Minggu, Mei 26, 2013

Menyambut Ramadhan dengan Khilafiyah

Tidak lama lagi, kita akan menyambut Bulan Ramadhan 1434 H yang bertepatan dengan tahun 2013 M. Sudah sepantasnya, Ramadhan yang datang saban tahun tidak hanya menjadi momen puasa semata, tapi juga harus menjadi momen mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, dan yang lebih penting lagi adalah momen untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih takwa.

Kenyataannya, setiap kali ramadhan dan syawal menjelang, orang-orang malah menjadi kerdil, dunia menjadi sempit, bahkan pahalapun mungkin habis oleh kemarahan, kata-kata kasar, hingga putusnya silaturrahmi hanya karena beberapa perbedaan yang tidak esensial dalam ajaran Islam.

Katakanlah, misalnya yang tiap tahun jadi persoalan adalah penetapan hari pertama ramadhan dan 1 syawal. Memang dalil-dalil agama menberi peluang terjadinya perbedaan penafsiran dan penanggaan, akan tetapi bukan berarti umat Islam tidak bisa sepakat dan satu suara jika mereka, terutama para pemimpinnya mau berpikiran terbuka dan berjiwa besar, kenapa? Karena masyarakat kita besar, wilayah kita luas, harus menggunakan paradigma yang besar dan luas pula tentunya.

Tapi, bila kuga masih ada yang berbeda, bukan berarti mereka sudah keluar dari agama, sekali lagi memang besar sekali peluangnya untuk berbeda, khususnya bagi yang enggan menerima kenyataan bahwa alam bisa dikendalikan manusia melalui bantuan teknologi sebagaimana Janji Allah. Tap, sekali lagi, tidak perlu menjadi kerdil, justru di situ peluang kita meraih pahala dan takwa, bukan malah berpecah belah menjadi domba yang siap diterkam serigala.

Apa lagi? tentu masalah tarawih, ibadah sunnat yang apresiasinya melebihi ibadah-ibadah lain yang wajib menurut saya. Padahal, sebagai bonus di bulan ramadhan, sah-sah saja dilaksanakan secara variatif oleh umat islam, baik rakaat, baik salam, baik salawat, maupun pemilihan waktunya.

Bukankan ibadah selalu memiliki dimensi kuantitatif dan kualitatif? maka sesuai kecendrungan dan kemudahan yang kita miliki, tidak perlu pula mencela pilihan orang lain yang sesuai dengan kecendrungannya. Orang yang beribadah harus diapresiasi positif, bukan malah didera dengan cap bid'ah misalnya.

Tadarus juga masih sering jadi masalah di lingkungan kita. Benar bulan ramadhan momen turunnya al-Quran, benar juga kalo semua ibadah pahalanya berlipat di malam-malam spesialnya, tapi jangan sampai pula, kerakusan kita akan pahala mengusik kenyamanan ibadah saudara kita sesama muslim yang lainnya, baik di masjid, di mushalla, maupun di rumah-rumah, khususnya mereka yang renta atau mengalami masalah dengan kesehatan.

Yang terakhir, sepertinya memang berada di wilayah kewajiban, yaitu zakat fitrah di akhir ramadhan. Tapi bagaimana melaksanakannya, bagaimana ukurannya, apa saja yang dizakatkan, hingga berapa dan siapa yang menerima adalah wilayah ijtihad yang sangat luas, seluas surga dan rahmat Allah. Maka, menurut saya, bagi yang menyempitkannya, maka makin sempit pula dunia dan surganya, dan bagi yang memperluasnya, akan cenderung luas pula dunia dan surganya.

Mari, semakin hari semakin dekat dengan Allah, semakin luas jatah pahala dan surga kita, karena semakin hari pula, waktu kita semakin sedikit, dan maut menjadi semakin dekat. Akhirul kalam, selamat menyambut ramadhan, meskipun belum tentu kita akan masih hidup di dalamnya.