“Bunda, apakah anak-anak sudah tidur?” Sulaiman bertannya pada istrinya, Masyithah.
“Ya, ayah. Anak-anak sudah tidur pulas,” jawab Masyithah
lembut, khawatir anak-anaknya terganggu.
“Bunda sudah baca berita di Koran hari ini?” Lagi, tanya
Sulaiman pada Masyithah.
“Ya, ayah. Miris sekali nasib anak itu, padahal dia satu-satunya
pelita keluarganya.” Masyithah menimpali.
“Masih ada Allah, bunda,” kata Sulaiman sabar. “Di balik
semua peristiwa tentu ada hikmahnya,” tambah Sulaiman.
“Benar, ayah. Tapi apakah hukum sudah sedemikian kabur,
sehingga tidak ada yang melindungi Nadia kecil, dan orang tuanya yang lemah?”
Kembali Masyitah bertanya.
“Tidak juga, bunda. Hukum masih tetap ada. Hanya saja,
hukum berlaku bagi orang yang menerimanya.” Jawab Sulaiman tetap sabar.
“Ayah, apakah kelak, ketika si Anisah dan Rahimah sudah
sekolah, kota ini akan menjadi lebih aman bagi mereka? Atau sebaliknya,
anak-anak tidak berani kita lepas pergi ke sokolah?” Tanya Masyithah.
Sejenak Sulaiman terdiam. Jemarinya saling menggenggam,
setelah menarik nafas panjang, katanya “Bunda, sudahlah. Tidur dahulu bersama
anak-anak. Kita harus tetap optimis dengan masa depan. Ayah kira, peristiwa ini
cukup untuk menyadarkan Pak Walikota, Gubenur, Polisi, juga Jaksa, untuk
menjamin rasa aman masyarakatnya kelak.”
“Baiklah ayah, bunda permisi dulu,” kata Masuyithah undur
diri menemani tidur anak-anaknya.
“Ya,” jawab Sulaiman singkat.
Selanjutnya Sulaiman kembali menarik nafas panjang.
Sulaiman sebenarnya tidak begitu yakin dengan apa yang diucapkannya. Kasus
Nadia bukan yang pertama dan terkahir, meskipun terkesan tragis dan
menggenaskan.
Jika Sulaiman tidak salah ingat, seminggu sebelumnya teror
yang sama juga menimpa gadis belia yang sedang pergi mengaji. Belum lagi,
bunuh-membunuh sepertinya juga sudah menjadi cara baru menunjukkan emosi.
Sulaiman sendiri tidak bisa membayangkan, bila
anak-anaknya, Anisah dan Rahmah besar kelak akan hidup dalam situasi dan
lingkungan yang berbahaya seperti ini.
“Sepertinya orang-orang besar tidak peduli dengan
masalah-masalah remeh seperti ini,” batin Sulaiman. Mereka sedang sibuk
mempermasalahkan, apakah bendera kuning lebih baik dari bendera hijau atau
sebaliknya.
Ya, bagi yang kuning, itu perlambang kemegahan,
kesuksesan, cita-cita besar, lapangan kerja, hotel mewah, makmur. Hijau hanya
perlambang romantisme picisan, sudah ketinggalan zaman.
Bukan, kata yang hijau, itu perlambang kesejahteraan,
kemandirian, sawah lading yang subur, hutan-hutan yang rindang, sayur dan buah
yang segar, masyarakat yang sehat dan kuat. Bahkan kuning merupakan perwakilan ketamakan,
keserakahan, ketidakadilan.
“Entah mana yang benar,” kembali Sulaiman membatin.
Baginya, masalah tersebut sangat pelik, terlebih bagi seorang tukang sapu
kontrak bulanan. Hari-harinya adalah menyapu dan terus menyapu, demi senyum dua
putrinya di sore hari, ketika dia pulang mereka berteriak “Itu ayah pulang….”
Sulaiman memang puas setelah gedung yang menjadi
bagiannya menjadi bersih, rapi, indah dan wangi. Tapi Sulaiman tidak berani
bermimpi bila keesokan harinya dia tidak menemukan abu rokok, bungkus permen, atau
sobekan kertas yang berserakan di bawah meja atau sudut ruangan. Dia takut
tidak akan melihat senyum istri dan anaknya lagi.
“Kasihan anak itu, seharusnya dia masih bisa tersenyum
untuk kedua orang tuanya setiap hari,” batin Sulaiman penuh iba. Air matanya
menetes, air mata orang tua.
Malam sudah lewat pukul 2 pagi, ketika Sulaiman beranjak
dari sajadahnya menuju kamar mandi, membersihkan dua botol susu sisa Anisah dan
Rahmah yang sudah terlelap, untu kemudian diisi kembali dengan air putih.
“Anakku, ayah tidak bisa menjanjikan dunia yang lebih
baik bagi kalian,” batin Sulaiman sambil memegang botol susu.
“Tapi ayah masih bisa berdoa, supaya kalian bisa menjadi
anak-anak yang sehat, sejahtera dan panjang umur. Ayah masih bisa berdoa supaya
kalian selalu dalam lindungan Allah, mendapat jodoh yang baik, memiliki keturunan
yang baik, cahaya bagi dunia yang lebih baik.”
Sulaiman melangkah perlahan menuju kamar anak-anaknya,
ketika suara ribut bebek terdengan dari belakangnya. “Kwek-kwek-kwek………kwek….kwek….kwek……..”
Sulaiman bergegas keluar
menuju belakang rumah kecilnya, dimana selusin bebek menjadi penghuninya. “Siapa
di situ?” Tanya Sulaiman tegas. Sesosok bayangan tiba-tiba menerjangnya dari
belakang. “Aduh…..” jerit Sulaiman tanpa perlawanan.
“Habisi saja!” kata sebuah
suara. “Kita mesti buru-buru sebelum tertangkap warga,” kata suara lainnya.
“Siapa kalian?” Tanya Sulaiman
terbata-bata, menahan sakit di pinggang bagian belakangnya.
“Ciaatttt….” “Aaah….”
“Cepat kabur sebelum warga
lainnya menyusul kemari,” kata sebuah suara yang diikuti gerakan cepat empat
orang yang melarikan diri dalam remang cahaya bulan empat belas, meninggalkan
Sulaiman penuh darah, terkapar di belakng rumahnya, ditemani selusin bebek.
“Kwek…..kwek…..kwek……..”
***
“Ayah kemana, bunda?” Tanya Anisah
dengan suaranya yang masih polos. “Ya, bunda. Ayah biasanya sering gendong
adek, bunda.” Si Rahmah menimpali.
“Sabar sayang, ya. Ayah lagi
pergi kerja,” jawab Masyithah penuh haru.
“Tapi kok lama, bunda?” Tanya
Anisah lagi.
“Ya, nak. Ayah kerja berat
supaya kalian bisa pakai baju untuk hari raya,” jawab Masyithah lembut.
“Hore…. Adek mau baju baru
yang merah ya bunda…!” Kata Rahmah menimpali.
“Ya, sayang. Sekarang mari
kita berdoa untuk ayah, ya!” kata Masyithah sambil memeluk kedua putrinya.
“Ikuti bunda ya…!” “Allahummaghfirlahu…….
Warhamhu….. wa’afirhi…. Wa’fuanhu…….!”
“Amin……!” jawab Anisah dan
Rahmah serentak.
“Kenapa nangis, bunda?” Tanya
Anisah polos.
“Tidak, nak. Bunda hanya
terlalu khusyuk berdoa,” jawab Masyitha sambil menghapus air matanya.
“Iya, kakak. Kata ayah doa
harus khusyuk biar diterima sama Allah,” kata Rahmah dengan manja.
“Benar, anakku. Sekarang kita
bobok ya!” Masyitah mematikan lampu dan memeluk anaknya dalam doa.
***
Empat Terangka Perampokan dan
Pembacokan Ditangkap Polisi, Satu Ditembak di Kaki
BeritaPro: Kepolisian telah
berhasil menangkap empat orang yang diduga kuat telah melakukan perampokan
sebulan yang lalu. Satu diantaranya terpaksa ditempak di kaki karena berusaha
melarikan diri.
Setelah merampok sebuah ruamah
mewah, mereka juga diduga membacok seorang warga masyarakat yang kebetulan
memergoki mereka sesaat sesudah berhasil membawa kabur barang-barang berharga
dari lokasi perampokan.
Dari hasil olah TKP, polisi
memang menemukan mayat Sulaiman (40) yang tergeletak di belakang rumahnya
bersimbah darah, tidak jauh dari rumah di mana perampokan terjadi. Kita tunggu
hasil penyelidikan polisi selanjutnya. (abs)
Banda Aceh, 2 April 2013.