penyelenggaraan kepemerintahan. Bentuknya pun tidak terbatas dalam penyelewengan uang negara saja, tapi mencakup penyalahgunaan jabatan meski tidak merugikan uang negara secara langsung, dan pemerasan oleh penyelenggara negara yang merugikan individu tertentu.

Adapun tentang bentuk konkret dari tindakan korupsi, Rasulullah saw. juga menjelaskan detil tindak korupsi (ghulul) dalam hadis-hadis berikut:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ»
Dari Abi Humayd al-Sa‘idi, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hadiah yang diberikan kepada pegawai adalah ghulul.” (HR. Ahmad)

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya pada bab hadis dari para sahabat, poin hadis dari Abu Humayd al-Sa‘idi. Terlihat dalam hadis ini bahwa Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan hadiah yang diterima pegawai pemerintah sebagai korupsi. Bahkan dalam tindakan nyata Rasulullah saw. langsung men-ta‘zir (seorang sahabat yang menerima hadiah saat bertugas, perhatikan hadis berikut:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَسْدِ، يُقَالُ لَهُ: ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ - قَالَ عَمْرٌو: وَابْنُ أَبِي عُمَرَ - عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِي، أُهْدِيَ لِي، قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: " مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ، فَيَقُولُ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ، أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ "، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «اللهُمَّ، هَلْ بَلَّغْتُ؟» مَرَّتَيْنِ
Diriwayatkan dari Abi Humaid al-Sa‘idi, bahwa Rasulullah memperkerjakan Ibn Lutbiyyah dari suku ‘Asdi untuk mengumpulkan zakat. Sekembali dari tugas ia menyerahkan hasilnya kepada Rasul sambil berkata: “Ini untuk Anda, dan ini milik saya, dihadiahkan untuk saya.” Maka Rasululllah saw. berdiri di atas mimbar, memuji Allah dan berkata: “Alangkah memprihatinkan seorang pegawai yang kutugaskan, ia mengatakan ‘ini untukmu, dan ini dihadiahkan kepadaku,’ mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak-ibunya sampai ia melihat apakah akan diberi hadiah atau tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil hadiah itu kecuali ia akan berjalan dengan memikulnya di hari kiamat, ia memanggul unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.” Kemudian Rasulullah menadahkan tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?” Beliau mengulang ucapan ini sampai dua kali. (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Perbuatan lain yang dikategorikan Rasulullah saw. sebagai korupsi (ghasyw/ghulul) adalah kecurangan yang dilakukan pedagang sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ: «مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟» قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
Dari Abu Hurairah, bahwa suatu hari Rasulullah melakukan inspeksi ke pasar. Sesampainya di sebuah toko penjual makanan beliau memasukkan tangan ke dalam makanan yang dijual. Didapatinya makanan itu basah di bagian bawah, maka beliau berkata: “Ada apa ini wahai pemilik makanan?” Penjual menjawab: “Kehujanan ya Rasulullah.” Lalu Rasul bersabda: “Kenapa tidak kamu letakkan di bagian atas agar pembeli dapat melihatnya, ketahuilah, barangsiapa yang berkhianat maka ia bukan golonganku.” (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Iman).

Kelihatan dalam hadis ini bahwa tindakan si pedagang tidak dikategorikan pencurian atau penipuan, tapi pengkhianatan (korupsi/ghasyw/ghu-lul). Jadi jelas secara rasional Rasulullah saw. tidak menganalogikakannya dengan pencurian atau penipuan. Dengan demikian, ketentuan sanksi untuk kasus ini tidak bisa disamakan dengan mencuri atau menipu.
Sebaliknya, penggunaan kata ghasysy menjadi indikator bahwa kasus ini dipandang sejenis dengan tindak penyelewengan secara politik (siyasah). Perlu digarisbawahi, bahwa politik (siyasah syar‘iyyah) dalam Islam adalah segala tindakan pemerintah yang mengatur urusan umum dalam daulah Islam dengan aturan yang mampu mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Jadi tindakan si pedagang di atas masuk dalam kategori siyasah karena terkait dengan administrasi kepemerintahan, bukan pidana biasa.

Tindakan lain yang cukup keras dikecam Rasulullah saw. adalah suap (al-risywah) karena berhubungan langsung dengan penyelenggaraan kepemerintahan, baik peradilan maupun lainnya. Risywah hampir serupa dengan hadiah, tapi lebih spesifik karena jelas ditujukan untuk suatu maksud tertentu. Menurut al-Sayyid Abu Bakr dalam kitabnya I’anat al-Thalibin, risywah adalah memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak adil, atau untuk mencegah putusan yang adil. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ»
Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, dan menerima suap dalam masalah hukum. (HR. al-Tirmidzi, dalam Sunan-nya pada Abwab al-Ahkam).

Dalam hadis yang dinyatakan sahih oleh al-Albani ini, Rasulullah saw. melaknat orang-orang yang terlibat suap, bukan hukuman konkret tertentu. Demikian pula dalam hadis yang dikutip sebelumnya, lantas apakah ini berarti korupsi hanya pelanggaran moralitas saja?

Perlu digarisbawahi bahwa ajaran Islam merupakan kesatuan dari syariah, ibadah dan akhlak, dan ketiga hal ini tidak bisa dipisahkah. Lebih jauh lagi, ternyata Alquran melihat akhlak sebagai bagian yang cukup penting sehingga menyita sebagian besar kandungan Alquran. Dengan demikian, penerapan syariat Islam tidak cukup dilakukan dengan positivisasi fikih saja, tetapi juga harus dengan pendekatan penyadaran moralitas-agamis. Dari itu integritas seorang muslim yang korup patut dipertanyakan, Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا»
Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami maka ia bukan bagian dari kami, dan barangsiapa yang mengkhianati kami (ghasysyana) maka ia bukan bagian dari kelompok kami. (HR. Muslim, dalam Sahih-nya pada Kitab Iman).

Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dalam menghadapi tindak pidana korupsi Rasulullah saw. lebih mengutamakan pendekatan akhlaqi. Hal ini dapat dipahami karena keterkaitannya yang sangat erat dengan kesadaran moral-spiritual para pelak-sana layanan publik, yaitu lewat pemahaman filosofis (al-hikmah).

Menurut Kwik Kian Gie, di Indonesia yang sangat dominan adalah para teknokrat dan bukan teknosoof. Itulah sebabnya mereka tidak dapat berpikir secara mendalam dan hakiki karena membutuhkan pikiran abstrak yang falsafati, walaupun sedikit saja. Dan karena itu, bersama-sama dengan para pengusaha mereka merasa bahwa menggelapkan uang milik publik tidak apa-apa.

Meski mengutamakan pendekatan moral-spiritual, namun jika diperhatikan, salah satu hadis di atas yang terkait dengan hadiah yang diterima Ibn Lutbiyyah, justru dikenakan hukuman ta‘zir, yaitu dipermalukan di depan umum sebagai pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. juga menerapkan sanksi hukum atas tindak pidana korupsi, yaitu ta‘zir. Contoh sanksi lain pernah diterapkan oleh Umar ibn Khattab, yaitu mengurangi gaji Abu Ubaidah semasa ia menjabat sebagai Gubernur di Syam.

Kasus-kasus ini menjadi hujah bahwa hukuman untuk koruptor dipulangkan kepada kebijakan penguasa agar diputuskan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, dan sesuai dengan kondisi negara kala tindak pelanggaran itu dilakukan. Dalam konsepsi fikih, sanksi hukum seperti ini dikenal dengan istilah ta‘zir, yaitu memberikan pelajaran bagi pelaku maksiat/dosa yang tidak ditetapkan sanksi hadd dan kafarat oleh syarak, baik yang menyangkut dengan hak Allah atau hak anak adam.

Qulyubi yang menuliskan komentar terhadap Syarh al-Mahalli mencontohkan sodomi (melakukan pelanggaran seksual terhadap ajnabiyah pada selain alat kelamin) sebagai maksiat yang penetapan sanksinya dipulangkan kepada pemerintah. Demikian pula manipulasi, atau pemalsuan surat dengan meniru tulisan orang lain (muhakah), bersaksi palsu, dan memukul orang lain tanpa hak. Bentuk hukuman yang dikenakan bisa dipenjara, dicambuk, dipukul, atau dipermalukan di depan umum. Masih menurut Qulyubi, jika efek mudarat yang ditimbulkannya cukup besar dan luas, maka ia boleh dipenjara terus-menerus, bahkan sampai mati.

Mengenai hukuman mati, Ibn Taymiyah mengangkat pendapat para ulama tentang bolehnya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang menimbulkan kerusakan massif. Antara lain membocorkan rahasia negara (al-jasus) dalam kondisi negara sedang genting, orang yang mempengaruhi orang lain untuk mengingkari Alquran dan Sunah (bid‘ah), dan orang yang melakukan sihir. Dalam kasus-kasus ini para ulama berbeda pendapat, hal ini dikarenakan beda tinjauan terhadap kasus itu sendiri yang memang multidimensi. Dari itu dibutuhkan ijtihad yang sifatnya kasuistik, sehingga penyelidikan oleh yang berwenang menjadi penentunya.

Kasus lain yang menurut ulama diancam hukuman mati adalah homoseksual (al-liwath) yang dilakukan terus menerus. Menurut ulama kalangan Hanafiyyah, liwath termasuk dalam jenis tindak pidana (jarimah) yang diancam hukuman mati sehingga dapat di-ta‘zir dengan hukuman mati jika dilakukan terus-menerus. Alasan lain menurut al-Syathibi, liwath itu bertentangan dengan tujuan al-Syari‘ yang mensyariatkan nikah untuk meneruskan keturunan umat manusia. Sedangkan liwath berakibat memutus keturunan manusia, maka ia termasuk kejahatan atas kemanusiaan, dan harus dihukum karena bertentangan dengan syariat.

Dari berbagai pendapat ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa kejahatan yang dilakukan secara berkelanjutan, dan efek kerusakannya tergolong massif, dapat dikenakan hukuman mati. Namun semua itu sangat bergantung dari hasil penyelidikan dan pembuktian oleh yang berwenang. Demikian pula dengan korupsi, jika berkelanjutan, besar efek kerusakannya, dan massif, maka ia dapat dikenakan hukuman mati. Apalagi jika dilakukan pada saat negara sedang dalam kondisi genting seperti pada poin penjelasan UU no. 31, Ayat (2):

Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Sampai di sini terlihat, bahwa modus operandi korupsi sangat beragam sehingga tidak bisa ditetapkan sanksi yang seragam. Dari itu cukup realis jika Islam tidak menetapkan satu bentuk sanksi tertentu secara khusus, tapi dipulangkan kepada penguasa, dan diancam dengan hukuman akhirat yang berat. Dalam hal ini Rasulullah saw. berdoa:

اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, barangsiapa yang menangani suatu urusan umatku lalu ia menim-bulkan perpecahan, maka hancurkan dia, dan barangsiapa yang menimbulkan kasih sayang dalam menangani suatu urusan umatku, maka kasihilah dia. (HR. Muslim dalam Sahih-nya pada Kitab Imarah).

Memerhatikan doa Rasulullah saw. ini, maka jelas hanya orang-orang yang mengingkari akhirat saja yang berani korupsi. Adapun koruptor yang mengaku dirinya muslim, serapi apapun ia menyimpannya, tentu dari sekarang ia sudah harus bersiap-siap untuk memikul hasil korupsinya di akhirat, walau hanya sebatang jarum saja... Wallahu a‘lam.

*Penulis adalah kandidat doktor PPs IAIN Ar-Raniry, Redaktur Majalah Santunan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Pengasuh Rubrik Tafsir

Minggu, November 06, 2011

Korban Iklan


Membaca judul di atas, yang terpikirkan pertama kali adalah seseorang yang terlanjur membeli suatu produk karena terpengaruh iklan, padahal kulitas dan kegunaannya tidak sesuai dengan iklan. Ya, ini mungkin relevan dengan berita yang juga saya baca beberapa waktu lalu di internet, bahwa di India, ada seorang pemuda yang menggugat produsen AXE ke pengadilan karena dianggap tidak ampuh untuk memikat lawan jenisnya sebagaimana banyak ditampilkan di iklan-iklan komersial.

Meski bukan kasus tertipu yang sama, tapi korban iklan yang saya maksudkan di sini juga tiak jauh larinya dari ikon produk di atas "kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda." Tampa sadar, kita, khususnya yang laki-laki telah menjadi korban iklan-iklan komersial yang menonjolkan sensualitas perempuan sebagai media promosinya.

Siapa yang tidak tergoda dengan perempuan? terlebih materi iklan di televisi nasional saat ini sepertinya sudah sangat vulgar, berani menampakkan sebahagian besar aurat perempuan, yang tentu saja sangat berpengaruh pada daya tangkap kaum lelaki.

Parahnya, terkadang iklan tersebut tersisip diantara acara-acara anak-anak, keagamaan, atau acara-acara lainnya, yang mau tidak mau ditonton oleh segenap anggota keluarga. Ungkapan "terserah anda" di atas sepertinya terkesan lepas tangannya pembuat dan penyiar iklan dari dampak buruk yang diderita oleh korbannya, mulai dari anak-anak hingga yang sudah uzur sekalipun.

secara kasar, selaku korban, pemirsa khususnya anak-anak terlanjur menikmati konten atau materi siaran yang tidak sesuai dengan umur dan perkembangan psikologisnya, bagi kalangan yang menjaga ketat nilai-nilai agama Islam, ini justru merupakan serangan telak ke jantung rumah tangga keluarga muslim. Ini zina mata, dan secara tidak langsung juga memepengaruhi cara berinteraksi di dalam keluarga dan masyarakat.

Meski tidak menunjukkan alat kelamin sehingga bisa dianggap porno (hardcore) oleh sebagian orang., materi iklan sabun, shampo, serta produk-produk perawatan kecantikan sudah tergolong softcore (erotis) yang mendorong/memprovokasi kepada level pornografi yang lebih tinggi. Ketika seseorang terobsesi oleh objek tidak sengaja yang dilihatnya, dia akan mencarinya kembali mlalui media-media lainnya yang saat ini sangat mudah diperoleh, komputer, hape, majalah, dan internet.

Sepertinya fenomena ini terabaikan dari proses pembendungan pornografi, baik melalui undang-undang mapun melalui langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh Pak Tifatul, menteri telekomunikasi.

Meski secara teoritis, agama memiliki setumpuk solusi untuk masalah ini, namun iklan dan penampakan yang terus menerus dari 'lklan zina' ini sungguh merupakan tantangan yang besar bagi kaum muslimin. Apalagi kondisi keimanan kita yang tidak selalu stabil, boleh jadi pada saat imannya labil dan devisit, iklan ini memberi kontribusi besar pada diaksesnya konten-konten yang lebih serius.

Kita bertaubat kepada Allah dari kelalaian dan kezaliman pada diri sendiri, kita memohon perlindungan Allah dari dorongan nafsu yang tidak terkendali, dan dari fitnah akhir zaman yang tiada henti.

Kita memohon semoga saudara-saudari kita yang lainnya, khususnya generasi mendatang diberi kekuatan ekstra oleh Allah untuk menghadapi 'penyakit' ini yang bisa jadi lebih canggih di masa-masa mendatang.

Apakah anda juga pernah jadi korbannya???

Rabu, November 02, 2011

Semuanya adalah Milik Allah

Kedermawanan Nabi Ibrahim As, yang mengurbankan ribuan kambing setiap tahunnya berakar pada suatu keyakinan, bahwa semuanya adalah milik Allah Swt. Harta kekayaan, dan semua atribut sosial yang disandangnya adalah amanah titipan Allah yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali.

Ada dua cara amanah dan titipan tersebut ditarik kembali dari tangan manusia, yang pertama penarikan yang bisa diprediksi, misalnya adalah ibadah qurban dan zakat. Sedangkan penarikan yang tidak bisa diprediksi misalnya adalah umur dan musibah yang datang secara tiba-tiba.

Akan tetapi, kembali kepada kualitas keimanan bahwa semuanya adalah milik Allah, maka sikap manusia dalam menyikapi penarikan itupun menjadi beragam adanya. Ada yang secara sengaja menunda qurban dan zakatnya karena berbagai alasan yang merujuk pada dangkalnya iman. Sebaliknya, bagi mereka yang ‘mukhlis’ justru bersyukur ketika sebahagian amanah yang ada ditangannya itu kembali ditarik oleh Allah, baik secara tiba-tiba ataupun tidak. Karena mereka mengerti, bahwa beban tanggungjawab mereka tentunya akan semakin ringan dalam pengadilan Allah Swt.

Ketika kita sadar bahwa semuanya adalah milik Allah, maka segala atribut keduniaan menjadi tidak penting untuk diperdebatkan. Menurut Hadist, Allah tidak melihat kepada atribut-atribut fisik, melainkan kepada atribut takwa yang merupakan inti dari pengabdian hamba kepada Khaliknya.

Karena itu, orang-orang beriman tidak akan terjebak pada rangkaian seremoni yang sengaja ditonjol-tonjolkan ke permukaan oleh sebahagian manusia, misalnya saja peringatan hari pahlawan, tanggal unik 11-11-2011, atau juga isu bumi yang semakin padat karena jumlah manusia yang hidup saat ini mencapai angka tujuh milyar jiwa.

Masalah yang sesungguhnya dihadapi manusia saat ini adalah kedangkalan iman, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan serta pikiran yang bersifat dangkal. Korupsi, kapitalisme, nepotisme serta liberalisme merupakan buah dari penolakan terhadap eksistensi Tuhan dalam semua lini kehidupan manusia.

Logikanya, jika Tuhan saja sudah tertolak, apatah lagi manusia-manusia lainnya yang berada di luar lingkaran kekuasaan dan kepentingan. Maka lahirlah berbagai macam pelanggaran dan penindasan. Atribut-atribut fisik berupa kekuatan, kekayaan dan kecantikan menjadi nilai tawar yang penting, sehingga siapapun yang tidak memiliki kekuatan, kekayaan ataupun kecantikan, haruslah digusur dari peradaban kemanusiaan.

Padahal kita semua adalah milik Allah, marilah kita semua kembali kepada Allah secara sukarela sebelum dituntut untuk kembali secara paksa. Mari kita jalankan tugas dan tanggungjawab kita dengan mengutamakan keihklasan sebagai indikator keberhasilan, bukannya prestise atau puja-puji kanan-kiri yang sifatnya semu semata.

Mari kita rapatkan ‘shaf’ Kemenaterian Agama Provinsi Aceh, mari kita tutup rapat celah-celah kesenjangan yang ada sehingga tidak dimanfaakan oleh para pengacau untuk merusak kekhusyu’an kita mengabdi kepada Allah, Negara dan masyrakat. Akhirnya, kita ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. A. Rahman TB, Lt. yang selama ini telah menahkodai kita di Kementerian Agama Provinsi Aceh. Selamat Datang Bapak Drs. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd., nahkoda baru kita dalam melalui gelombang perubahan yang tidak pernah berhenti.

Jumat, Oktober 21, 2011

Bulan Haram Berperang

Perang mungkin sudah menjadi bagian dari sejarah manusia, dari zaman purbakala yang sering disebut sebagai kurang beradab (saya kira ini stereotype) hingga zaman modern yang sangat beradab. Perang selalu saja terjadi di mana-mana dalam intensitas yang beragam, baik korban maupun perangkat senjata yang digunakan.

Sejarah awal Islam juga tidak lepas dari peperangan, baik kecil mauapun besar, khususnya setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, dan kaum muslimin memiliki kekuatan yang dapat diandalkan dalam suatu medan pertempuran.

Karenanya, perang juga mendapat perhatian dalam fiqih Islam, ada aturan mainnya, ada batas-batasan yang tidak boleh dilanggar. Perang bukan sekedar membunuh atau dibunuh, dalam Islam, perang adalah metode darurat dalam mempertahankan eksistensi yang suci, jadi mesti dilakukan juga dengan hati-hati.

Salah satu aturan perang yang diketahui oleh seluruh kaum jahiliyah, dan juga merupakan bagian dari ajaran Islam adalah larangan berperang pada bulan-bulan haram, yaitu bulan Zulqa'dah, Zulhijjah, Muharram (saling berurutan) dan bulan Rajab. Melakukan agresi pada bulan haram ini merupakan suatu kesalahan (QS. Al-Baqarah ayat 217).

Ayat di atas mencela kaum muslimin yang terlanjur melakukan agresi pada bulan haram, padahal, mereka adalah orang-orang yang terusir dari kampung alaman mereka sendiri. Ini tentu menjadi satu petunjuk bahwa ketentuan larangan berperang pada bulan-bulan ini merupakan sesuatu yang sangat penting di sisi Allah. Kecuali mempertahankan diri dari serangan musuh, tidak boleh memulai agresi pada bulan-bulan ini dengan alasan apapun.

Akan tetapi, di zaman modern ini, larangan berperang di bulan haram sepertinya sudah diabaikan sama sekali. Terakhir, kita menyaksikan pertumpahan darah di Libya, mereka tidak peduli dengan bulan haram, padahal mereka semua adalah kaum muslimin, atau jangan-jangan mereka memang sudah terlanjur terjasud oleh musuh-musuh Islam.

Apa tujuan Allah mengharamkan perang pada bulan-bulan ini? kita juga tidak bisa menjawabnya secara pasti. Akan tetapi, sebagaimana larangan-larangan lainnya, ini merupakan suatu ujian, cobaan dan tantangan yang apabila diindahkan oleh manusia (khususnya orang beriman) akan membawa kita pada derajat kehidupan yang lebih baik secara individu dan sosial.

Secara jujur, bila kita bercermin pada sejarah arab jahiliyah, ketentuan larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah memberi ruang bagi hadirnya kedamaian, keberlangsungan hidup, perputaran ekonomi, berkembanganya ilmu pengetahuan dan seni, serta yang lebih penting adalah terpeliharanya nyawa sebagai sesuatu yang asasi bagi kehidupan manusia, apapun kepercayaannya, dan dimanapun mereka berada.

Dunia yang tidak pernah berhenti berkonflik akan mengalami kelelahan secara lahir dan batin, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas kemanusiaan, sehingga meskipun dengan bangga kita slalu memproklamirkan diri sebagai manusia yang paling beradab, padahal secara perlahan kita sedang terjun kedalam kenistaan peradaban.

Mungkin perang memang tidak pernah bisa dihentikan, tapi tanpa konsep tentang perdamaan dan batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh sebuah 'laku perang', maka jangan harap kita bisa hidup secara rukun, damai dan tentram di dunia ini.

Mari, hentikan semua konflik dan perang di bulan-bulan haram ini, semoga selalu ada ruang bagi kedamaian dan 'kebebasan' bagi terpeliharanya keimanan dan kemanusiaan.

Wallahu a'lam, wallahu muwafiqut thariq....

Kamis, September 29, 2011

Waspada, waspadalah...!

Diantara yang kita pelajari dari latihan berulang-ulang beladiri adalah sikap waspada, waspada pada serangan, juga wasapada pada kemungkinan konter terhadap teknik kita. Tapi, karena kita tidak melatih beladiri ini untuk tujuan yang mendesak, maka sikap waspada kita juga terbentuk secara perlahan dan lamban.

Karena saya berlatih beladiri sebagai olahraga plus, saya tidak terlalu khawatir belum bisa benar-benar waspada terhadap serangan dan konter lawan, yang saya khawatir kalo saya tidak sadar bahwa saya harus bersikap waspada, atau kapan harus waspada.

Nilai kewaspadaan ini, saya kira justru lebih urgen untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena kehidupan sehari-harilah yang memberi kita identitas sebagai seseorang yang layak disebut "saya, anda" atau juga "dia."

Maka tantangan yang harus diwaspadai secara cermat adalah tantangan dalam kehidupan kita sehari-hari, karena bila kita gagal mengantisipasinya, bisa jadi identitas kita juga akan "gugur."

Saya hanya ingin mencontohkan kewaspadaan pada hal-hal yang sering dianggap sepele, namun pengaruhnya besar bagi kita yang berlatih biladiri. Misalnya, waspada kehabisan bensin sehingga tidak bisa pergi latihan atau justru kendaraan mogok di tengah jalan ketika pulang. maka perlu waspada menjaga status bensin kita.

Contoh lain, waspada terhadap hujan. Bisa-bisa kita tidak bisa datang ke tempat latihan karena hujan, atau sebaliknya terjebak di tempat latihan karena tidak bisa pulang. Maka selalu sedia payung sebelum hujan, atau mantel misalnya.

Yang jauh lebih penting lagi adalah waspada terhadap waktu shalat. Tidak jarang kita ketinggalan shalat karena latihan. Alasannya bisa macam-macam, gak keburu latihan lah, atau telat selesai latihan lah, atau pakaiannya gak sucilah, dll.

Saya sendiri mencoba mewaspadai tantangan ini sebaik-baiknya. setidaknya saya selalu memakai kaos yang masih bersih dan layak untuk shalat, plus membawa kain sarung juga untuk shalat. Nah, kalo untuk cewek saya sarankan juga membawa perlengkapan shalat, mukena misalnya.

Terus terang, shalat adalah hal yang utama, baik untuk kebaikan di dunia maupun di akhirat, jadi jangan sampai masalah latihan mengaburkan shalat kita. Saya pribadi berharap bahwa keberadaan saya sebagai alasan kawan-kawan berlatih bela diri mendorong kita menjadi insan yang semakin bertakwa kepada Allah sebaliknya. Saya takut bila keberadaan saya, justru menjadi alasan, baik langsung ataupun tidak, untuk meninggalkan shalat.

Waspada, waspadalah.....!

Selasa, September 20, 2011

Tentang Menghargai Yang Lain

Saya teringat materi pelajaran pertama dalam kitab Qira'atur Rasyidah yang dijadikan teksbook dalam pelajaran muthalaah di pesantren dahulu. Judulnya Al-Asadu wal Fa'ru, artinya Singa dan Tikus.

Jalan ceritanya ada tikus yang sedang jalan-jalan lalu menemukan tumpukan jerami yang sangat nyaman untuk bermain-main sampai akhirnya dia tertidur, padahal tidak lain jerami tersebut adalh surainya singa.

Ketika singa terbangun, tikus jatuh tepat di depan singa. tentu saja tikus sangat gemetar dan dengan segala keyakinan terakhirnya untuk bertahan hidup memohon belas kasihan dari singa. Akhirnya singa melepaskan tikus dengan syarat tidak boleh sembarangan tidur di surainya lagi.

Beberapa hari kemudian, ketika sedang mengintip buruannya, singa jatuh dalam jebakan jaring yang sudah disiaokan oleh pemburu singa. Setelah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan diri dan tidak berhasil, singa meraung meminta tolong penuh harap kepada siapa saja yang mungkin mendengarnya.

Tidak jauh dari tempat singa terperangkap, tikus juga lagi mencari makanan. Mendengar raungan singa, tikus bergegas menuju perangkap dan mendapati singa dalam kondisi yang menyedihkan. Kali ini singa yang memohin belaskasihan tikus untuk menolongya. Tikus yang sangat berterimakasih atas kebaikan singa tempo hari, segera saja menggigit putus tali-tali jaring yang menjerat singa hingga bebas.

Singa berterimakasih atas kebebasannya dan melanjutkan persahabatnnya dengan tikus dengan saling menghormati satu sama lain, karena masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan yang tentunya bila dikelal dengan baik akan saling menguntungkan.

Yang masih saya ingat, kutipan pelajaran moral di akhir halaman tersebut adalah "La Tahtakir Man Dunaka, Fa Inna Likulli Syai'in Maziah."

Ini merupakan salah satu bekal utama bagi kami para santri yang hendak menjalani pertualangan panjang di asrama pesantren ini, kami satu sama lain harus mampu saling menghormati dan menggunakan kelebihan masing-masing untuk menutupi kekurangan shabat yang lainnya.

Sungguh suatu cerita dan pengalaman yang membanggakan, semoga bermanfaat bagi kita semua, insya Allah.

Senin, September 05, 2011

Rahmat, Maghfirah dan Itkun Minannar

Teringat kembali ceramah tarawih di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh menjelang Idul Fitri 1432 H. Peneramah mengajak jamaah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah di penghujung akhir ramadhan, mengingat begitu banyak pahala dan keistimewaan yang telah Allah sediakan di bulan yang penuh berkah ini, dibandingkan waktu-waktu lainnya di luar ramadhan.

Yang menarik bagi saya adalah penjelasan penceramah tentang rahmat, magfirah dan itkun minnanar. yang sering kita dengar secara harfiyah adalah sekekelumit dari hadis Rasulullah SAW tentang keutamaan ramadhan yang sepertiga awalnya adalah rahmat, sepertiga pertengahannya adalah magfirah, dan sepertiga akhirnya adalah itkun minnanr.

Rahmat itu adalah anugrah Allah yang diberikannya kepada siapa saja tanpa didahului oleh usaha yang 'serius'. Secara umum, semua makhluk Allah di dunia ini memperoleh rahmat Allah, baik manusia atau binatang dan tumbuhan, jin, malaikat, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, bahkan juga yang tidak beriman kepada Allah sekalipun. Semuanya memperoleh rahmat Allah sesuai kadarnya masing-masing yang telah ditetapkan oleh Allah.

Dalam konteks ramadhan, siapapun beroleh rahmad Allah ini tanpa perlu usaha atau amal ibadah yang 'serius', bukan hanya dari pahala ibadah yang menjadi berlipat ganda, tapi juga dari aspek materi seperti pertumbuhan ekonomi yang juga dirasakan oleh orang-orang non muslim sekalipun. Demikianlah Rahmat Allah yang sangat luas bila dibandingkan dengan kedermawanan manusia.....

Akan tetapi, untuk memperoleh magfirah dari Allah dibutuhkan usaha yang 'serius' yaitu bertoubat dari seala dosa dan kesalahan, baik yang kecil maupun yang besar, yang terhadap Allah, maupun yang terhadap makhluk-makhluknya. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh magfirah Allah kecuali harus berusaha keras terlebih dahulu.

Kenapa harus uasaha keras? mengakui kesalahan dan kesilapan adalah usaha yang sungguh berat bagi sebahgian orang, terlebih bila harus meminta maaf kepada orang lain. Semoga saja, Allah mendengar pengakuan dosa-dosa kita, memberikan kebaikan kepada orang-orang yang telah kita dhalimi, sembari berharap bahwa Allah memberi hidayah kepada mereka untuk memaafkan kesalahan kita yang terlalu pemalu untuk langsung minta maaf sendiri. Jadi, boleh jadi kita telah memperoleh magfirah, tapi belum tentu lolos dari api neraka, karena mungkin sebahagian dosa-dosa kita itu masih perlu 'dibakar' di neraka.

Tentu kita semua berharap bahwa kita bisa selamat dari dahsyatnya sisksa Neraka. Mungkin dengan kekuasaan dan sifat rahmat Allah di bulan yang mulia ini, dosa-dosa kita telah 'diputihkan'. Namun bisakah kita terus bertahan?

Disinilah level mereka yang hendak mendapatkan sertifikat itkun minannar, harus mampu menjaga diri dari dosa-dosa baru yang berakibat ke neraka, sekaligus memperbanyak amal ibadha yang mendekatkan diri dan lingkungan kita ke syurga.

Kesimpulannya, ramadhan disisi kita memang hanya 29 atau 30 hari saja. tapi sepertinya waktu itu tidak memadai bagi kita semua untuk meraih semua kemulyaan-kemulyaannya, apa lagi untuk menjadi manusia yang bisa bebas dari neraka sama sekali. sebuah prestasi yang sangat besar sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran : faman zuhziha aninnari wa udkhilul jannata faqad faaza....

Jadi, apakah kita sudah menjadi pemenang atau masih menjadi pecundang? Insya Allah ramadhan akan datang lagi dan kita termasuk orang-orang yang beruntung yang memperoleh rahmat, magfirah, dan itkun minnanr dari Allah SWT. Amin.....

Sabtu, Agustus 06, 2011

Rukun Puasa bagi Pemimpin

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt berfirman tentang orang yang berpuasa “Puasa itu untuk-Ku, maka Akulah yang akan membalasnya.” Menurut mufassir, pernyataan Allah ini terkait dengan kerahasiaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.

Dari segi rukun, puasa hanya memiliki dua rukun saja, yaitu niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Pun demikian, dari segi durasi waktu pelaksanaan, puasa adalah yang paling panjang dari ibadah-ibadah lainnya, termasuk juga ibadah haji.

Apa keistimewaan ibadah puasa ini? Dibandingkan ibadah-ibadah lainnya yang bersifat lahiriah dan terukur secara kasat mata seperti shalat, haji, dan zakat, maka puasa tidak bisa dinilai secara kasat mata, hanya Allah dan pelakunya saja yang bisa memberikan penilaian apakah puasanya ini sudah benar atau tidak benar.

Mungkin di bulan Ramadhan yang mulia ini kita bisa berasumsi bahwa setiap muslim yang baligh pasti sedang menjalankan ibadah puasa, karena memang merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, di luar Ramadhan, kita tidak bisa menebak apakah seseorang berpuasa atau tidak.

Begitu istimewanya kerahasiaan puasa, sampai-sampai di surga Allah menyediakan pintu al-Rayyan, khusus bagi mereka yang berpuasa. Dikabarkan bahwa para malaikat yang menjaga surga terheran-heran karena tiba-tiba saja ada yang sudah memasuki surga tanpa sepengetahuan mereka. Ketika ditanyakan bagaimana orang-orang ini memperoleh keutamaan memasuki surga secara rahasia, mereka menjawab “ini adalah kemurahan Allah bagi kami yang beribadah secara rahasia di dunia,” maksudnya berpuasa.

Kenapa rahasia? Terlepas dari kenyataan bahwa semua amal ibadah yang dianjurkan memiliki makna pendidikan secara lahiriah dan batiniah, maka secara spesifik ibadah puasa mendidik jiwa manusia untuk menjauhi kecendrungan-kecendrungan duniawinya. Siapa yang lebih mengetahui kecendrungan duniawi ini selain Allah dan tiap-tiap individu itu sendiri?

Secara umum, kecendrungan duniawi itu adalah makan-minum dan berhubungan badan. Tentu saja ini sudah bukan rahasia, maka dengan sendirinya tidaklah menjadi tujuan utama dari ibadah puasa itu sendiri. Yang masih menjadi pertanyaan adalah, masih adakah kecendrungan-kecendrungan duniawi lainnya pada diri kita yang patut untuk ditahan, dicegah, bahkan ditangkal?

Untuk memudahkan pemahaman, secara hirarkis Imam Ghazali membagi puasa pada tiga level, yiatu puasa ‘am (menahan?), puasa khas (mencegah?), dan puasa khawasul-khawas (menangkal?).

Puasa puasa ‘am, yaitu puasa yang hanya sebatas tidak minum, tidak makan dan tidak berhubungan badan; puasa khas, yaitu selain menahan ketiga perbuatan tadi ditambah juga dengan mencegah anggota badan dari melihat, mendengar, dan berkata-kata yang buruk; dan yang tertinggi adalah puasa khawasul-khawas, yakni selain melakukan semua hal dalam puasa ‘am dan khas tadi, juga harus mengelola emosi dan sikap mental dari segala hal yang destruktif, seperti korupsi, iri hati, konsumtif, anarkis, dan lain-lain.

Nabi Saw bersabda “Betapa banyak orang yang berpuasa, tiada yang diperoleh dari puasanya kecuali lapar dan haus saja.” Tentu saja kita bisa memahami bahwa yang ditegur oleh hadis ini adalah mereka yang mencukupkan dirinya pada level ‘am saja.

Makna lain dari kerahasiaan ibadah ini adalah kejujuran. Jika kita menerapkan konsep Imam Ghazali di atas pada makna kejujuran ini, maka yang dimaksud adalah tidak hanya kejujuran pada level ‘am saja, tapi juga kejujuran pada level khas dan khawasul-khawas. Dengan kualitas kejujuran ini, diharapkan seorang shaaim tidak hanya memperoleh sertifikat rahmat semata-mata, tapi juga sertifikat maghfirah (ampunan) dan itqun-minannar (terbebas dari siksa neraka).

Sekali lagi, hal ini bisa dicapai karena kejujuran pribadi muslim akan kecendrungan-kecendrungan negatif yang ada pada dirinya akan mendorong lahirnya sikap korektif, evaluatif, dan juga pertobatan yang sungguh-sungguh.

Saya kira, tidak ada yang memiliki rahasia lebih besar dari para pemimpin kita. Dan semakin besar rahasia yang dipegang oleh seseorang, maka kemungkinan penyimpangannya pun menjadi lebih besar. Oleh karena itu, pemimpin tentu saja harus lebih jujur dan lebih rajin berpuasa dibandingkan masyarakat awam dan yang bukan pemimpin.

Hubungan puasa dan kepemimpinan ini misalnya bisa kita lihat pada pribadi Nabi Dzulkifli As, pribadi Nabi Daud As, Pribadi Nabi Muhammad Saw dan juga para sahabat yang utama. Nabi Dzulkifli diangkat sebagai Raja dan Nabi sekaligus dengan syarat wajib berpuasa setiap harinya dan qiyamul lail setiap malamnya. Dzulkifli artinya yang sanggup memikul syarat-syarat kepemimpinan.

Nabi Daud yang gagah perkasa dan adil bijaksana, terkenal dengan puasanya sehari berselang, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka, demikian terus menerus hingga akhir hayatnya. Dan Nabi kita Muhammad Saw juga terkenal dengan ibadah puasanya, sampai-sampai beliau mengikat tali ke perutnya di luar ramadhan. Bukan karena tidak ada makanan sama sekali, melainkan sebagai pendidikan bagi ummatnya, khususnya para pemimpin.

Teladan nabi ini diikuti oleh para shahabat, khususnya khulafaur-rasyidin seperti Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka menjadikan puasa sebagai atribut dan lambang kepemimpinan, sehingga rakyatnya hidup makmur dalam kesejahteraan dan keadilan.

Dengan demikian, maka rukun puasa bagi para pemimpin itu ada dua, pertama niat dan kedua menahan diri, mencegah serta menangkal segala bentuk tindakan koruptif mulai dari waktu menerima amanah sampai dengan menghadap Allah Swt. Wallahua’lam…..!

Jumat, Juli 15, 2011

Panggilan Shalat dan Anak Yatim

Ada dua hal yang menggugah saya, yang pertama peristiwa tadi malam (kamis malam, 14 Juli 2011) ketika sedang cari kuliner bu si itek dengan sensei Ronin, dan yang kedua sore ini (jumat, 15 Juli 2011) ketika mengantarkan sumbangan dari gaji ke 13 ke Rumah Yatim di Banda Aceh.

Setelah berputar-putar dari Jl. Muhammad Jam sampe peunayong mencari bu si itek yang sesuai, akhirnya diputuskan menuju ke setuy, tepat di depan masjid Tgk. Umar, ada yang jualan bu si itek, kabarnya laris, enak dan yang uniknya, kalo terdengar suara azan, langsung saja para pekerjanya meninggalkan tempat jualan menuju masjid untuk shalat.

Kami sampai di sana kira-kira 5 menit sebelum azan isya, sudah ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makan malam dengan menu khas kuah si itek. Begitu kami duduk di kursi, azan segera berkumandang, dan benar saja, para pelayannya yang berjumlah 4 orang langsung berangkat ke masjid, tidak peduli ada yang mau pesan atau ada yang belum bayar. Antara ya dan tidak, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu di situ, bukan hanya karena sekedar yakin bahwa shalat isya bisa kita lakukan kemudian (kalo umur panjang...) tapi juga untuk melihat tanggapan dari para pelanggan.

Dengan sabar saya dan sensei ronin melanjutkan diskusi tentang berbagai hal. Uniknya, tdiak ada satu orangpun pelanggan yang beranjak, yang sudah selesai makan tidak langsung lari, tapi tetap duduk menunggu pelayan kembali dari shalat untuk membayar. Bahkan, pelanggan yang mau membeli untuk dibawa pulang juga ikut menunggu di depan gerobak daganngan, padahal kondisi sedang hujan rintik-rintik.

Apakah Allah mengikat mereka di sini, karena yang punya mengikat dirinya dnegan kewajiban shalat berjamaah di masjid di awal waktu? 10 menit kemudian para pelayan kembali, segala sesuatunya kembali berjalan normal sekan tidak pernah ada jeda sebelumnya. Yang sudah selesai segera membayar, dan yang baru datang, termasuk kami, juga segera mendapatkan sepiring nasi hangat dan semangkuk kecil daging bebek berkuah.

Wah, memang lezat, lain dari yang lain. Sensei Ronin bilang, ini mungkin bukan sekedar resep yang unik, tapi juga diiringi zikir dan niat yang tulus dalam mengolahnya. Anggota Jamaah tertentu? berpakaian Jubah dan Berjenggot? sama sekali bukan, penampilannya biasa-biasa saja, seperti anak muda lainnya. Luar biasa, akhirnya kami juga memesan kembali masing-masing satu porsi.

Antara malu dan kenyang, kami diajari bahwa Allah tidak melalikan rezeki hamba yang tidak melalaikan kewajibannya. ***

Tadi sore, karena sudah terlanjur menasehati orang supaya menyedekahkan sebahgian gaji-13-nya. Mau tak mau saya juga malu hati kalo tidak bersedekah. Setelah putar-putar sebentar akhirnya saya memutuskan datang ke Rumah Yatim di Jalan Residen Danu Broto No. 13 Lam-lagang Banda Aceh.

Rumah Yatim ini sudah berdiri setahun lebih, demikian penjelasan ibu yang menjadi penanggungjawab rumah yatim, sekaligus penerima tamu dan summbangan di serambi depan sebuah rumah yang dijadikan asrama bagi sekitar 21 anak yatim.

Saya tidak sempat menanyakan nama ibu tersebut, yang dari penuturannya berasal dari Bandung, Pusat Rumah Yatim Arrahman di seluruh Indonesia. Rumah Yatim di Banda Aceh ini adalah yang ke 12, yang termuda, sekaligus yang perkembangannya agak lamban.

Di sini kami menampung, mendidik, membina dan melatih anak-anak yatim ataupun piatu yang diantarkan oleh orang tuanya yang tidak mampu. Mereka semuanya anak-anak aceh, ada yang korban konflik, ada juga yang korban tsunami, juga ada yang karena masalah rumah tangga orang tuanya.

Anak-anak ini tidak hanya makan, tidur dan bersekolah. Mereka juga belajar mengaji, berbagai ketrampilan, mengikuti kursus bahasa inggris dan mata pelajaran yang di-UN-kan, hingga ada yang khusus belajar Tilawatil Quran.

Anak-anak di sini pintar-pintar, Pak, kata ibu itu kepada saya. Kami mengantar mereka ke tempat les dan ke sekolah, sebahagiannya lagi, kami mendatangkan guru atau pelatihnya ke asrama ini. Di sini, meskipun anak yatim, ada yang rangkin satu, Pak, lanjut ibu itu antusias.

Tapi kami belum bisa berbuat lebih banyak. Sebenarnya masih banyak anak yatim atau piatu yang tidak bisa kita terima di sini, karena keterbatasan ruang dan sarana. Insya Allah dalam beberapa minggu ke depan kita punya kemudahan untuk menerima empat orang lagi, semuanya nanti jadi 25 orang, yang tertua sudah kelas 1 SMK, yang paling muda masih usia pra sekolah.

Ibu, mungkin banyak orang aceh yang tidak tahu keberadaan rumah yatim ini, makanya yang membantu masih sedikit, saya menghibur. Mudah-mudahan kalo sudah banyak yang tau, akan ada lebih banyak yang membantu, apa lagi anak-anak yang ibu asuh ini adalah anak-anak aceh, saudara mereka juga.
Saya kembali hanya bisa menghibur, karena jumlah titipan sumbangan yang saya bawa kesana, sungguh amat sedikit dibandingkan pengeluaran bagi anak-anak ini setiap harinya.

Mari bantu anak-anak aceh untuk masa depan yang lebih baik dengan menyumbang di Yayasan Rumah Yatim Arrahman, Jl. Residen Danu Broto No.13 Lam-lagang Banda Aceh. Telp. 0651-48453

***

Selasa, Juni 21, 2011

Teknologi Piramid dalam Al-Quran

etidaknya ada dua ayat yang secara khusus berhubungan dengat teknis pembangunan suatu bangunan, yaitu QS. Al-Kahfi ayat 96 tentang teknik pembangunan dinding antara dua gunung yang dilakukan oleh Zulqarnain, dan QS. Qashash ayat 38 tentang pembangunan bangunan tinggi oleh firaun menggunakan bahan baku tanah liat.

Selama bertahun-tahun fakta ini tampaknya terabaikan oleh peneliti tentang mesir, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan piramida, makam bagi para firaun di Mesir kuno. Selama ini, piramida dipercaya dibangun oleh puluhan ribu orang yang mengangkat batu-batu alam dari tempat yang jauh untuk kemudian disusun menjadi sebuah bangunan. Pertanyaan yang segera muncul adalah, bagaimana batu-batu itu bisa dengan mudah dipindahkan dan diatur dengan ketinggian yang menakjubkan?

Sebagai catatan, berat masing-masing bongkahan batu itu adalah 2,5 ton. Apa mungkin orang-orang dahulu sangat kuat sehingga mampu memindahkan dan mengangkat batu-batu besar dengan mudah? Mungkin akan ada banyak sekali jawaban dan spekulasi tentang hal ini.

Adalah seorang peneliti, Profesor Joseph Davidovits, Direktur Institut Geopolimer Prancis yang mengajukan teori bahwa piramida dibangun dari batu buatan atau semacam beton yang dicor menjadi sekeras batu alam.

Penelitian yang dilakukan Profesor Davidovits menunjukkan bahwa lumpur dan bahan lainnya diambil dari sepanjang Suangai Nil dan bahan-bahan ini disatukan dalam suatu cetakan batu khusus. Campuran ini selanjutnya dipanaskan pada suhu yang tinggi, yang menyebabkan komponen-komponen kimiawi dari bahan-bahan tersebut saling berinteraksi dan membentuk sejenis batu, persis seperti batu gunung berapi, yang terbentuk jutaan tahun lalu.

Dengan proses cetakan ini, bisa dipahami mengapa semua batu memiliki ukuran dan potongan yang sama.

Ilmuwan Davidovits menegaskan bahwa batu yang digunakan untuk membangun piramida terutama dari batu kapur, tanah liat dan air. Tes dilakukan dengan menggunakan Nanoteknologi (cabang teknik yang berhubungan dengan hal-hal kecil dari 100 nanometer) membuktikan keberadaan sejumlah besar air dalam batuan; jumlah tersebut tidak ada di batu alam.

Mikroskop elektronik digunakan untuk menganalisis sampel dari batu piramida. Hasilnya sesuai dengan pendapat Prof. Davidovits dan kristal kuarsa jelas muncul sebagai hasil dari pemanasan lumpur. Analisis dengan skala Mini E menunjukkan adanya silikon dioksida juga. Ini adalah bukti lain bahwa batu-batu tersebut tidak alami.

Dalam bukunya “Ils ont bati les pyramides” ( cara membangun piramida) yang diterbitkan tahun 2002, Davidovits telah menyelesaikan semua masalah dan teka-teki tentang cara piramida dibangun. Selain itu, ia juga mereka ulang mekanisme konstruksi sederhana geometris dari lumpur Beberapa penelitian menegaskan bahwa tungku atau sejenis kompor telah digunakan pada zaman dahulu untuk membuat keramik dan patung-patung. Secara umum, setelah tanah liat dicampur dengan logam dan bahan alami lainnya, mereka menyalakan api sampai patung itu mengeras dan mengambil bentuk batuan nyata.

Hal yang sama jugadinyatakan oleh Mario Collepardi, seorang Profesor dari Italia yang mengkhususkan diri pada penelitian arsitektur piramida. Ia meyakini bahwa Firaun menggunakan tepung kapur yang tersedia dalam jumlah melimpah di daerah mereka, dicampur dengan tanah biasa. Kemudian mereka menambahkan air dari sungai Nil dan menyalakan api hingga suhu 900 derajat Celcius. Proses pemanasan ini memberi kekuatan pada batu dan menjadikannya mirip dengan batuan alami.

Tentu saja, bila teori ini benar, maka proses pembangunan piramida tidaklah sesulit yang dibayangkan sebelumnya, karena ali-alih menambang batu-batu besar dan memindahkannya ke lokasi bangunan piramida, justru para pekerja masa itu melakukan pekerjaan yang sangat mirip dengan proses kontruksi masa kini, yaitu memindahkan bahan baku kapur, pasir, tanah liat dan sebagainya untuk kemudian dicampur, dicetah dan dikeraskan melalui pembakaran. Baru kemudian ditempatkan pada posisi yang telah direncanakan secara hati-hati.

Kembali ke Al-Quran, penggunaan tanah liat dalam proyek-proyek Firaun telah diiformasikan sejak 14 abad yang lalu dalam QS. Al-Qashash ayat 38. Bagi kaum muslimin, fakta ini tentunya akan mempertebal keimanan kepada Allah, Rasulullah dan al-Quran yang menjadi pedoman hidup di dunia. Lebih jauh, semestinya keimanan ini juga mewujud dalam kecintaan membaca, mengkaji dan menguji kembali informasi-informasi al-Quran dalam kehidupan nyata.

Dari segi moral, ayat diatas juga menunjukkan keponggahan Firaun dan pengikut-pengikutnya karena mereka memiliki teknologi yang sangat canggih sehingga berhak mengaku sebagai tuhan dan memperbudak manusia lain. Dalam ayat selanjutnya Allah menyatakan : Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.(39) Maka Kami hukumlah Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. (40)

Dirangkum dan disadur dari http://www.kaheel7.com/eng/index.php/unseen-miracles/442-new-facts-about-the-pyramids-a-new-miracle-of-the-quran
untuk rubrik sains majalah santunan edisi juli 2011

Rabu, Mei 18, 2011

Ketajaman Pedang Umar bin Khattab AlFaruq

yang pernah baca kisah miyamoto mushashi mungkin ingat ada bagian cerita dimana seorang jago pedang mengrimkan potongan rangkaian bunga kepada penantangnya, maksudnya supaya yang menantang bisa menilai betapa tajam kualitas pedang dan kematangan tekniknya dalam memotong tangkai bunga. tapi hanya mushasi saja yang memahaminya, karena dia juga ahli pedang.

yang baca cerita silat cina juga ada kisah serupa, ketika salah seorang jago pedang dari jepang menyambangi cina, dia memberikan ranting yang dipotong dengan pedangnya sebagai bahan uji kepada calon lawannya, sekali lagi yang mengerti ilmu pedang yang bisa memahaminya.

Jauh hari sbelumnya, kira-kira 1400 tahun yang lalu, kejadian serupa terjadi diantara para sahabat Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa Amru bin Ash yang menjadi gubernur mesir hendak menggusur rumah salah seorang penduduk miskin di sebuah lokasi yang hendak dijadikan masjid besar. Penduduk miskin ini adalah seorang beragama yahudi yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya berusaha dan mengumpulkan harta sehingga bisa memiliki rumah mungil tersebut. Tentu saja rencana penggusuran ini (meskipun ada ganti ruginya) sangat menyinggung rasa keadilan orang ini.

Dengan sisa-sisa kekuatan dan keyakinan yang ada pada dirinya, orang miskin ini menuju madinah untuk menuntut keadilan kepada Khalifah saat itu, Umar bin Khattab Al-Faruq. Singkat cerita, setelah mendengar dan memahmi maksud pengaduan orang yahudi ini, Umar meminta yang bersangkutan untuk mencari sepotong tulang unta.

Antara percaya dan tidak percaya, orang ini terpaksa juga mencari sepotong tulang dan menyerahkannya kepada Umar, Umar mencabut pedangnya dan menggores tulang tersebut dengan ujung pedangnya, lalu tulang diserahkan kepada si orang miskin dan minta diserahkan kembali kepada Gubernur Mesir kala itu, Amru bin Ash.

Sekali lagi, dengan rasa tidak yakin, si orang miskin ini kembali ke mesir dan menyerahkan titipan Khalifah kepada sang Gubernur, sepotong tulang untang yang tergores lurus oleh sebilah pedang. Kontan saja Amru bin Ash gemetaran dan keringat dinginnya bercucuran.

Si penuntut keadilan tadi bertanya " Kenapa anda menjadi begitu takut dan gemetar karena sepotang tulang ini?" Amru bin Ash lebih kurang menjawab " ini adalah pesan dari kahlifah supaya saya bertindak adil dan tidak mengabaikan sedikitpun rasa keadilan yang ada dalam setiap pribadi masyarakat saya, kalo tidak, artinya saya akan ditindak sebagaimana beliau menggoreskan tulang ini, begitu pula saya harus siap menerima konsekuensinya."

Boleh jadi, pesan Umar kepada Amr juga memiliki muatan ilmu pedang yang luar biasa, hanya ahli pedang saja yang bisa melakukan dan memahaminya. Mungkin saja gelar Al-Faruq tidak hanya bermakna pembeda antara yang Haq dan yang bathil, tapi juga merupakan pujian atas kehebatan ilmu pedangnya.


Pantas saja pasukan Islam dan para shahabat nabi adalah orang yang perkasa. Sampai sampai ada yang diberi gelar Saifullah (Pedang Allah) seperti Khalid bin Walid, bahkan Sahabat Ali bin Abi Thalib juga mendapat hadiah pedan Zulfaqar dari Allah SWT.


Wallahua'lamu bishshawab....!


Catatan : tulisan ini untuk membangkitkan kembali semangat saya yang rada kendur akhir-akhir ini. Insya Allah dalam waktu dekat rubrik bahasa aceh juga akan saya update lagi dari Majalah Santunan Kanwil Kemenag Aceh.

Rabu, Maret 30, 2011

tentang aikido yang islami

Risalah Pengantar

Aikido yang Islami

Sebagai pedoman bagi aikidoka muslim di Dojo Iskandar Muda Komplek Jasdam IM

Latar Belakang

  1. Agama Islam adalah agama yang sempurna secara fitrah;
  2. Ajaran Islam merupakan tolok ukur bagi ajaran agama dan budaya yang ada sebelumnya;
  3. Ajaran dan budaya yang berkembang di luar lingkungan Islam cenderung bersifat mistis, animis, dan mengandung unsur-unsur kesyirikan terhadap Allah SWT;
  4. Aikido dikembangkan oleh Morihei Ueshiba yang berpaham shinto dengan banyak dewa dan memuja roh-roh leluhurnya;
  5. Hadis nabi bahwa Ilmu Allah (hikmah) adalah milik orang beriman, maka ambillah meski dari mulut seekor anjing (dalam hal ini tentu melalui penyaringan dan pemilahan mana yang benar dan mana yang salah);
  6. Umat Islam yang berlatih aikido.

Maksud dan Tujuan

  1. Menjelaskan unsur-unsur praktik aikido yang tidak sesuai dengan ajaran Islam;
  2. Menjelaskan filosofi aikido yang tidak sesuai dengan ajaran Islam;
  3. Membuat pedoman bagi peserta latihan Aikido yang beragama Islam.

Metode dan Sumber Rujukan

  1. Bersikap hati-hati terhadap sesuatu yang tidak diketahui seluk beluknya;
  2. Memelihara keimana dalam fitrah agama Islam;
  3. Merujuk kepada ajaran Al-Quran;
  4. Merujuk kepada tuntunan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw;
  5. Memperhatikan pendapat dan pandangan Ulama-ulama Islam;
  6. Mengikuti jejak yang baik dari para pendahulu muslim di bidang beladiri;
  7. Selalu bersikap terbuka terhadap kritik dan memperbaharui ilmu dan pemahaman.

Pembahasan

Pasal 1

Tentang Upacara Latihan

  1. Memulai latihan dengan salam Islam, dan berdoa kepada Allah SWT semoga latihan ini bermanfaat bagi kesehatan, dan ilmu yang diperoleh dapat diamalkan untuk kebaikan pribadi, keluarga, masyarakat dan Agama Islam, berdoa semoga latihan dapat berjalan dengan lancar, tidak terjadi kecelakaan, dan dijauhkan Allah dari segala fitnah dan gangguan, berdoa semoga dimudahkan dalam berlatih dan memperoleh pengetahuan.
  2. Tidak menggunakan lagi sikap dan ungkapan menghormat “rei,” “oneiguzaimaz,” dan “arigatoguzaimaz,” karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak diketahui makna dan maksudnya secara pasti.
  3. Sikap duduk tetap dipertahankan.
  4. Berdoa tidak perlu menutup mata, karena bukan meditasi.
  5. Istilah-istilah dalam diganti menjadi “Assalamualaikum-Wa’alaikumussalam,” “Siap,” “Lanjutkan,” “Silahkan,” “Terimakasih.”
  6. Menutup latihan dengan salam dan berdoa.

Pasal 2

Tentang Penyelenggaraan Latihan

  1. Latihan dimulai dengan salam.
  2. Dalam latihan bersama, tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisahkan.
  3. Tidak merujuk senioritas dalam urutan duduk.
  4. Bila dimungkinkan, peserta latihan laki-laki terpisah dengan peserta latihan perempuan, baik tempat maupun jadwal latihannya, termasuk pelatih juga disesuaikan.
  5. Pakian latihan harus menutupi aurat.
  6. Latihan teknik harus didahului dengan pemanasan untuk mencegah cidera.
  7. Latihan diakhiri dengan pendidinginan atau relaksasi sebelum ditutup.
  8. Saling hormat-menghormati selama latihan.
  9. Mempertimbangkan kondisi kesehatan peserta latihan.
  10. Terbuka untuk pertanyaan, kritik dan saran perbaikan.

Pasal 3

Tentang teknik-teknik Aikido

  1. Penamaan dan penyebutan teknik merujuk kurikulum Aikido, tidak dilakukan penerjemahan kecuali untuk memudahkan pemahaman.
  2. Teknik diajarkan sesuai dengan kurikulum dari organisasi induk.
  3. Selalu memohon petunjuk Allah dalam mengeksekusi teknik aikido (Nage).
  4. Selalu berlindung kepada Allah dalam menerima teknik aikido (Uke).

Pasal 4

Tentang filosofi Aikido dan Ajaran Islam

  1. Konsep Ki di aikido tidak bisa dipahami dalam konteks Islam, kita meyakini pertolongan Allah dalam setiap tindakan dan perbuatan kita, termasuk dalam mengeksekusi teknik aikido.
  2. Harmoni dengan alam dalam konteks Islam berarti bertindak selaku khalifah Allah dalam mengayomi makhluk lainnya sesuai dengan tuntutan dan ajaran Islam.
  3. Aikido adalah salah satu beladiri, bukan satu-satunya beladiri yang boleh dipelajari umat Islam, yang tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, baik teknik maupun filosofinya.
  4. Tidak memaksakan tenaga berarti tidak memaksakan kehendak untuk menjatuhkan dan mencederai lawan atau partner latihan, akan tetapi melakukan teknik aikido secara hati-hati dan mempertimbangkan kemungkinan kelemahan lawan.
  5. Center point adalah titik keseimbangan tubuh dalam berbagai kondisi, tidak mesti merujuk pada salah satu anggota atau bagian tubuh.
  6. Selalu bertwakal kepada Allah dalam setiap keadaan, bukan menyerahkan diri pada kehendak alam.
  7. Dalam latihan memang tidak ada musuh atau lawan, yang ada adalah kawan atau saudara yang menjadi partner latihan, karenanya harus bersikap saling menghormati, saling membantu, dan tidak egois.
  8. Di dunia nyata, sesuai petunjuk Allah, orang-orang beriman memiliki musuh yang nyata, baik dari golongan jin maupun manusia, jadi bertindak membeladiri, memebela keluarga, membela iman dan kebenaran adalah bagian dari agama.
  9. Berprasangka baik adalah ajaran agama, dan mengharapkan kebaikan dan pertoubatan musuh adalah sebuah kebaikan, karena eksekusi teknik aikido tidak boleh mencederai apa lagi membunuh lawan, hanya untuk menguasai dan mengendalikan lawan sehingga bisa diklarifikasi dan diarahkan kepada kebaikan.
  10. Dalam kondisi kritis, bertwakal kepada Allah adalah solusi, dan kita berharap bahwa tindakan kita membawa kebaikan dan sesuai dengan kehendak Allah, bukan karena nafsu.
  11. Hal-hal lainnya terbuka untuk didiskusikan.

Pasal 5

Tentang Mengikuti Ujian dan Latihan Bersama dengan Non Muslim

  1. Lakukanlah konsultasi dengan penguji, pelatih, atau panitia tentang keberatan-keberatan kita.
  2. Intinya adalah memelihara keyakinan, lakukanlah penyesuaian seperlunya saja.

Penutup

  1. Pelajari kembali agama dengan sungguh-sungguh, banyak bertanya dan mengkaji berbagai sumber tentang aikido dan Islam;
  2. Amalkan ilmu yang sudah diketahui;
  3. Keputusan bersifat pribadi-pribadi, tidak ada paksaan, karena kita masing-masing akan mempertanggungjawabkannya nanti dihadapan Allah SWT.

Banda Aceh, 23 Maret 2011

Disusun Oleh Khairuddin Aba, Kyu 2


Catatan : Materi ini sebelumnya di muat sebagai note di account facebook saya, dan mendapatkan beberapa komentar/kritik yang positif. mohon dilanjutkan kritik dan masukan kostruktif lainnya supaya bisa kita jadikan buku sekalian. Terimakasih sebelumnya

Rabu, Februari 23, 2011

Bahasa di Aceh 9

berikut salinan bahasa di aceh dari majalah santunan edisi februari 2011

Bahasa di Aceh 8

berikut bahasa di aceh dari majalah santunan edisi desember 2010

Bahasa di Aceh 7

berikut salinan bahasa di aceh dari majalah santunan edisi november 2010

Bahasa di Aceh 6

berikut salinan ensiklopedia bahasa di aceh dari majalah santunan edisi oktober 2010

Bahasa di Aceh 5

berikut salinan bahasa di aceh dari majalah santunan edisi september 2010

Bahasa di Aceh 4

berikut salinan ensiklopedia bahasa di aceh dari santunan edisi agustus 2010

Senin, Februari 21, 2011

Bahasa di Aceh 3

berikut salinan ensiklopedia bahasa diaceh dari majalah santunan edisi juli 2010

Bahasa di Aceh 2

berikut salinan ensiklopedi bahasa di aceh dari majalah santunan juni 2010

Bahasa di Aceh 1

berikut salinan ensiklopedi bahasa di aceh dari majalah santunan mei 2010

Minggu, Januari 23, 2011

Siti Zahira Putri Kami

Alhamdulilllah, pada tanggal 18 Januari 2011 yang lalu, isteri saya melahirkan putri kami, anak kami yang kedua. Yang pertama, lak-laki, Shalahuddin Aba, lahir pada 24 Agustus 2007.

Mudah-mudahan, kehadiran bayi mungil ini menjadi rahmat dan pelajaran bagi rumah tangga kami, sehingga kami lebih pandai untuk bersyukur dan mencita-citakan kebaikan bagi seluruh masyarakat, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan dicontohkan oleh Rasulullah, Muhammad SAW.

Siti Zahira, putri kami, semoga menjadi wanita shalihah yang memelihara keimanan dan kehormatannya, dan menjadi ibu yang mulia, istri yang bertanggungjawab, serta saudari yang selalu sedia membantu.

Anak-anak kami, kehadiran kalian ke dunia ini adalah kehendak Allah, dan dengan takdir-Nya pula kalian, dan kita semua akan kembali kepda-Nya.

Kita lahir tanpa atribut fisik keduniaan, hanya insting kemanusiaan. Maka kita harus mempersiapkan diri untuk kembali menghadap Allah, juga bukan dengan atribut fisik duniawi, tapi dengan mematangkan potensi kemanusiaan kita yang dalam al-Quran disebut sebagai fitrah.

Semoga Allah selalu memelihara kita, amin.....!

Minggu, Januari 09, 2011

Korupsi, Baunya Juga Jangan!


Ini kisah tentang keteguhan seorang sahabat saya dalam menghindari korupsi. Baginya, korupsi bukan sekedar melakukan atau tidak melakukan, bahkan baunya juga jangan dekat-dekat.

Beberapa waktu yang lalu, shabat saya ini memberikan kabar gembira di sela-sela latihan aikido di dojo kami. "Kawan-kawan, saya sudah lulus CPNS di Depkes, di KKP Kota S," katanya gembira. Wah, sungguh kabar yang menggembirakan.

Malam itu, usai latihan kita ngumpul bareng di salah satu Cafe milik anggota dojo juga, dalam rangka syukuran kelulusan sahabat kami itu, kita dibayarin makan minum sewajarnya saja, selebihnya ya bayar sendiri.

Beberapa waktu dia tidak hadir latihan, karena mengurus berkas-berkas kelulusannya sebagai CPNS, kebetulan dia dokter yang selama ini kami tau mengabdikan dirinya di rumah sakit jiwa di kota kami. Dia orang yang baik, kami mendoakan semoga semua proses yang dialuinya berjalan lancar.

Seminggu berselang, sahabat ini kembali hadir di dojo untuk latihan, tapi kali ini kabar yang dibawanya kurang sedap. Di tempat dia akan ditugaskan, aroma korupsi sangat kental baunya, mengalahkan aroma kupi ulee kareng yang sering kami minum saat ngumpul bareng usai latihan. "Kurupsi sudah menjadi biasa dan dilakukan terang-terangan, yang tidak mau ikutan dianggap bodoh dan diasingkan," ceritanya sama kami.

Kami hanya mengurut dada saja, memang korupsi saat ini ada di mana-mana. Kami hanya menasihatinya untuk sabar "Yang peting abang kan tidak korupsi juga," kata saya ketika itu.

Beberapa waktu berselang, sang sahabat tidak menunjukkan dirinya di dojo. Mungkin yang bersangkutan sibuk bekerja di tempat barunya di Kota S. Saya pribadi juga tidak punya firasat apa-apa tentang sahabat yang satu ini.

Kemarin sore, dia kembali hadir latihan, bahkan datang lebih awal dari biasa. Pertanyaan pertama yang diutaraknnya kepada saya "Ada kontak aikido gak di Kota M, mungkin nanti saya latihan aikido di sana," katanya. Saya heran "Bang, emang udah pindah tugas dari Kota S ke Kota M, cepet banget urusannya," saya menimpali.

"Bukan, saya sudah mengundurkan diri," kata sahabat ini kalem. "Kok, mengundurkan diri, kan susah untuk lulus CPNS di zaman ini, bang?" tanya saya tambah penasaran.

"Saya tidak betah di sana, jiwa saya tidak tenang di lingkungan orang-orang yang korup. Maka saya memutuskan berhenti saja. Rezeki itu sudah diatur oleh Allah," sahabat ini menjelaskan.

"Jadi di Kota M nanti ngapain?" tanya saya, masih antara percaya dan tidak percaya. "Orang tua saya sudah tua di Kota M, saya ingin menjaga orang tua, sekalian mencari penghidupan di sana, mudah-mudahan jiwa saya bisa lebih tenang," katanya.

"Oke, bang. Abang hebat, kami salut dengan keputusan abang," saya mengapresiasi keputusan sahabat ini, begitu mulia cita-citanya, menjaga orang tua, dan menghindari lingkungan yang korup. Saya pribadi berdoa, semoga usahanya di Kota M nanti dimudahkan Allah, dan dia selalu dipelihara dari praktik-praktik yang koruptif, demikian pula halnya dengan saya dan sahabat-sahabat lain di sini.

"Nanti sms aja ya, nomornya," sahabat ini mengingatkan saya seusai latihan. " Ya, bang, segera," jawab saya. Tidak hanya segera memberinya kontak person aikido di Kota M, tapi juga segera untuk membagi pengalaman ini dengan sahabat-sahabat yang lain.

Sekali lagi, salut buat abang!

(maaf bila ada yang tersinggung, tulisan ini semata-mata untuk membuka mata dan hati kita, mari sama-sama memperbaiki diri, bukannya memelihara alasan untuk pembenaran praktik-praltik koruptif kita)