Senin, Februari 27, 2012

Iman, Pengetahuan dan Open-minded

Ada fenomena yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini, kebetulan tidak jauh-jauh dari dunia beladiri yang saya geluti dan juga tema-tema keagamaan yang saya gandrungi. Dua-duanya memang menjadi hobi, yang pertama sebagai sarana jihad, dan yang kedua adalah wujud dari kepedulian saya untuk memelihara Iman suapaya tetap segar dari waktu ke waktu.

Masih ingat tentang FPI? Ya, FPI memang salah satu organisasi islam yang militan, namun bukan berarti bahwa yang berkeinginan supaya FPI dibubarkan juga tidak militan. Sudahlah, ini juga bagian dari pelajaran menjadi dewasa sebagai bangsa yang mayoritasnya orang Islam. Tapi yang kita sayangkan adalah, banyak orang Islam sendiri yang tidak nyaman dengan imannya, merasa terpenjara dengan imannya, bukannya merasa aman dan tenteram.

Ini indikator bahwa kita sudah sangat rentan dengan iklan-iklan konsumeristik yang lazim di telivisi, koran, majalah hingga media maya. Semakin sesak dada ketika kita menyatakan diri sebagai muslim, baik ketika sendiri maupun di muka umum, itu tandanya iman kita sudah sangat-sangat rapuh, dan sungguh emergensi untuk mengobatinya kembali, menjadi kuat dan segar, sehingga kita tidak ragu untuk menjadi seorang mukmin dan muslim yang kaffah, bukan sekedar shaleh saja.

Dari awal, kebenaran memang tidak bisa diterima oleh semua pihak, bukankah kita diajarkan bahwa setan dan kelompoknya tidak akan pernah senang dengan kebenaran? Lalu kenapa kita harus memeras otak supaya bisa diterima oleh semua pihak? Saya kira ini tidak rasional sekaligus tidak realistis.

Saya ingat petuah ayah saya, kalo ada orang yang dianggap baik oleh semua orang, itu artinya dia munafik. Karena tidak mungkin ada orang baik yang disenangi oleh semua pihak, tentu ada sesuatu yang menjadi alasannya, mungkin dia bisa punya beragam wajah dihadapan orang yang berbeda-beda.

Kembali ke judul ya….

Iman itu adalah anugrah, rahmat, hidayah, sekaligus perjuangan. Kenapa? Allah sudah menjelaskan dalam Alquran bahwa iman itu adalah ‘hadiah-Nya’, jadi tidak semua orang akan dapat hidayah, tetap saja ada yang kafir sampai hari kiamat. Jadi bagi yang sudah memiliki iman, ini patut disyukuri, dan tentunya diperjuangkan supaya tetap sehat kondisinya, karena rasul pernah bersabda, iman itu bisa naik dan juga bisa turun, atau dengan redaksi yang lain, iman itu bisa datang dan juga bisa pergi, misalnya dalam kasus orang yang mencuri dan berzina, ketika melakukannya, imannya pergi, ketika imannya kembali, dia menjadi menyesal.

Bagaimana seandainya iman ini tidak kembali lagi???? Nauzubillahi minzalik…..

Pengetahuan adalah salah satu atribut yang dibutuhkan oleh iman supaya bisa tetap segar dan berada pada kondisi yang sehat. Jadi, pengetahuan juga harus selalu diperbaharui supaya iman kita tidak lapuk dan akhirnya menjadi mitos dan anekdot yang memprihatinkan (mengutip istilah ust. Agus Mustafa dalam bukunya Mitos dan Anekdot di Sekitar Umat Islam).

Lalu ada apa dengan open-minded. Nah, ini adalah salah satu sikap yang harus dimiliki supaya kita mudah meng-update dan memenej ilmu pengetahuan kita. Dengan berpikir terbuka, kita bisa mudah mengakses berbagai macam fenomena yang ada di sekitar kita.

Tapi juga ada syaratnya, open-minded itu hanya sebatas pengetahuan lho, imannya gak bisa di-open-minded-kan. Dalam terminologi yang berbeda bisa kita istilahkan iman sebagai bagian dari akidah, sedangkan pengetahuan merupakan bagian dari sunnatullah fil alam. Dengan iman yang benar, dan pikiran yang terbuka, kita akan lebih bijak menilai situasi, dan tentunya lebih nyaman dalam beribadah kepada Allah, dan berbuat baik kepada semua makhluk-Nya.

Lucunya,akhir-akhir ini, dalam hal beragama (beriman), banyak orang tidak mau merasa awam dan mengakui otoritas orang yang lebih menguasai ilmunya. Semua merasa sudah punya pijakan sendiri dan berhak untuk menentukan mazhabnya masing-masing. Dalam konteks ini. Istilah bid’ah, salah, tidak tepat, tidak benar, tidak sesuai dengan Alquran dan Hadis tidak berlaku, yang berlaku adalah sesuai dengan selera saya. Terus terang ini berbahaya….

Ada kadar tertentu yang harus dicapai sehingga kita bisa memilih jalan sendiri dalam beragama, itupun bukan jalan baru, melainkan jalan-jalan lama yang sudah pernah diuji oleh orang-orang sebelumnya yang lebih bijak, lebih fasih dan lebih serius dalam mendalami agama (para ulama).

Jadi kita harus keluar dulu dari batas awam menjadi muttabi’, artinya naik tingkat dulu dari kondisi beragama karena ikut-ikutan atau karena sekedar suka dan tidak suka, cocok dan tidak cocok menjadi kondisi dimana kita mengerti kenapa kita memilih mazhab yang satu, dan orang lain memilih mazhab lainnya.

Jadi orang awam semestinya ngak boleh sembarangan dalam memelihara imannya, harus memperhatikan rambu-rambu dan aba-aba dari yang lebih tinggi otoritasnya, kalo mau independen ya cukupi dulu syarat-syaratnya, tidak sekedar suka-suka.

Ironisnya, di dunia beladiri berlaku fenomena yang berkebalikan, kalo di bidang agama orang cenderung ingin bebas dan tidak ingin terikat, justru di dunia beladiri ada istilah bid’ah, bahkan murtad juga. Ha……ha…….ha……. saya kira ego kita selalu ingin menjadi lebih besar. Dalam kondisi di mana kita awam kita ingin keluar dari otoritas yang lebih superior, sebaliknya dimana kita punya otoritas, kita berusaha memaksakan ide kita kepada yang lain, karena kita merasa punya lebih banyak pengetahuan, dan kebenaran yang kita junjung lebih valid.

Sekali lagi, berpikiranterbukalah….. lihat sekeliling dunia ini, dan bandingkan dengan firman Allah dan hadis-hadis rasul-Nya. Gak bisa? Ya belajar…. Oh gak sempat? Berari sebaiknya ya diam saja, karena anda sama sekali tidak layak mendiskusikannya.
Wallahu a’lam…….

Senin, Februari 06, 2012

Ketika Saya Seorang Shodan


Akhir Januari yang lalu, saya dan seorang sempai (senior) mengikuti ujian shodan di Jakarta. Alhamdulillah, menurut pernyataan Guru Besar kami, Ganamurti Sensei, semua yang ikut ujian kemarin dinyatakan lulus, yaitu 16 orang shodan (sabuk hitam tingkat 1), 4 orang Nidan (sabuk hitam tingkat 2) dan 1 orang Sandan (sabuk hitam tingkat 3). Beladiri yang selama ini kami seriusi adalah aikido.

Lantas kalo sudah shodan ngapain, apa sudah bisa pamer, sudah bisa mendikte teknik, atau juga menerima tantangan dari yang lain? Beberapa pertanyaan itu memang muncul, baik dari diri saya pribadi, maupun dari kawan-kawan yang lain.

Salah seorang senior menasehati, sabuk hitam itu (shodan) belum ada apa-apanya, itu hanya sekedar penghargaan atas dedikasi kamu berlatih dengan tekun selama sekian lama, itu belum bisa dijadikan ukuran penguasana teknik dan kematangan mental. Ente justru baru memulai dan baru akan dinilai dengan serius apakah dedikasinya selama ini serius atau hanya sekedar cari gengsi saja.

Benar, harus saya akui bahwa teknik dan mental saya memang belum matang, dan nasehat ini saya kira datang tepat waktunya, untuk menyelamatkan saya dari lupa diri dan rasa bangga yang berlebihan, mengingat untuk mencapai shodan saja butuh pengorbanan yang lumayan, baik fisik, waktu, materi dan juga mental.

Tapi saya juga harus jujur kalo sabuk hitam ini juga suatu prestise dan tentunya mempengaruhi image dojo di mana saya berlatih dan melatih kawan-kawan yang lainnya. Sepertinya ada keberanian lebih untuk melakukan intervensi teknik bagi yang lebih junior, juga untuk interupsi di antara para senior, he….he…... sabuk hitam gitu loh….

Masya Allah, mudah-mudahan ini bukan bagian dari riya, takabur dan sifat-sifat tercela lainnya. Ibarat wisuda sarjana S1, ijazah ini memang meupakan suatu bukti atas beberapa kompetensi yang telah kita kuasai, meskipun belum tentu memadai untuk menutupi kebutuhan rill di dunia nyata, misalnya dunia kerja, hubungan sosial, dan lain-lain.

Demikian pula lebih kurang dengan sabuk hitam saya, saya masih harus belajar banyak untuk bisa layak dengan tuntutan rill dunia nyata, juga tentunya untuk terus berkembang, bukankah masih banyak tantangan untuk bisa naik tingkat ke Nidan, Sandan, dan juga Yondan???

Selain itu, saya pribadi juga punya misi yang harus saya wujudkan, khususnya setelah saya sudah sabuk hitam dan pegang dojo sendiri, yaitu niatan untuk membersihkan aikido dari unsur syirik.

Tujuan saya ini bukanlah untuk mengubah atau merusak aikido dari apa adanya, justru saya hendak menyempurnakan aikido itu menjadi lebih baik, khususnya filosofinya yang pantas untuk dipahami dan direnungi oleh sebagian paraktisi, khususnya saya dan rekan-rekan saya di dojo yang beragama Islam. Toh bagi non muslim juga tidak ada larangan untuk ikut belajar.

Sekali lagi, tujuan saya hanya untuk meluruskan pemahaman saja bahwa sebagai muslim kita terikat dengan tauhid dan syariat. Jadi tidak boleh mentah-mentah menerima begitu saja unsur-unsur asing meskipun kita merasa nyaman dengannya, harus ada upaya untuk klarifikasi, tabayyun dengan ajaran agama, dengan al-Quran dan juga sunnah Nabi SAW.

Shodan oh shodan, jadi eforia saya…. He….he…..he…..

Sebagai pengingat, sabuk hitam yang baru saya beli, saya bawa ke tukang bordir. Di satu sisi minta dibordir kanji Jepang dan Latin dengan bunyi Aikido, supaya yang lain-lain kalo lihat bisa tau ini latihan aikido, bukan karate atau kempo yang selama ini lebih populer di masyarakat umum.

Di sisi lainnya, saya minta dibordirkan suatu logo yang berbunyi Aikido Islami, sekali lagi ini bukan untuk pamer, tapi untuk mengingatkan saya kalo saya punya kewajiban untuk mengatkan diri dan saudara-saudara saya yang muslim untuk beriman secara kaffah, termasuk juga waktu latihan aikido.

Saya akhiri dengan kutipan dari al-Quran, Allah berfirman : Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.

Wallahu waliyuttaufiq wal hidayah, wallahu a’lamu bishshawab…..