Kamis, Januari 15, 2009

Tragedi Palestina, sebuah cermin kecil

Apa yang terjadi di Palestina, tanah para nabi dan kiblat agama-agama samawi itu? Koran-koran, radio, berita televisi, milis (mailing list) via internet dan sms-sms juga membahas tragedi Palestina. Tapi tregedi itu terus berlangsung dan kitapun kembali sibuk dengan rutinitas sehari-hari.

Palestina adalah sebuah keberuntungan diantara ketidakberuntungan-ketidakberuntungan yang terjadi di muka bumi ini. Palestina terlanjur terkenal dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terekam dalam kitabsuci-kitabsuci agama, sehingga banyak mata memandang Palestina yang jauh itu.

Bahkan kota suci Palestina tidak bisa bersih dari darah dan air mata, lalu bagaimana nasib kota-kota lainnya yang tidak sempat disebut oleh khatib-khatib di mimbar jum’at, yang tidak pernah kita baca di koran-koran, yang tidak pernah diperlihatkan kepada kita rupa mereka di televisi?

Ada banyak palestina di muka bumi ini, yang pernah menjadi kiblat setiap ummat sebelum Allah mempersatukan kita dalam tauhid dan memerintahkan umat manusia menghadap kearah Ka’bah di Kota Makkah. Palestina-palestina itu tidak jauh, begitu dekat sehingga kita menganggap tragedi-tragedi mereka sebagai bagian yang integral dan identitas yang mengikat sebuah peradaban. Kita buta, bukankah itu biasa saja!

Di masjid-masjid, para imam memimpin qunut, dengan suara serak mereka berdoa, Ya Allah, hancurkanlah orang-orang musyrik, orang-orang munafik, orang-orang kafir, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani! Ya Allah, tolonglah orang-orang beriman, orang-orang yang berjihad di jalan-Mu! Amin!

Tapi, pernahkah para imam menjelaskan, bahwa doa ini sangat mematikan akibatnya? Betapa tidak, pada saat yang sama, orang-orang musyrik itu masih makan sepiring dengan kita, orang-orang munafik itu masih satu saf dengan kita, orang-orang kafir itu masih berjabattangan dengan kita, orang-orang yahudi itu masih bercanda dengan kita, orang-orang nasrani itu masih… masih mendidik anak-anak kita.

Bukankah kita pernah belajar dari al-Quran untuk mewaspadai fitnah, karena dampaknya tidak hanya berimbas pada orang zhalim saja? Lalu, dimanakah orang-orang beriman itu? Siapakah orang-orang yang berjihad di jalan Allah?

Ketika orang-orang Makkah belum mengenal tauhid, Allah menolong mereka dengan pasukan ababil, sekelompok burung yang membawa batu-batu api yang dilemparkan kepada pasukan Abrahah. Namun, setelah Allah mengutus rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW, Allah tidak lagi membela mereka dengan ababil itu.

Ibu orang-orang beriman, Khadijah Ra, menebus keimanannya dengan kemiskinan dan keterkucilan. Ayah dan ibunda Yasir Ra, menebus keimanannya dengan kematian. Bilal Ra, memelihara tauhidnya dibawah tindihan batu-batu panas di padang pasir. Hamzah dan Umar Ra, memelihara keimanan mereka dengan pedang. Apatah lagi Abubakar Ra, Ali Kwjh, dan assabiqunal awwalun yang lainnya.

Rasul sendiri, sang manusia terpilih, harus rela diusir, diludahi, dilempari tahi unta, bahkan diancam bunuh oleh orang-orang musyrik. Kenapa? Karena nabi tidak berdakwah tentang tragedi di Palestina, tragedi di Roma, Tragedi di Afrika, tragedi di Cina, tragedi di Irak, tragedi di Mesir atau tempat-tempat lainnya yang pernah dicatat dalam peta dunia dari dulu sampai sekarang. Tapi Nabi SAW berdakwah kepada penduduk Makkah tentang tragedi yang sedang terjadi di Makkah saat itu.

Rumusan dakwah Nabi SAW sepertinya sederhana sekali. Bila kita tidak berhasil memperbaiki kondisi lokal yang bersifat urgent (dharuriy), bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi global yang lebih kompleks (mutanawwi’iy)? Atau dengan ungkapan yang lain, bukankah masalah setiap masyarakat adalah sama, yaitu kedhaliman, lalu bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan dalam masyarakat lainnya sedangkan pada saat yang sama, masyarakat kita terbengkalai?

Lalu, apa hubungannya dengan ababil? Karena ajaran tauhid mengharuskan kita berusaha (mungkin berjihad) dan tidak berpangku tangan menunggu keajaiban-keajaiban di sekeliling kita. Karena itu, hijrah Nabi SAW dan para Sahabat Ra, bukanlah sebuah pelarian politis untuk mencari suaka, tapi sebuah penawaran konsep kepada masyarakat yang lebih rasional (masih memiliki akal yang sehat). Apakah hijrah kita hari ini menuju rasionalitas atau malah menuju fanatisitas?

Setibanya di Madinah, ajaran tauhid ini diaplikasikan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di sana, baru setelah semua masalah lokal teratasi, Rasulullah SAW mengarahkan dakwahnya dalam cakupan yang lebih luas dan metode yang lebih beragam. Jadi, dalam sirah nabawiyah, jihadkan bukanlah perang berdarah semata-mata, tapi jihad adalah membebaskan diri sendiri dan orang sekitar dari ancaman neraka, untuk kemudian menyelamatkan lebih banyak orang lagi, lagi dan lagi…

Shalahudin al-Ayyubi yang sering kita kenang sebagai pembebas al-Aqsha, bukanlah seorang anak kecil yang bangun dari mimpinya, lalu mengambil sebilah pedang dan berlari ke tengah-tengan pasukan salib di Palestina seorang diri. Ia lahir dan dibesarkan dalam suasana konflik antara sesama pemimpin dunia Islam. Banyak penguasa yang hanya memikirkan keuasaannya saja, sehingga mereka rela bercerai berai, bahkan bekerja sama dengan orang kafir untuk mengalahkan saudaranya sendiri.

Keadaan ini menyebabkan umat Islam lemah, sehingga pasukan salib dengan leluasa menanamkan pengaruhnya di wilayah-wilayah kaum muslimin. Salah satu peristiwa yang mungkin masih mudah ditemukan catatannya adalah pendudukan Palestina oleh pasukan salib, dimana banyak kaum muslimin yang disembelih….

Kondisi ini mungkin tidak jauh berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini. Salahuddin mesti berjuang untuk mengumpulkan orang-orang yang mau berperang demi menegakkan kemualiaan dan kehormatan kaum muslimin, dan tantangan terbesarnya bukanlah orang-orang kafir, melainkan para pemimpin dan penguasa kaum muslimin sendiri. Untuk itu, hampir separuh umurnya dihabiskan untuk perang saudara dalam rangka mempersatukan kembali umat Islam, baru kemudian Palestina bisa dibebaskan.

Jadi, alangkah naifnya bila orang-orang beriman dan para pemimpinnya hari ini terkecoh oleh kedhaliman segelintir yahudi di Palestina, dan melupakan kampung halamannya sendiri yang semakin rapuh digerogoti oleh agen-agen yahudi, yang anehnya adalah orang Islam sendiri.

Sungguh menggelikan, ketika orang-orang sibuk untuk mengumpulkan sumbangan bagi saudara-saudara yang ada di Palestina, padahal tetangganya, mungkin juga keponakannya lebih membutuhkan perhatian dan uluran tangan. Tenaga-tenaga pemuda kita masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki jalan, saluran air, masjid dan madrasah yang rusak secara sukarela. Atau kita hendak melarikan diri dari tanggung jawab yang telah pasti menuju rimba yang gelap gulita?

Wahai orang-orang yang merasa dirinya adalah anshar, damaikan dulu antara aush dan khazraj dengan hukum Allah, sebelum kalian melangkah untuk memerangi musuh-musuh Allah di tempat yang jauh. Wa billahi taufiq wal hidayah! Amin!