Minggu, November 21, 2010

Setelah Takbir Tak Bergema Lagi

Mendung masih menggantung di atas langit, begitu rapi sehingga sulit membedakan waktu tanpa bantuan jam dinding masjid yang berdenting setiap 60 menit. Hari itu, hari minggu, kira-kira pukul 9 pagi, tapi suasananya masih seperti subuh hari. Mendung masih menggantung di atas langit.

Amin, sang penjaga majid, duduk termenung di tangga masjid. Sepi sendiri. Bukan hanya karena masjid lagi sunyi di luar waktu shalat, tapi memang ada semacam keheningan yang menyergap Amin, sang penjaga masjid.

Amin adalah anak yatim piatu yang ditinggal orang tak dikenal di depan gerbang masjid, 20 tahun yang lalu. Ia dipungut dan diasuh oleh penjaga mesjid sebelumnya, Pak Sabar. Kebetulan Pak Sabar tidak memiliki anak, karena ia tidak pernah kawin, tidak ada yang mau menikahkan anaknya dengan Sabar yang cacat, tidak mampu bicara dengan lancar, matanya juga juling.

Tapi, Amin tumbuh dengan sehat, tidak kurang suatu apa, kecuali pengetahuan tentang orang tuanya, dia anak siapa. Amin memang tidak bersekolah, tapi dia bisa tulis baca. Suaranya indah, menggema setiap kali azan menandakan waktu shalat 5 kali sehari semalam. Amin, orang yang terpercaya, merawat Pak Sabar dengan penuh kasih sayang, hingga, ketika Pak Sabar telah tiada, Amin masih tetap setia menunggui masjid, Istiqamah namanya.

Amin tidak begitu terpelajar, sehingga dia bingung, kenapa pada hari Raya Idul Fitri semua orang bergembira, petasan dan takbir menggema sepanjang malam, dan senyap keesokan harinya. Tapi semua orang tetap bergembira. Amin tidak mengerti, karena tidak ada orang yang memberitahunya, tidak ada yang menyapanya di luar hari raya.

Amin tambah bingung, ketika Idul Adha tiba, semua orang kelihatan susah wajahnya, dan takbirpun dilantunkan dengan seadanya. Orang-orang tampak terpaksa ketika melantunkan takbir di hari kedua, ketiga, dan keempat hari raya.

Tiba-tiba saja keheningan menyerang si Amin, ketika shalat magrib berakhir, dan imam tidak memimpin takbir, padahal si Amin sudah terbiasa. Ditunggunya waktu isya, tap takbir tak juga dikumandangkan lagi, hingga subuk esok pagi.

Amin termenung sendiri di tangga masjid Istiqamah, yang menghitam seiring perjalanan waktu. Masjid ini benar-benar sunyi, tidak hanya pada hari minggu ini, tapi juga pada hari-hari lainnya, selain jum’at dan hari raya.

Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan bau amis darah sisa kurban kembali tercium oleh Amin, padahal dia sudah mengubur sisa penyembelihan itu dalam-dalam. Tapi baunya masih terasa juga menusuk hidung Amin.

Amin tidak mendapat jatah daging kurban tahun ini, meskipun hewan-hewan itu disembelih di perkarangan masjid ini. Karena Amin dianggap orang kaya, tidak memiliki tanggungan, tidak memiliki utang. Amin hanya hidup sendiri, dan dia sudah cukup bahagia menjaga masjid ini, meneruskan tradisi Pak Sabar, ayah angkatnya.

Amin bangkit menuju tempat wudhuk, sebuah bak air tua, setua Pak Sabar dan Masjid Istiqamah. Amin membasuh muka dan tangannya, menyapu kepalanya, membasuh kakinya. Lalu menghadap ke Mekkah, Ya Allah, aku rindu suara takbir itu…

Amin melangkah ke ruang mihrab, membunyikan mikrofon, lalu dengan lantang bertakbir. Allaahuakabar….Allaahuakbar….Allaahuakbar….. Laailaahaillallahuwallaahuakbar…. Allaahuakbar…walillaahilhamd….

Allaahuakbar…..

Allaahuakbar…..

Dan kesunyian yang mendera Aminpun terusir dengan sendirinya, perlahan dia mendengar, takbirnya mulai mendapat jawaban, dia tidak lagi bertakbir sendiri, makin lama suara takbir itu makin gemuruh, memenuhi dada Amin, memenuhi Masjid Istiqamah, bahkan dari halaman dan jalan-jalan juga terdengar suara gemuruh.

Amin sangat bahagia, tiba-tiba saja dia merasa gembira, kegembiraan yang luar biasa. Amin tersenyum, tersenyum lebar karena bahagia. Amin bertakbir lagi…. Terdengar sahutan takbir. Amin bertakbir lebih keras lagi…. Terdengar lagi sahutan. Amin bertakbir lebih keras lagi, Amin merasa lebih bahagia, dadanya mengembang….. Amin bahagia…….

***

Di sudut halaman Masjid Istiqamah, kini terdapat dua gundukan tanah kecil, yang satu makam Pak Sabar, penjaga masjid yang lama. Dan satunya lagi makam si Amin, yang baru meninggal pada hari rabu kemarin.

Amin ditemukan rebah di depan mihrab mesjid, oleh orang-orang yang terusik dengan suara takbirnya yang tidak tepat waktu. Mereka berbondong-bondong menuju mesjid untuk melihat siapa yang berani berbuat bid’ah dan lancang di masjid ini. Tapi mereka hanya menemukan tubuh si Amin yang tidak bernyawa lagi. Mereka merasa kesal, karena mereka telah diakali oleh si Amin yang telah mati.

Hari senin, di papan pengumuman masjid, juga di depan gerbangnya, tertempel papan pengumuman : DICARI PENJAGA MASJID YANG BARU DENGAN SYARAT BERSUARA MERDU, RAJIN BEKERJA, BELUM BERKELUARGA, TIDAK GILA, DAN BERSEDIA MENGIKUTI FIT DAN PROPER TEST OLEH PANITIA SELEKSI. TTD, PANITIA MASJID ISTIQAMAH.

***

Tiga bulan berselang, papan pengumuman di depan gerbang masjid telah jatuh ke tanah yang becek. Mendung masih juga menggantung di langit.

Sebuah mobil MPV mewah berhenti di depan gerbang Masjid Istiqamah. Dua orang turun dari mobil dengan penampilan yang berbeda. Yang satu dengan setelan jas abu-abu, kacamata hitam, dan berambut tipis yang disisir rapi ke belakang. Yang satunya, berjas biru dengan kain sarung, surban tebal dan peci hitam.

Jas Abu-abu : Pak Ustadz, ini benar-benar lokasi yang sangat strategis untuk pengembangan bisnis dan usaha. Saya berencana membangun gedung mewah dua puluh tingkat, lengkap dengan Mall, perkantoran dan tempat tinggal mewah. Berapa harga jadinya, Pak Ustadz?

Jas Biru : oh Pak Mister terlalu melebih-lebihkan, dari dulu masjid itu letaknya memang selalu strategis. Hanya karena zaman telah berubah, tempat ini menjadi sepi. Orang-orang melaporkan kalo setiap malam nampak 2 orang hantu yang bergentayangan di tempat ini.

Jas Abu-abu : Tidak masalah itu Pak Ustadz. Saya jamin tempat ini akan kembali ramai, bahkan lebih ramai dari sebelumnya, kalo perlu, orang-orang yang ada disini tidak akan pernah tidur siang malam sampai mati. Hantu-hantu itu juga akan hilang dengan sendirinya. Jadi berapa nilai yang saya bayar untuk tempat ini?

Jas Biru : Terimakasih Pak Mister atas perhatiannya. Harganya tidak terlalu mahal, tapi saya punya satu syarat Pak Mister, mudah-mudahan anda tidak keberatan?

Jas Abu-abu : Tidak masalah Pak Ustadz, saya terkenal sebagai orang yang murah hati, saya kira sayarat kecil anda itu tidak akan membatalkan kesepakatan ini, bukan?

Jas Biru : Saya yakin dengan anda, Pak Mister. Syaratnya sederhana saja, saya ingin gedung itu tidak hanya 20 lantai, tapi 21 lantai. Lantai teratas menjadi masjid yang indah dengan kubah mungil menjulang ke angkasa. Itu saja Pak Mister.

Jas Abu-abu : Oh.. Pak Ustadz, itu tidak masalah sama sekali, bahkan saya akan membuat desainnya seislami mungkin. Sehingga orang orang akan mengira ini bangunan di timur tengah. Berapa saya harus bayar Pak Usdaz?

Jas Biru : 44 milyar rupiah, Pak Mister!

Jas Abu-abu : Oke, deal kalo begitu.

Mereka naik kembali ke mobil MPV mewah, meluncur meninggalkan cipratan lumpur ke papan pengumuman.

***

1,5 tahun kemudian, di tempat Masjid Istiqamah dulu berada, kini berdiri sebuah bangunan mewah berlantai 21, dengan puncak kubah menjulang angkasa. Ada grafiti dengan tulisan AKBAR TOWER.

Banda Aceh, 21 Nopember 2010

Sabtu, November 13, 2010

Pahlawan tidak Pernah Kesiangan

Di masyarakat kita, sering terdengar ungkapan ‘pahlawan kesiangan’ yang merujuk suatu perbuatan yang sia-sia, sudah terlambat atau tidak pada waktunya. Ungkapan ini, meskipun sudah lazim, tetap saja mengusik nalar kita, khususnya pada momentum peringatan hari pahlawan. Apa benar ada pahlawan yang kesiangan?

Untuk menjawabnya, kita pelu mendefinisi ulang arti kata pahlawan. Saya memulainya dengan memaknai peribahasa berikut “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan.” Dari peribahasa ini, ada beberapa kata kunci yang saya anggap penting, yaitu ‘para pahlawan,’ ‘jasa,’ ‘menghargai,’ dan ‘bangsa.’

Para pahlawan menunjukkan makna jamak, ada banyak pahlawan, bukan seorang pahlawan. Bila dalam literatur sejarah kita mengenal individu-individu pahlawan seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polem dan lain-lain, sesungguhnya mereka hanyalah representasi dari banyak orang yang tidak dikenal dan tidak disebutkan namanya. Ibarat permainan sepak bola, Teuku Umar tidak bisa serta merta menjadi Man of The Match tanpa kontribusi yang berarti dari orang-orang di sekelilingnya.

Jadi kata pahlawan, pada hakikatnya tidak berdiri sendiri, tapi mewakili banyak orang yang berjasa lainnya yang tidak dikenal, tapi mereka memiliki nilai penting. Dalam bahasa Arab, kita mengenal istilah dhammir mustatir, lahirnya tidak ada, tapi maknanya tetap ada dan terpelihara, bila tidak, maka pahlawan pun kehilangan maknanya.

Jasa berarti ada suatu kontribusi yang telah diberikan, baik itu besar, kecil, banyak ataupun sedikit. Namun secara kolektif menjadi sesuatu yang bernilai untuk ’dihadiahkan’ bagi masyarakat dan generasi yang akan datang. Menghargai berarti berterimakasih atas ’hadiah’ yang diberikan. Dan bangsa, berarti suatu masyarakat, sebuah komunitas yang berbudaya.

Maka peribahasa di atas bisa ditafsirkan, bahwa masyarakat yang berbudaya positif adalah masyarakat yang ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa para pendahulunya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak berbudaya positif, tidak ’pintar’ berterimakasih atas jasa-jasa pendahulunya.

Masyarakat yang pintar adalah masyarakat yang mengerti, bahwa budaya, keberhasilan, kemerdekaan, kedaulatan, kemakmuran, bahkan juga keadilan hanya bisa dicapai melalui usaha kolektif, bukan sendiri-sendiri. Dibutuhkan partisipasi dari setiap komponen masyarakat untuk bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi generasi dan bangsanya.

Masyarakat yang berbudaya juga mengerti, bahwa suatu pencapaian menjadi tidak berarti bila kemudian menjadi sesuatu yang jumud dan mati, tidak berkembang. Suatu prestasi harus dipelihara dan ditingkatkan melalui perjuangan yang berkelanjutan dari generasi ke generasi.

Masyarakat yang ’mati’ tidak mengerti. Mereka mencitrakan pahlawan sebagai superman yang tiba-tiba datang dan menyelesaikan persoalan seorang diri. Mereka ’mengunci’ prestasi generasi terdahulu dalam ’kotak tradisi.’ Sedangkan mereka hidup dalam ’kotak modern,’ dan tidak pernah berpikir tentang ’hadiah’ yang akan diwariskan pada generasi mendatang. Mereka terputus dari sejarahnya.

Mereka kehilangan solidaritas, mereka kehilangan kolektifitas. Mereka hidup sendiri-sendiri, bukan sebagai suatu masyarakat yang utuh dan peduli. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung abai akan pentingnya perubahan. Orang-orang yang sadar dan berteriak lantang untuk maju akan diejek, ditinggal sendiri, dan diberi predikat sebagai ’pahlawan kesiangan.’

Itulah sebabnya, kita telah merdeka, tapi seakan masih terjajah. Karena kita mengunci kemerdekaan itu di masa lalu. Kita memiliki sumberdaya berlimpah, tapi jauh dari kemakmuran dan berkah. Kita memiliki aturan dan lembaga hukum, tapi jauh dari keadilan. Karena kita masih menunggu datangnya pahlawan dari ’dunia lain.’
Setiap orang pada masa dahulu adalah pahlawan bagi masanya, dan setiap orang pada masa kini adalah pahlawan untuk saat ini. Di masa yang akan datang, anak-anak kitalah yang menjadi pahlawan.

Bangunlah saudara, mari bersama-sama menjadi pahlawan untuk kemerdekaan, kemakmuran, keadilan dan keterpeliharaan alam di zaman kita. Dimulai dari doa-doa dan tindakan senderhana di rumah, kampung dan kantor. Maka kita akan mengerti, bahwa pahlawan tidak pernah kesiangan.