Senin, Oktober 18, 2010

Menyongsong UU Kerukunan di Indonesia

Beberapa kasus keributan yang dipicu sikap anarkis dan ekstrem para pemeluk agama di Indonesia akhir-akhir ini telah memunculkan berbagai macam wacana tentang aturan beragama di Indonesia. Ada yang menilai Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) perlu dibubarkan, ada yang mengajukan penghapusan UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan Penyalahgunaan Ajaran Agama, ada yang meminta SKB Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri tentang aturan pendirian rumah ibadah dicabut, dan terakhir tentang perumusan Undang-undang kerukunan umat beragama.

Saya menilai, gejolak keagamaan akhir-akhir ini dipicu oleh dua hal. Pertama, arus liberalisme yang mendorong pada kebebasan berekspresi, termasuk dalam bergama. Dan yang kedua, sikap elit politik yang cenderung memanfaatkan agama sebagai komoditas politiknya dalam mencapai kekuasaan.

Sebagai sebuah negara besar, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan kebudayaan tidak semata-mata dipersatukan oleh konstitusi, lagu kebangsaan, atau bendera Merah Putih. Masyarakat Indonesia yang majemuk dipersatukan secara emosional sebagai suatu keluarga besar agama-agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan juga Konghucu.

Pada masa orde baru, pemerintah melalui Departemen Agama telah merumuskan tiga konsep kerukunan umat beragama di Indonesia. Tiga konsep kerukunan tersebut adalah: 1. Kerukunan intern umat beragama; 2. Kerukunan antar umat beragama; dan 3. Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Eforia reformasi dan kebebasan berpendapat pada awal dekade ini telah melahirkan kelompok-kelompok ’rohaniawan baru’ yang berani menyuarakan ide-idenya secara terbuka tampa memperdulikan dampak dan akibatnya bagi masyarakat beragama di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah terkesan tidak serius merespon gejala ini hanya dengan menetapkan SKB dua menteri yang kadang-kadang mandul terhadap ’kekuatan-kekuatan’ politik tertentu dalam menyelesaikan perselisihan agama di lapangan.

Akibatnya, terjadilah konflik horizontal di dalam masyarakat dalam berbagai macam modus, mulai dari perebutan anggota jemaah, perebutan lahan rumah ibadah, aliran sempalan, hingga bentrok massa yang memakan korban jiwa.

Karenanya, saya menyambut positif upaya pemerintah dan DPR-RI untuk merumuskan undang-undang yang akan menjadi acuan dan rujukan bersama dalam memelihara kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, karena dengan adanya kerukunan, maka proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang harus diakomodasi dalam undang-undang baru ini terkait kerukunan umat beragama di Indonesia. Pertama, hubungan antara pemeluk agama mayoritas dan minoritas di suatu wilayah di Indonesia. Bagaimanapun, sub kultur bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor agama masyarakat setempat. Maka penganut agama mayoritas di suatu tempat patut memperoleh beberapa keistimewaan dibandingkan dengan tempat lain yang perbandingan jumlah umat beragamanya berimbang, tanpa mengabaikan hak-hak dari pemeluk agama yang minoritas.

Kedua, tentang penyiaran agama. Masalah ini penting sekali untuk dipertegas karena banyak konflik keagamaan ditenggarai dimulai dari upaya pihak tertentu untuk mempengaruhi penganut agama lain berpindah agama dengan berbagai macam cara. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus bisa menjamin hak-hak seseorang untuk memperoleh informasi dan pengetahuan agama, karena pada akhirnya keputusan memeluk agama tertentu adalah pilihan setiap orang. Jadi perlu juga ditetapkan zona-zona tertentu dimana pertukaran informasi dan dialog keagamaan dapat dilegalkan.

Ketiga, tata aturan pendirian dan pemeliharaan rumah ibadah. Dalam hal ini, aturan yang ada masih terkait dengan pendirian rumah ibadah yang baru saja, namun tentang aset atau rumah ibadah yang sudah terbengkalai atau berada dalam lingkungan di mana masyarakatnya sudah melakukan konversi juga harus diperjelas.

Keempat, tata aturan konversi (pindah) agama. Pemerintah juga perlu mengatur masalah ini karena terkait dengan perubahan status seseorang sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang sebelumnya diikat oleh aturan agama A menjadi terikat dengan aturan agama B. Secara sosial, konversi agama mempengaruhi status seseorang di dalam masyarakatnya, ikatan keluarga dan pernikahan, warisan dan lain-lain. Pemerintah harus menghindari adanya dualisme hukum antara hukum sipil dan hukum agama yang diyakini dan dipengang teguh oleh masyarakat.

Kelima, tata aturan penyelelesaian konflik interen keagamaan. Dalam hal ini pemerintah harus merumuskan kebijakan tentang sistematika penyelesaian suatu masalah interen keagamaan karena menyangkut tentang ‘Surga’ dan ‘Neraka’ dalam suatu agama. Dalam kasus aliran sempalan Islam misalnya, pemerintah mengakui Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga musyawarah tertinggi agama Islam, maka pemerintah harus menyelesaikan masalah aliran sempalan ini sesuai rekomendasi dan penilaian dari MUI, bukan dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Keenam, tata aturan penyelesaian konflik antar umat beragama. Pemerintah harus menjaga supaya penyelesaian konflik keagamaan tidak melebar kepada masalah politik, ekonomi, kesukuan, atau bahkan isu-isu kriminal/terorisme yang menyudutkan pemeluk agama tertentu. Harus ada semacam ‘alat yang tajam’ untuk membedah sumber dan penyebab masalah/konflik keagamaan di Indonesia yang diimbangi pula dengan ancaman hukuman yang memadai, bila terbukti bahwa masalah tersebut secara sengaja diprovokasi oleh oknum tertentu. Jadi, ada efek jera yang akan mencegah orang-orang lain untuk menimbulkan masalah terkait kerukunan hidup umat beragama.

Ketujuh, pengakuan negara terhadap agama dan aliran di Indonesia. Pemerintah harus mulai ‘mengatur’ kelompok aliran kepercayaan yang bukan bagian dari agama yang sudah ada di Indonesia, atau yang ditolak menjadi sebagai bagian dari agama, seperti kasus ahmadiyah dan aliran sesat lainnya yang dinyatakan bukan bagian dari Islam, tapi masih juga tetap eksis.

Kedelapan, pemerintah harus meperjelas posisinya dalam penyelesaian konflik keagamaan, serta tanggungjawab pemerintah dalam pembinaan kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Semoga kerukunan hidup dan keutuhan bangsa dapat terpelihara dengan baik. Amin.

Oya, jangan sampe macet seperti UU Halal dan Zakat Ya...., atau kayak UU Pornografi yang tidak diindahkan, salam rukun selalu....

Jumat, Oktober 15, 2010

Hakama atau Sarung?


Selama ini, hakama dipahami sebagai pakaian pelengkap atau identitas seorang samurai, demikianlah pemahaman yang muncul dari tradisi pemakaian hakama yang sudah men-sejarah tersebut.

Karenanya, hampir semua sensei yang mewarisi ilmu samurai memakai hakama, yang rata-rata berwarna hitam, meski ada juga yang berwarna putih.

Sampai suatu hari, ketika sedang berlatih aikido, tiba-tiba celana saya robek "besar" ketika lagi ushiro shikko, untung tidak ada yang "melihat." Karena pada saat yang sama, saya dapat perintah untuk membimbing teman-teman yang baru belajar aikido. Sambil menghormat, langsung saja saya minta izin kepada pelatih untuk memakai 'hakam,' yang dioyakan oleh pelatih sambil keheranan, mungkin di pikiran pelatih "Sombong benar anak ini, saya aja gak pakai hakama, dia mau pakai hakama segala, mungkin dia mau gaya-gayaan kali...."

Nah, Hakama saya itu adalah kain sarung yang selalu saya bawa untuk persiapan shalat magrib sesusai latihan, kebetulan warnaya coklat-putih kotak-kotak, pas benar dengan sabuk saya yang sekarang 'coklat.' Ketika saya sudah siap dengan penampilan baru ini, teman-teman pada tertawa Ha.....Ha.....Ha..........

Saya katakan ini bukti mencintai produk dalam negeri, jadi ya model sarungan gini...... dan latihanpun berlanjut seperti biasa. Kalo gak salah, ada seseorang yang sempat mengabadikan aksi saya berbalut hakama sarungan itu. Nanti deh saya minta untuk kenang-kenangan.

Jadi, menurut saya hakama itu bukan sekedar gaya-gayaan atau identitas seorang samurai. Kemungkinan besar itu untuk menutupi robekan pada celana mereka yang diakibatkan banyak sekali gerakan, tarikan dan benturan. Maka itu, lagi-lagi menurut saya, para sensei memakai hakama supaya tidak 'malu' sama murid-muridnya kalo lagi melatih tiba-tiba celananya robek, he...he...he.....

Mungkin begitupula alasannya kenapa para pendekar melayu juga selalu memakai kain sarung selain ikat pinggang, ya suapa bisa jadi 'penutup' sekaligus selimut atau pengusir nyamuk kalo terpaksa tidur di alam terbuka. Dan yang pasti, seperti pengalaman saya, ya untuk bahan 'bersalin' (baca: ganti dogi-baju biasa) dan untuk shalat dalam pakaian yang bersih tentunya.

Bagaimana dengan anda.....?

Senin, Oktober 11, 2010

Franchise Aliran Sempalan

Setelah membaca pemberitaan Serambi Indonesia (7/10) terkait aliran sesat di Kabupaten Bireuen, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Pertama, ternyata tokoh aliran yang dianggap sesat itu punya kualifikasi pendidikan yang lumayan, seorang tenaga kesehatan, dan calon TKHI Tahun 2010. Kedua, nama alirannya yang unik, ‘Millah Abraham.’ Dan ketiga, saat sedang mendiskusikan aliran ini dengan teman-teman se-ruangan di tempat kerja, atasan saya membawa masuk ‘berkas’ kelompok ini yang diperoleh dari MPU dan aparat terkait di Kabupaten Bireuen.

Saya sependapat dengan pandangan Kapolres Bireuen, AKBP HR Dadik Junaedi Supri Hartono, bahwa sebaiknya pemberangkatan TKHI yang terkait dengan masalah ini perlu ditinjau ulang. Terlepas dari mekanismenya secara struktural yang terpisah antara TPHI/TPIHI dengan TKHI, keberadaan yang bersangkutan dalam rombongan jamaah haji tentu akan menimbulkan ekses tertentu (fitnah).

Ekses tersebut bisa berupa penolakan oleh jamaah haji kepada petugas, baik karena statusnya saat ini sebagai tersangka penyebar aliran sempalan, maupun tindakannya nanti yang berupaya mempengaruhi jemaah haji di tanah suci. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan dalam melaksanakan ibadah ‘yang berat’ ini. Belum lagi ‘ujian-ujian spiritual’ yang akan dialami oleh setiap orang di tanah suci.

Berdasarkan berkas yang kami terima, ada 5 poin ajaran kelompok Millah Abraham ini yang dianggap menyimpang oleh MPU Kabupaten Bireuen: 1. Pengajian Millah Abraham dilakukan secara berkelompok dan bersifat tertutup hanya sesama anggotanya saja; 2. Menurut pengakuan mereka, dua kalimah syahadat sebagaimana yang diucapkan umat Islam pada umumnya (syahadatain) tidak ada dalam Alquran, tetapi hanya merupkan pernyataan Khadijah untuk memperkuat Nabi (Rasulullah); 3. Bahwa antara saudara kandung seibu-sebapak boleh melakukan pernikahan, dan seorang ayah juga boleh menikahi anak perempuannya; 4. Dalam ajaran Komunitas Millah Abraham tersebut menyatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah yang paling hanif (lurus) dibandingkan Nabi-nabi lain; 5. Bagi orang yang telah menjadi anggota komunitas Millah Abraham, maka namanya akan diganti dengan nama lain atau nama kedua.

Menurut kelompok ini, mereka membangun ajarannya berdasarkan QS. Al-An’am ayat 161, dimana terdapat ungkapan millata ibrahiima. Tentang syahadat, mereka berdalil dengan QS. Albaqarah ayat 136, dimana tidak ada ungkapan asyhadu anla ilaaha illallaah wa asyhadu anna mahammadan rasuulullaah. Mereka mengaku mengkaji semua kitab-kitab samawi dan berdakwah kepada umat Kristen dengan menggunakan Alkitab dan kepada umat Islam dengan menggunakan Alquran.

Setelah melakukan browsing internet dengan keyword ”millah abraham” di fasilitas Google, saya mendapati bahwa kelompok ini memiliki jaringan yang luas di Indonesia dan memiliki ’ikatan yang kuat’ dengan kelompok-kelompok sempalan lain yang telah difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia seperti ajaran Lia Eden, Ahmad Mushadeq, Baha’i, dan lain-lain.

Suatu ciri yang umum kelompok-kelompok sempalan ini adalah sinkretisme ajaran agama-agama, yang mereka sebut sebagai abrahamic religion, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka menggunakan dalil-dalil Alquran dan hadis untuk memperkuat dogma (ajaran agama) yang ada dalam tradisi Kristen dan Yahudi.

Dalam membangun ajaran-ajaran sinkretisnya, mereka ’menceraikan’ ayat-ayat Alquran yang umum dari hadis-hadis Nabi yang bersifat khusus dan teknis, seperti dalam kasus syahadatain. Mereka juga kerap kali menyuguhkan ’kajian sejarah kritis’ guna menyerang sahabat-sahabat Nabi yang merupakan tonggak ilmu hadis.

Dari segi muamalah dan ibadah, mereka cenderung menekankan ibadah yang sunnah sebagai ibadah yang wajib, pada saat yang sama mereka juga menghalalkan yang haram. Dalam kasus Millah Abraham ini misalnya, mereka menekankan shalat malam di samping shalat lima waktu, serta membolehkan pernikahan sedarah.

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, kelompok-kelompok sempalan ini memiliki jaringan organisasi yang teratur, serta anggaran yang mendukung semua aktifitasnya. Layaknya sistem usaha franchise, aliran sempalan ini membuka cabang di mana-mana di seluruh Indonesia, baik dengan nama yang sama atau dengan nama yang berbeda. Tapi secara umum, tampak ada pola yang sama di mana setiap gerakan aliran sempalan di daerah mendapat support berupa dana, indoktrinasi, pengkaderan, manajemen usaha, serta ’kitab-kitab’ rujukan yang sama.

Karena itu patut diduga ada pihak atau kelompok tertentu yang secara sistematis mengendalikan gerakan-gerakan sempalan ini di seluruh Indonesia. Motivnya bisa jadi adalah untuk melunturkan nilai-nilai agama yang selama ini menjadi pegangan hidup bangsa Indonesia, di samping juga untuk menciptakan konflik horizontal di dalam masyarakat, khususnya masyarakat muslim sebagai agama mayoritas di negeri ini.

Kasus Millah Abraham di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen, seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak yang berkomitmen dengan ketentaraman, keamanan dan integritas Bangsa Indonesia untuk mengambil sikap yang tegas dalam menangani masalah-masalah serupa, yang secara yuridis sesuai dengan amanah UUD 1945 dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama.

Jangan sampai, masyarakat mengambil sikapnya sendiri dalam menangani orang-orang dari Millah Abraham (menurut saya lebih tepat sebagai ’Millah Abrahah’ perusak Ka’bah) ini yang berujung pada tindakan anarkis yang bisa melebar ke wilayah-wilayah kepentingan yang lebih luas, yang tentu saja akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk semakin memperkeruh susana. Khususnya di Bumi Serambi Mekkah yang sedang menhapus luka tsunami dan konflik berdarah tiga dekade terkahir ini.

Tulisan ini juga dimuat pada rubrik opini Harian Serambi Indonesia 20 Oktober 2010 dengan beberapa penyesuaian. lihat di http://www.serambinews.com/news/view/41153/franchise-aliran-sempalan

Senin, Oktober 04, 2010

"Menolak" Baitul Asyi

“SEORANG raja melihat seorang tua bangka yang masih sibuk menanam pohon kelapa, padahal tidak mungkin ia bisa menikmati hasilnya. Si Kakek menjawab keheranan Sang Raja “Saya telah menikmati kelapa yang ditanam oleh kakek dan ayah saya, saat ini saya menanam kelapa yang akan dinikmati oleh anak dan cucu saya”

Penggalan kisah di atas merupakan refleksi kebijaksanaan para endatu kita dahulu dalam memelihara kesinambungan manfaat sumberdaya alam, dari generasi ke generasi. Kebijaksanaan ini memungkinkan kita, generasi yang lahir kemudian untuk menikmati hidup yang lebih nyaman dan bernilai, karena segala sesuatu terkait kebutuhan hidup primer telah dipersiapkan oleh generasi sesebelumnya. Generasi saat ini punya peluang yang lebih besar untuk berinovasi dan membangun budaya masyarakat yang lebih maju dan kompleks.

Kebijaksanaan ini juga tercermin dari tindakan Habib Bugak Asyi yang mewakafkan sebidang tanah dan rumah untuk jamaah haji dan pelajar asal Aceh yang belajar di Mekkah Al-Mukarramah. Berawal dari keprihatinan beliau terhadap akomodasi haji dan kemampuan finansial orang Aceh yang terbatas, Sang Habib berinisiatif untuk menyediakan solusi jangka panjang bagi generasi Aceh di masa mendatang yang akan melaksanakan ibadah haji ataupun menuntut ilmu di Tanah Suci.

Mungkin Habib Bugak bukanlah satu-satunya orang Aceh yang mewakafkan hartanya di Tanah Suci, tapi ia adalah orang yang berpandangan luas dan sangat visioner, karena ‘menyertifikatkan’ wakafnya dengan suatu akad tertulis di hadapan Imam/Pengelola Masjidil Haram. Sehingga harta wakaf itu tetap terpelihara hingga saat ini, bahkan telah berkembang menjadi lebih dari satu lokasi.

Sikap visioner inilah mungkin, yang belum dimiliki oleh sebagian besar orang kaya Aceh yang hendak beramal-jariah bagi bekal mereka di alam barzakh dan alam akhirat. Banyak aset-aset wakaf di Aceh yang tidak dilaporkan, disertifikatkan dan dikelola dengan baik oleh nazir-nazir yang jujur dan profesional. Tanah, ladang atau sawah wakaf banyak yang terbengkalai.

Ironisnya, ketika nilai properti mulai meningkat di Aceh, khususnya pascatsunami Aceh 2004. Anak-cucu dan ahli waris dari si Waqif yang telah meninggal dunia mengklaim kembali tanah wakaf tersebut sebagai hak milik mereka. Tindakan ini tentu saja berakibat buruk bagi si Waqif karena jatah pahalanya telah dirampas oleh anak-cucu yang durhaka, dan juga berdampak buruk bagi masyarakat sekitar yang selama ini memperoleh manfaat dari harta wakaf tersebut.

Terus terang, saya merinding ketika membaca berita di harian lokal tentang palang-memalang tanah sekolah/madrasah, maupun berita perseteruan antara masyarakat kampung dengan ahli waris yang mengklaim harta wakaf. Saya juga merinding, ketika mengetahui banyak masyarakat yang mewakafkan harta miliknya kepada lembaga keagamaan seperti pesantren, tapi kemudian ditelantarkan atau diperlakukan seakan-akan milik pribadi.

Kembali ke kasus Baitul Asyi, sejak beberapa tahun terakhir, jemaah haji asal embarkasi Aceh memperoleh pengembalian manfaat dari pengelolaan tanah wakaf Habib Bugak di Mekkah. Rata-rata setiap jemaah mendapatkan uang sebesar Rp 2.500.000,- sampai dengan Rp3.000.000,-sesuai jumlah jamaah Haji Aceh yang berangkat pada tahun yang bersangkutan. Bila ditotalkan, jumlah uang yang diterima jamaah haji asal Aceh mencapai Rp 16 miliar setiap tahunnya. Sungguh merupakan angka yang fantastis.

Kemana uang ini mengalir? Uang belasan miliar rupiah ini menjadi dana belanja dan mengalir ke kantong-kantong pedagang di Arab Saudi. Ketika hal ini mulai memunculkan kecemburuan jemaah haji dari provinsi lain, dan berimbas pada masalah lain seperti kehilangan uang atau overload belanjaan yang tidak bisa muat di pesawat terbang, uang ini dijadikan surat berharga (cheque) yang bisa dicairkan di bank tertentu di tanah air. Sekali lagi, uang ini hilang lenyap begitu saja di tangan jemaah haji asal Aceh.

Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak salah bagi sebagian orang, tapi bagi sebagian yang lain ini merupakan masalah serius. Pengembalian uang ini merupakan kompensasi karena Baitul Asyi tidak bisa ditempati secara langsung oleh jemaah haji asal Aceh. Tapi apakah ini berpengaruh besar terhadap pelaksanaan haji oleh orang-orang Aceh?

Sejak dahulu, yang melaksanakan ibadah haji adalah orang-orang yang mampu secara finansial, khususnya, sehingga semua kebutuhan akomodasi haji bisa dipenuhi. Terlebih, setelah haji dikelola dengan baik oleh pemerintah (baik belum tentu sempurna) maka semua persoalan akomodasi haji, khususnya pemondokan tidak lagi menjadi masalah yang sangat krusial dalam arti tidak ada jamaah yang tidak memperoleh tempat tinggal selama di Mekkah al-Mukarramah. Maka masih layakkah menerima manfaat atau kompensasi dari Baitul Asyi?

Selaku orang Aceh saya menilai, sebagai orang yang beruntung karena memiliki endatu yang berbudi di masa dahulu, kita patut berterima kasih kepada Habib Bugak Asyi minimal dengan dua cara. Yang pertama, dengan mendoakan kebaikan dan keselamatan baginya di alam barzakh dan di akhirat. Yang kedua, dengan mengikuti teladan baik Habib Bugak Asyi, yaitu mewakafkan kembali ‘uang’ tersebut sekembalinya ke provinsi Aceh yang kita cintai ini.

Masih banyak warga Aceh yang bukan saja tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk berhaji, tapi juga tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memperoleh kehidupan dan kesejahteraan yang layak, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak fasilitas pendidikan yang rusak dan belum bisa diperbaiki di daerah-daerah pedalaman Aceh. Masih ada jembatan ‘gantung’ di Aceh, masih banyak anak-anak yang harus berjalan kaki atau menumpang kendaraan pribadi yang lewat untuk bisa bersekolah, karena sekolahnya jauh dari tempat tinggal.

Bahkan dengan fenomena JKA akhir-akhir ini kita mengetahui, ada begitu banyak orang Aceh yang sakit, sehingga rumah sakit membludak, aparat kesehatan kewalahan, dan persedian obat-obatan juga tidak memadai.

Karena itu, saya mengimbau orang-orang kaya di Aceh untuk kembali berinfak, dengan menolak menggunakan dana Baitul Asyi secara pribadi, tapi mewakafkannya kembali untuk kepentingan masyarakat umum di Aceh, sesuatu yang sesungguhnya menjadi visi dari Habib Bugak Asyi sejak dahulu.

*Tulisan ini juga dimuat pada Rubrik Opini Harian Sermabi Indonesia, 4 Oktober 2010