Sabtu, Agustus 06, 2011

Rukun Puasa bagi Pemimpin

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt berfirman tentang orang yang berpuasa “Puasa itu untuk-Ku, maka Akulah yang akan membalasnya.” Menurut mufassir, pernyataan Allah ini terkait dengan kerahasiaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.

Dari segi rukun, puasa hanya memiliki dua rukun saja, yaitu niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Pun demikian, dari segi durasi waktu pelaksanaan, puasa adalah yang paling panjang dari ibadah-ibadah lainnya, termasuk juga ibadah haji.

Apa keistimewaan ibadah puasa ini? Dibandingkan ibadah-ibadah lainnya yang bersifat lahiriah dan terukur secara kasat mata seperti shalat, haji, dan zakat, maka puasa tidak bisa dinilai secara kasat mata, hanya Allah dan pelakunya saja yang bisa memberikan penilaian apakah puasanya ini sudah benar atau tidak benar.

Mungkin di bulan Ramadhan yang mulia ini kita bisa berasumsi bahwa setiap muslim yang baligh pasti sedang menjalankan ibadah puasa, karena memang merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, di luar Ramadhan, kita tidak bisa menebak apakah seseorang berpuasa atau tidak.

Begitu istimewanya kerahasiaan puasa, sampai-sampai di surga Allah menyediakan pintu al-Rayyan, khusus bagi mereka yang berpuasa. Dikabarkan bahwa para malaikat yang menjaga surga terheran-heran karena tiba-tiba saja ada yang sudah memasuki surga tanpa sepengetahuan mereka. Ketika ditanyakan bagaimana orang-orang ini memperoleh keutamaan memasuki surga secara rahasia, mereka menjawab “ini adalah kemurahan Allah bagi kami yang beribadah secara rahasia di dunia,” maksudnya berpuasa.

Kenapa rahasia? Terlepas dari kenyataan bahwa semua amal ibadah yang dianjurkan memiliki makna pendidikan secara lahiriah dan batiniah, maka secara spesifik ibadah puasa mendidik jiwa manusia untuk menjauhi kecendrungan-kecendrungan duniawinya. Siapa yang lebih mengetahui kecendrungan duniawi ini selain Allah dan tiap-tiap individu itu sendiri?

Secara umum, kecendrungan duniawi itu adalah makan-minum dan berhubungan badan. Tentu saja ini sudah bukan rahasia, maka dengan sendirinya tidaklah menjadi tujuan utama dari ibadah puasa itu sendiri. Yang masih menjadi pertanyaan adalah, masih adakah kecendrungan-kecendrungan duniawi lainnya pada diri kita yang patut untuk ditahan, dicegah, bahkan ditangkal?

Untuk memudahkan pemahaman, secara hirarkis Imam Ghazali membagi puasa pada tiga level, yiatu puasa ‘am (menahan?), puasa khas (mencegah?), dan puasa khawasul-khawas (menangkal?).

Puasa puasa ‘am, yaitu puasa yang hanya sebatas tidak minum, tidak makan dan tidak berhubungan badan; puasa khas, yaitu selain menahan ketiga perbuatan tadi ditambah juga dengan mencegah anggota badan dari melihat, mendengar, dan berkata-kata yang buruk; dan yang tertinggi adalah puasa khawasul-khawas, yakni selain melakukan semua hal dalam puasa ‘am dan khas tadi, juga harus mengelola emosi dan sikap mental dari segala hal yang destruktif, seperti korupsi, iri hati, konsumtif, anarkis, dan lain-lain.

Nabi Saw bersabda “Betapa banyak orang yang berpuasa, tiada yang diperoleh dari puasanya kecuali lapar dan haus saja.” Tentu saja kita bisa memahami bahwa yang ditegur oleh hadis ini adalah mereka yang mencukupkan dirinya pada level ‘am saja.

Makna lain dari kerahasiaan ibadah ini adalah kejujuran. Jika kita menerapkan konsep Imam Ghazali di atas pada makna kejujuran ini, maka yang dimaksud adalah tidak hanya kejujuran pada level ‘am saja, tapi juga kejujuran pada level khas dan khawasul-khawas. Dengan kualitas kejujuran ini, diharapkan seorang shaaim tidak hanya memperoleh sertifikat rahmat semata-mata, tapi juga sertifikat maghfirah (ampunan) dan itqun-minannar (terbebas dari siksa neraka).

Sekali lagi, hal ini bisa dicapai karena kejujuran pribadi muslim akan kecendrungan-kecendrungan negatif yang ada pada dirinya akan mendorong lahirnya sikap korektif, evaluatif, dan juga pertobatan yang sungguh-sungguh.

Saya kira, tidak ada yang memiliki rahasia lebih besar dari para pemimpin kita. Dan semakin besar rahasia yang dipegang oleh seseorang, maka kemungkinan penyimpangannya pun menjadi lebih besar. Oleh karena itu, pemimpin tentu saja harus lebih jujur dan lebih rajin berpuasa dibandingkan masyarakat awam dan yang bukan pemimpin.

Hubungan puasa dan kepemimpinan ini misalnya bisa kita lihat pada pribadi Nabi Dzulkifli As, pribadi Nabi Daud As, Pribadi Nabi Muhammad Saw dan juga para sahabat yang utama. Nabi Dzulkifli diangkat sebagai Raja dan Nabi sekaligus dengan syarat wajib berpuasa setiap harinya dan qiyamul lail setiap malamnya. Dzulkifli artinya yang sanggup memikul syarat-syarat kepemimpinan.

Nabi Daud yang gagah perkasa dan adil bijaksana, terkenal dengan puasanya sehari berselang, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka, demikian terus menerus hingga akhir hayatnya. Dan Nabi kita Muhammad Saw juga terkenal dengan ibadah puasanya, sampai-sampai beliau mengikat tali ke perutnya di luar ramadhan. Bukan karena tidak ada makanan sama sekali, melainkan sebagai pendidikan bagi ummatnya, khususnya para pemimpin.

Teladan nabi ini diikuti oleh para shahabat, khususnya khulafaur-rasyidin seperti Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka menjadikan puasa sebagai atribut dan lambang kepemimpinan, sehingga rakyatnya hidup makmur dalam kesejahteraan dan keadilan.

Dengan demikian, maka rukun puasa bagi para pemimpin itu ada dua, pertama niat dan kedua menahan diri, mencegah serta menangkal segala bentuk tindakan koruptif mulai dari waktu menerima amanah sampai dengan menghadap Allah Swt. Wallahua’lam…..!